[ad_1]
Satu hari sebelum Claudia Goldin diumumkan sebagai pemenang nobel ekonomi 2023, ia menulis sebuah penelitian menarik tentang “mengapa perempuan sudah menang”. Dalam tulisannya, ia menjabarkan perjuangan menerus perempuan-perempuan di Amerika Serikat (AS) untuk memperoleh hak-hak mereka seputar ketenagakerjaan, status pernikahan, agama, politik hingga hak atas tubuh.
Perjuangan yang mencapai puncak di akhir 1970an dan awal 1980an ini membuahkan sejumlah legislasi yang–setidaknya–memberikan perempuan rasa aman di tempat kerja, tak lagi kehilangan kesempatan berpartisipasi di ranah publik karena kewajiban rumah tangga, tak takut dipecat atau ditolak dari pekerjaan karena hamil atau memiliki anak, dan memperoleh akses lebih baik ke pendidikan.
Terdapat dua hal yang dapat dilihat dari konsistensi Goldin dalam riset gender. Pertama, dengan menggunakan data historis selama lebih dari satu abad, cara Goldin menganalisis gender melebihi cara ekonom tradisional memandang permasalahan ekonomi. Ia mengulas aspek-aspek yang selama ini tak tersentuh studi ekonomi, termasuk bagaimana pil kontrasepsi memberikan perempuan harapan untuk bekerja dan bersekolah.
Hal kedua adalah sumbangsihnya dalam disparitas atau perbedaan gender di pasar tenaga kerja. Goldin berhasil menggambarkan tingkat partisipasi perempuan di AS sebagai kurva berbentuk U alias tidak meningkat secara konsisten: menurun saat perubahan sektor agraris ke industri dan berangsur naik saat berubah ke sektor jasa. Alasannya karena norma sosial dan struktur ekonomi berubah.
Di akhir tulisan teranyarnya, Goldin menyebutkan bagaimana meskipun legislasi telah membuka banyak peluang bagi perempuan, belum ada bukti hal ini menyelesaikan ketimpangan penghasilan.
Riset Goldin mengenai bagaimana perempuan masih terikat “motherhood penalty”, menjelaskan bagaimana tanggung jawab rumah tangga yang tak berimbang membatasi gerak mereka untuk memajukan karier dan memperoleh pendapatan yang lebih baik, relevan tak hanya bagi perempuan AS tetapi juga di kancah global–termasuk Indonesia.
Dilema ibu bekerja: dari kontrasepsi hingga PAUD
Data dari Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas), dan dikaji secara berkala oleh Badan Pusat Statistik (BPS), menunjukkan bahwa rata-rata jarak kesenjangan upah bulanan antara tenaga kerja laki-laki dan perempuan di Indonesia selama satu dekade terakhir berada di kisaran 26,4%–atau di atas rata-rata dunia yang sekitar 20%. Kontribusi pendapatan perempuan ke perekonomian sepanjang 1990 – 2020 pun berada di bawah 25%, tanpa perkembangan berarti.
Padahal, perempuan Indonesia memiliki potensi berkembang yang sama atau lebih dibandingkan laki-laki. Dekomposisi hasil tes evaluasi kemampuan belajar PISA pada 2018, nilai perempuan lebih tinggi dibandingkan laki-laki untuk seluruh tes (matematika, IPA, dan membaca). Bahkan, survei tambahan menunjukkan bahwa perempuan lebih fokus, lebih rajin, dan lebih tekun.
Sebuah tulisan pernah mengulas bahwa bagi mereka yang berusia 30 tahun dan ke atas, baik laki-laki maupun perempuan cenderung mendapatkan upah setara selama keduanya memiliki kesamaan usia, pengalaman kerja, tingkat pendidikan, dan bidang pekerjaan sejenis.
Hanya, banyak perempuan berhenti bekerja sebelum mencapai tahap tersebut. Perempuan yang memiliki anak biasanya tidak lagi fokus pada kariernya karena beban mengasuh anak biasanya jatuh kepada mereka.
Di sini, peran fertilitas dan keluarga berencana sangat penting karena menjadi indikator pilihan perempuan dalam mengembangkan karier mereka. Salah satu riset tentang kesetaraan gender yang dilakukan oleh Australian National University dan SurveyMETER menemukan bahwa perempuan Indonesia tidak memiliki pengetahuan yang cukup untuk mengikuti program keluarga berencana. Di lain sisi, mereka juga tidak mendapatkan kompensasi pekerjaan rumahan. Norma sosial juga sulit berubah sehingga peran perempuan sulit diterima masyarakat kalau ia bekerja, tidak menjadi ibu rumah tangga, atau menggunakan kontrasepsi.
Di ranah global, perdebatan perempuan yang bekerja saat mempunyai anak tidak kunjung selesai. Menurut kertas kerja kebijakan yang dipublikasikan Bank Dunia pada Februari, ibu bekerja memiliki beberapa dampak positif bagi anak. Ini termasuk memberikan kesempatan bagi anak untuk hidup di rumah tangga yang lebih sejahtera. Ibu lebih cenderung menghabiskan uang untuk anak dibandingkan ayah. Terbukanya akses ibu ke jaringan sosial dan informasi yang luas juga memperkuat mereka untuk membuat keputusan investasi terbaik untuk anak.
Namun, publikasi yang sama juga memaparkan tiga alasan kenapa perempuan yang bekerja mungkin memiliki dampak negatif bagi anak.
Pertama, ibu yang bekerja dapat memengaruhi tumbuh kembang anak. Hasil studi di Mesir dan India menunjukkan terdapat potensi anak mengalami stunting atau gagal tumbuh.
Kedua, kondisi kerja–seperti tekanan di lingkungan kerja–pada tahun pertama kelahiran dapat berdampak pada potensi penurunan kognitif anak, yang akan mulai terlihat di usia 9 tahun.
Ketiga, tidak adanya fasilitas pendidikan anak usia dini (PAUD) untuk membantu mendidik dan mengasuh anak selama ibu bekerja serta meminimalisasi kedua dampak negatif lainnya.
Dalam konteks Indonesia, data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menunjukkan terdapat 189.500 institusi pendidikan anak usia dini–-melingkupi kelompok bermain, TK, day care dan lainnya. Hampir seluruh (97%) institusi tersebut dikelola swasta.
Data tersebut menunjukkan institusi yang ada menampung sebanyak 6,31 juta peserta didik. Sebagai perbandingan, terdapat 30,73 juta anak usia dini (0-6 tahun) di Indonesia per 2022.
Sementara itu, riset menunjukkan bahwa setiap penambahan PAUD untuk 1,000 anak per distrik, ada kemungkinan penambahan jumlah perempuan bekerja sebesar 4,8-9,1%. Namun, sayangnya pekerjaan tersebut terkait dengan pekerjaan yang tidak dibayar–-seperti membantu usaha rumah tangga–-sehingga kurang memberikan pengaruh secara ekonomi.
Di lain sisi, penambahan PAUD dan kelompok bermain juga membuka lebar kesempatan perempuan untuk bekerja di industri manufaktur. Dengan adanya penitipan anak, perempuan bisa mengalokasikan waktunya secara lebih fleksibel dan memperoleh stabilitas kerja.
Memaksimalkan potensi perempuan
Terdapat empat hal untuk membuat perempuan Indonesia bisa semakin berperan di pasar tenaga kerja.
Pertama, penurunan hambatan bagi partisipasi perempuan untuk bekerja. Misalnya dengan mereformasi pajak pendapatan diskriminatif yang bias gender agar perempuan bisa mengakui pendapatan sendiri tanpa pengurangan pajak karena menikah.
Diskriminasi terjadi karena ketika seorang perempuan pekerja menikah, ia harus memilih untuk mengajukan pajaknya secara terpisah atau bersama-sama dengan suaminya. Jika melapor bersama, perempuan harus menghapus NPWP-nya dan menggunakan NPWP gabungan atas nama suaminya. Jika pelaporan dilakukan terpisah, perempuan mempunyai beban pajak yang lebih berat dibanding pasangannya. Sebab, laki-laki menikah yang bekerja menikmati tingkat penghasilan tidak kena pajak yang lebih tinggi karena istri dianggap sebagai tanggungan suaminya.
Kedua, membuat sistem regulasi yang mendukung kenyamanan bekerja bagi perempuan. Upaya yang dibutuhkan tidak sebatas penyuluhan dari tingkat kementerian, tetapi upaya nyata seperti aturan ruang laktasi dan penitipan anak agar persepsi perempuan yang bekerja berubah di masyarakat. Pemerintah juga perlu mempertimbangkan aturan untuk memperpanjang cuti melahirkan selama setahun demi menyesuaikan dengan tumbuh kembang anak.
Ketiga, mendorong pengusaha perempuan agar bisa mengakses layanan e-commerce dan memastikan izin usaha lebih sensitif dengan kebutuhan mereka. Mengingat sekitar 60% perempuan pekerja perempuan berada di sektor informal, “formalisasi” sektor informal penting untuk dilakukan, seperti memastikan legalitas usaha, jaminan sosial, hingga penguatan target pasar.
Keempat, mendorong peningkatan kapasitas lewat berbagai akses seperti permodalan, jaringan, dan bimbingan karier demi menjembatani perbedaan gaji antara laki-laki dan perempuan. Upaya kesetaraan itu juga bisa lewat meningkatkan peran perempuan dalam posisi kunci perusahaan dan manajerial. Kesetaraan ini, menurut hasil studi perusahaan konsultan global McKinsey, akan menambah potensi US$135 miliar (Rp2.194 triliun) terhadap PDB Indonesia.
Banyak hal yang bisa kita pelajari dari penghargaan yang diterima Goldin dalam upaya memajukan kesetaraan gender di Indonesia, termasuk soal ekspektasi perempuan dan pembagian tugas yang lebih berimbang dalam rumah tangga. Pada akhirnya, kesetaraan gender bukanlah sekadar kemenangan perempuan, tapi juga merupakan upaya bersama yang harus ditempuh untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan.
Alexander Michael Tjahjadi, Research Associate
Jesita Wida Ajani, Pre-doctoral Research Fellow, Norwegian School of Economics
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.
[ad_2]