[ad_1]
Bambang Widjojanto menegaskan pemberantasan korupsi diruntuhkan sendiri oleh pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). “Situasi mengalami kebangkrutan yang akut,” ujarnya berharap Presiden bertanggung jawab.
Upaya pemberantasan korupsi mengalami kebangkrutan yang akut karena “dipailitkan” bukan oleh rakyat sebagai pihak yang menjadi pemegang sahamnya.
Adanya kemunduran pemberantasan korupsi di 23 tahun era reformasi, menurut Bambang jangan sampai menjadi stigma diproduksi rezim otoriter.
Pemberantasan korupsi yang kini menjadi remuk, luruh dan runtuh. “Demikian memilukan, karena aktor intelektual diduga menjadi eksekutor utama kebangkrutan dan kepailitan itu adalah kekuasaan, khususnya, Ketua KPK beserta jajaran pimpinan,” masih menurut penjelasan Bambang.
Fakta atas sinyalemen itu ditujukan dengan pengumuman 51 pegawai KPK yang diberhentikan karena tidak memenuhi TWK dan tidak mungkin lagi dilakukan pembinaan.
Tindakan ini mematikan hak keperdataan Pegawai KPK yang sudah menunjukan kinerjanya.
“Bagaimana mungkin, TWK yang absurd itu dipakai untuk menyingirkan Pegawai KPK yang sudah terbukti kinerjanya sangat baik, mengikhlaskan nyawa dan matanya untuk berantas korupsi,” ujar Bambang Widjojanto.
Pengacara yang mantan aktivis ini menyebut, metode TWK yang dijadikan dasar keputusan itu banyak dipertanyakan ahli soal akuntabilitasnya.
Bahkan, “Sebagian kalangan telah menyimpulkan, metode TWK terbukti memuat unsur-unsur yang potensial bersifat rasisme, intoleran, melanggar HAM, berpihak pada kepentingan prilaku koruptif dan bersifat otoriter.”
Ketua KPK dan pimpinan lembaga Tinggi Negara lain, menurut Bambang patut diduga telah berkolusi untuk melakukan perbuatan melawan hukum.
“Dengan cara melegalisasi hasil TWK yang kontroversial & tidak akuntabel tersebut,” ujar pria yang pernah memimpin Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Kontras, dan Indonesian Corruption Watch (ICW).
Masih dalam rilis, Bambang mengatakan hal ini dikualifikasi sebagai obstraction of justice. “Karena dapat mengganggu dan menghalangi upaya pemberantasan korupsi,” paparnya.
Pimpinan KPK disebut Bambang punya indikasi kuat, bukan hanya menantang pernyataan Presiden tetapi juga menista Kepala Negara.
“Secara faktual juga dapat dinilai sebagai perbuatan kriminal karena melawan perintah atasan dari penegak hukum (dhi presiden) sesuai Pasal 160 KUHP,” ujar Bambang.
Situasi semacam ini, menurut Bambang Widjojanto tidak ada pilihan lain, Presiden sebagai pejabat tertinggi ASN harus mengambil tindakan.
“Mempunyai otoritas untuk mengambilalih persoalan TWK Pegawai KPK sesuai Pasal 3 ayat (7) PP 17 Tahun 2020 ttg Manajemen ASN. Untuk itu, Presiden diusulkan mendelegitimasi atau membatalkan Keputusan ketua KPK yg dibackup para pembantunya tersebut,” ujarnya.
Jika Presiden tidak tegas mengambil upaya perlindungan hukum & menyelesaikan secara tuntas problem di atas.
Maka, mantan pimpinan KPK menyebut Presiden Jokowi dapat dituding menjadi bagian tak terpisahkan dari pihak-pihak yang menghancurkan lembaga KPK.
“Menyingkirkan pegawai terbaik KPK serta melegalisasi TWK sebagai instrumen litsus yang nyata-nyata anti Pancasila,” demikian Bambang Widjojanto dalam pernyataan benteng terakhir pemberantasan korupsi.
[ad_2]