[ad_1]
Pepatah mengatakan jangan menilai buku dari sampulnya, namun bagi ilustrator buku Wulang Sunu, sampul adalah salah satu daya tarik terbesar yang membuat sebuah buku diambil dari rak di toko dan akhirnya dibeli untuk menjadi koleksi.
Seniman asal Yogyakarta yang kini bermukim di Bandung ini telah menyediakan sampul untuk berbagai novel klasik modern, seperti karya-karya Eka Kurniawan, Intan Paramaditha, hingga Trilogi Rara Mendut karya Y.B. Mangunwijaya dan novel legendaris Orang-orang Bloomington karya Budi Dharma. Ia juga membuat sampul untuk novel klasik dunia yang diterjemahkan ke Bahasa Indonesia seperti karya-karya George Orwell dan Ernest Hemingway.
Wulang mengawali portfolio ilustrasi sampul buku ini sejak tahun 2016. Saat itu ia didapuk menggarap sampul buku untuk kumpulan cerita Ernest Hemingway yang diterbitkan oleh Immortal Publishing, sebuah penerbit lokal kecil.
“Nah, dari situ aku upload di Instagram. Setelahnya tiba-tiba ada aja yang ngehubungin untuk bikin sampul buku hingga sekarang,” ceritanya kepada Volix dalam wawancara Kamis (25/5).
“Salah satu yang membuat berlanjut mungkin karena aku terus merawat jejaring yang sudah ada sebelumnya entah dengan ngobrol remeh temeh atau tanya-tanya seputar dunia perbukuan,” lanjutnya. Ia menambahkan bahwa media sosial seperti Instagram sangat berguna sebagai etalase portofolio.
Menurut Wulang, ada beberapa tahapan yang harus ia lakukan dalam membuat sampul buku, dari memahami cerita bukunya hingga mencari referensi yang kira-kira pas untuk menggambarkan isi ceritanya.
“Tahapan yang paling pertama adalah memahami bukunya tentang apa, bisa membaca secara keseluruhan atau baca sinopsis. [Selain itu] cari tahu seputar apa yang berputar di sekitar buku itu, misal cari tahu penulisnya dan juga karya-karya sebelumnya juga bisa,” ujarnya. “Habis itu kadang aku cari referensi dulu, bisa dari potongan adegan film, bahkan kemasan makanan, atau observasi yang ada di sekitar yang dirasa relevan untuk asupan visual dan warna.”
Setelah mendapatkan cukup “bahan”, Wulang akan langsung membuat berbagai pilihan sketsa. Setelah penulis dan penerbit memilih dari sketsa calon ilustrasi yang ia sediakan, Wulang kemudian memulai proses pewarnaan dan penyempurnaan.
Menurut Wulang, semua buku yang pernah ia kerjakan punya kesannya masing-masing karena ia biasanya akan terpengaruh dengan apa yang sedang terjadi di sekitarnya pada saat mengerjakan ilustrasi tersebut.
“Misalnya ketika ngerjain ilustrasi untuk puisi-puisinya Aan Mansyur. Saat itu sedang [puncak pandemi] COVID-19, dan suasananya cukup mencekam dan kerasa nggak masuk akal. Maka aku pilih menggunakan pensil untuk menghadirkan kesan-kesan tersebut,” ujarnya. “Sedangkan Buku Pink karya Jason Ranti juga menarik karena aku harus menghadirkan karakter sang penulis Jason Ranti di bukunya. Prosesnya cukup lama, dari ngetrace manual karya-karya Jeje sampe pakai abu rokok untuk elemen-elemen visualnya.”
Wulang mengaku pernah merasa minder ketika mengerjakan proyek karya monumental yang bersejarah, misalnya ketika mengerjakan Trilogi Roro Mendut karya Romo Mangun. “Wah itu aku cukup merasa tertekan karena merasa ada beban yang berat untuk bikin sampulnya. Sampai-sampai Mas Teguh, editor Gramedia Pustaka Utama yang memintaku untuk mengerjakan sampulnya, mungkin merasa was-was,” ujarnya terkekeh.
Membuat sampul dan ilustrasi cerita berarti menyuguhkan interpretasi semesta yang diciptakan penulis ke dalam wujud visual. Wulang mengatakan dia selalu merasa senang dan terhormat ketika penulis memperbolehkan dirinya bermain secara bebas untuk menciptakan semesta visual tersebut.
“Aku suka mengarang kira-kira universenya seperti apa, elemen visualnya kira-kira gimana,” ujarnya. “Pernah suatu ketika, ada satu elemen visual sampul yang aku bikin dengan mengira-ngira berdasar sinopsis yang ada. Elemen ini tidak ada dalam cerita asli. Tapi kemudian malah dimasukkan ke cerita sama penulisnya!” ujarnya “Menarik ketika klien percaya dengan visi ilustrator atau desainer, dan nggak terlalu membatasi proses kreatif. [Hal ini membuat] pengalaman kerjanya menjadi sangat menyenangkan. Ada diskusi juga yang bikin senang. Jadi hubungannya ga sekedar order saja.”
“Terima kasih, rekan-rekan yang sudah mempercayakan bukunya untuk diorek-orek sama aku.”
Wulang Sunu, seperti jutaan anak lain di dunia ini, tumbuh besar dengan hobi menggambar. Ia beruntung karena hidup dalam ekosistem yang mendukung kreativitas dan seni hingga akhirnya ia bisa mengembangkan hobinya menjadi penghidupan.
“Dulu waktu nganggur sebelum masuk kuliah aku diajakin teman untuk membantu pentasnya Papermoon Puppet Teather yang judulnya korban,” ujarnya. “Tugasku sebagai pelari, yakni ngambil balon untuk pentas, ambil katering, nyobekin tiket.”
Menurutnya, pentas itu membuka matanya bahwa kesenian bentuknya macam-macam, bukan hanya dalam bentuk gambar saja. Akhirnya, ia bergabung dengan Papermoon Puppet Theater dan belajar banyak soal seni pertunjukan dan saling silangnya dengan seni rupa. Ia menyebut pengalaman itu sebagai menggeliat, bahasa Jawa untuk magang.
“Banyak yang aku pelajari dari Papermoon, dari ngurusin barang daganganmain boneka, sampai caranya berjejaring. Aku merasa sangat beruntung bisa datang ke beberapa festival di luar negeri yang memberikan pengalaman yang membantu aku menjadi diriku yang hari ini.”
Bersama Papermoon, Wulang sempat keliling dunia dan bertemu banyak orang menarik dari ekosistem kreatif di luar negeri. Namun, di tahun 2016 Wulang memutuskan untuk pamit dari Papermoon untuk mulai fokus dengan karya-karyanya sendiri.
Soal berkolektif, Wulang juga punya wadah produksi dengan teman-teman SMA-nya bernama Studio Batu. Berawal dari kelompok graffiti, mereka akhirnya berkembang menjadi rumah produksi film dan pertunjukan visual.
“Sempat kolaborasi dengan beberapa orang seperti Riri Riza di instalasi “Humba Dreams (un) Exposed” yang dipamerkan di Artjog, lalu yang paling baru kemarin kolaborasi dengan Budi Agung Kuswara membuat satu pertunjukkan video mapping berjudul “Residual Memory of the Wall” yang ditampilkan di Light to Night Festival, Singapura, lalu juga membuat beberapa animasi dokumenter bersama Kartika Pratiwi berjudul “Daughter’s Memory” dan “Konta-sai”. Juga kolaborasi dengan band Risky Summerbee and the Honey Thief untuk pementasan mereka berjudul Simulacrum Keliling,” ujarnya menyebutkan beberapa projek dengan Studio Batu.
Karena berangkat dari komunitas, Wulang memahami suka duka profesi ilustrator. Pekerjaan ini memeras otak dan menantang kreativitas, pun tidak bisa diprediksi kapan lagi ada projek yang datang. Menanggapi dinamika ini, Wulang sering putar otak demi menyiapkan bantalan untuk membuat penghidupannya aman—namun tetap dengan cara-cara yang menyenangkan.
“Aku sekarang sedang mengulik untuk membuat produk turunan dari ilustrasi yang bisa dijadikan barang koleksi, untuk mendukung tambahan pemasukan,” ujarnya. “Aku ingin mencetak beberapa sampul jadi cetakan seni, dan sekarang sedang mengontak penerbit yang pernah bekerjasama untuk usulan ini. Dicetak dengan teknik sablon atau cetak saring dalam edisi limited. Jadi pembaca yang suka bukunya sekaligus ilustrasinya bisa mengoleksi buku sekaligus cetakan ilustrasinya.”
Wulang mengaku beruntung karena punya beberapa teman yang suka baca buku, sehingga terkadang ia justru mendapat inspirasi dari mereka. Selain itu, amatlah penting bagi illustrator untuk memiliki kemampuan mengolah inspirasi menjadi desain yang menarik.
“Kadang yang menarik justru referensi dari poster, adegan film, foto gitu bisa jadi pemantik inspirasi. Sampai hari ini akupun masih ngerasa belum selesailah untuk terus belajar ngeracik desain yang oke, mantab, dan memiliki kemampuan untuk cetak ulang,” ujarnya terkekeh. “Membaca bukunya sebelum bikin sampul itu penting, tapi yang ga kalah penting adalah mengasah kemampuan meracik desain yang ciamik.”
Saat ini Wulang sedang menggarap sampul novel Yusi Avianto Pareanom yang berjudul Pengantin-pengantin Loki Tua dari Penerbit Banana, serta novel horor terbaru penulis feminis Intan Paramadhita, Malam Seribu Neraka terbitan Gramedia Pustaka Utama.
[ad_2]
Source link