[ad_1]
Undang-Undang Perkawinan menetapkan usia pernikahan minimal 19 tahun. Bagi mereka yang berada di bawah usia itu, perkawinan hanya bisa dilakukan jika pengadilan mengizinkan. Hakim menjadi penjaga gawang terakhir menekan fenomena kawin anak.
Lembaga Plan Indonesia bekerja sama dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) mengadakan penelitian di Lombok Barat dan Sukabumi, terkait perkawinan anak. Kesimpulan yang diperoleh, mayoritas dispensasi perkawinan (Diska) dikeluarkan hakim karena kondisi yang memaksa, kata policy and advocacy spesialist Plan Indonesia, Megawati.
“Temuan dari penelitian kami terkait dengan pertimbangan hakim dalam memberikan persetujuan dispensasi kawin, umumnya hakim. Baik di Lombok Barat maupun Sukabumi sama-sama melihat bahwa adanya alasan mendesak,” ujar Megawati, Senin (19/6), dalam peluncuran laporan penelitian itu.
Megawati menyebut, Nusa Tenggara Barat dan Jawa Bawat memperlihatkan angka perkawinan anak yang cukup tinggi dalam tiga tahun, dan karena itu dipilih sebagai lokasi penelitian.
Dia menguraikan, ada lima pertanyaan kunci dalam penelitian ini. Pertama, bagaimana pertimbangan hakim pengadilan agama dalam memberikan persetujuan Diska. Kedua, sejauh mana hakim memahami dan menerapkan prinsip kepentingan terbaik bagi anak. Ketiga, apakah anak diberikan kesempatan berbicara tanpa adanya tekanan dan manipulasi. Keempat, jenis layanan yang diterima anak, dan kelima sejauh mana anak dan orang tua memahami dampak perkawinan anak. Penelitian kualitatif ini dilakukan melalui wawancara dan diskusi kelompok fokus.
“Di Lombok Barat alasan mendesak ini terlihat dari kehamilan yang tidak diinginkan pada anak, ataupun anak yang mengajukan dispensasi karena telah melakukan nikah siri,” papar Megawati yang juga menyebut bahwa budaya merariq atau sejenis kawin lari menjadi faktor cukup dominan.
Sedangkan di Sukabumi, Diska diberikan karena ada pandangan bahwa anak, khususnya perempuan yang berusia antara 17-19 tahun, itu telah dinilai akil baliq atau cukup dewasa untuk dikawinkan.
Ada perbedaan tindakan hakim di Lombok Barat, yang memberikan waktu hingga 30 menit bagi anak untuk menyampaikan pendapat di muka pengadilan. Hakim juga cukup detail menyampaikan pertanyaan, misalnya terkait apakah ada kehamilan tidak diinginkan, kelanjutan pendidikan anak, hingga pekerjaan calon suami. Sedangkan di Sukabumi, rata-rata waktu yang diberikan hanya maksimal 10 menit, dan hakim lebih banyak bertanya terkait kemampuan suami memberikan nafkah.
Ada perbedaan mendasar, karena hakim di Lombok Barat rata-rata memiliki sertifikasi hakim anak, berkebalikan dengan hakim di Sukabumi.
Plan Indonesia memandang, perlunya evaluasi Peraturan MA nomor 5 tahun 2019 tentang dispensasi kawin. Semua hakim seyogyanya juga memiliki sertifikat hakim anak. Selain itu, perlu pembaruan prosedur pemeriksaan Diska, dengan kewajiban meminta rekomendasi pihak terkait. Plan Indonesia juga merekomendasikan program dan alokasi anggaran sosialisasi dampak perkawinan anak dari desa hingga pusat.
Anak Perempuan Terbanyak Dikawinkan
Sementara itu, Koalisi 18plus, yang pada tahun 2019 turut melakukan judicial review UU Perkawinan, juga melakukan penelitian di dua daerah tersebut. Ajeng Gandini Kamilah dari Koalisi 18plus mengatakan bahwa organisasinya menganalisa 60 putusan pengadilan di Lombok dan Sukabumi, terkait dispensasi perkawinan.
“Di atas 95 persen, permohonan dispensasi kawin ini diterima di dua pengadilan itu. Hanya lima perkara yang cabut atau gugur, dan hanya satu ditolak dari 60 itu,” ujar Ajeng. Diska yang diteliti ada dalam rentang waktu tahun 2020-2022.
Ada sejumlah fokus penelitian Koalisi 18plus. Di antaranya adalah apakah hakim menyediakan waktu untuk mendengar keterangan anak, dengan atau tanpa kehadiran orang tua. Kedua, apakah hakim mengidentifikasi paksaan fisik, psikis atau ekonomi dari keluarga tersebut. Ketiga, apakah hakim meminta rekomendasi tenaga kesehatan, psikolog, komisi perlindungan anak atau pekerja sosial dalam kasus ini. Keempat, apakah hakim memperhatikan perbedaan usia anak dengan calon suami atau istri. Kelima, apakah hakim memastikan komitmen orang tua untuk bertanggung jawab secara ekonomi, sosial, pendidikan atau kesehatan bagi anak yang dikawinkan.
“Yang jadi subyek dispensasi untuk diminta dinikahkan dengan calon pasangan itu adalah perempuan, itu 55 dari 60. Hanya lima laki-laki. Ini menunjukkan bahwa anak perempuan merupakan kelompok yang rentan menjadi subjek dispensasi kawin,” ujar Ajeng.
Dari penelitian ini juga diperoleh data bahwa anak perempuan termuda yang dimintakan Diska baru berusia 14 tahun. Sedangkan anak laki-laki termuda 17 tahun. Ada juga perbedaan usia yang mencolok, di mana calon pengantin laki-laki berusia 38 tahun, dan calon pengantin perempuan baru 17 tahun.
Tuntut Keberpihakan Hakim
Berkomentar terkait hasil penelitian ini, Rini Handayani, pejabat di Kementerian PPPA menyebut, upaya menekan praktik perkawinan anak sebenarnya cukup maksimal. “Yang pertama adalah regulasi. Kita sudah ada,” kata Rini.
Kementeria PPPA melihat, ada satu celah dalam Peraturan MA 5/2019 yang membuka kesempatan bagi hakim leluasa mengeluarkan Diska. Meski MA meminta hakim untuk bersikap hati-hati, pertimbangan dari pihak lain seperti psikolog, dinas perlindungan anak di daerah, atau tenaga kesehatan tidak diwajibkan. Ke depan, Rini mengusulkan ada aturan yang mewajibkan hakim meminta masukan dari pihak-pihak tersebut.
Hakim Pengadilan Tinggi Jakarta, Indah Sulistyowati yang hadir mewakili Mahkamah Agung, setuju dengan apa yang disampaikan Rini. “Untuk menutup celah itu, kita dapat meminta pertimbangan itu bisa diganti wajib. Bisa saja nanti diusulkan,” kata Indah.
Indah juga setuju bahwa pendidikan dan latihan (Diklat) penting diberikan kepada para hakim, agar lebih memahami isi Perma 5/2019, dan mampu menangani permohonan Diska secara lebih komprehensif. Apalagi, penelitian dua lembaga ini menyimpulkan, hakim-hakim yang telah memiliki sertifikat hakim anak, cenderung lebih bijak dalam memutuskan perkara dispensasi perkawinan. [ns/ka]
[ad_2]