[ad_1]
Aku sedang sering teringat petikan dialog novel berbahasa Inggris yang tanpa sengaja kutemukan di linimasa tempo hari. Intinya kira-kira begini: ada rasa bersalah yang membebanimu hingga kau tak berdaya. Ada pula rasa bersalah yang memberimu tujuan. Jadikan pelajaran agar kamu tidak mengulanginya lagi. Jangan biarkan itu menguasai hidupmu.
Aku langsung tertohok membaca rangkaian kata itu, apalagi kalimat terakhirnya. Sudah dua tahun ini aku tiada habisnya menyesali perbuatanku kepada Almarhum Kakek. Sekitar setahun sebelum Kakek meninggal, aku sempat melukai hatinya lantaran tersulut emosi mendengarkan cerita Nenek yang bertengkar dengan Kakek. Aku sekonyong-konyong membela Nenek tanpa mencoba memahami sisi Kakek. Rasa bersalah terus menyelimuti hatiku, bahkan setelah kami berbaikan.
Puncaknya ketika Nenek berseteru dengan Paman dan Bibi sambil menyeret-nyeret Ayah-Ibuku. Keluargaku yang bermaksud menengahi, malah dituduh Nenek yang tidak-tidak. Sejak saat itu aku ogah ikut pergi ke rumah Nenek.
Kesehatan Kakek kian menurun tak lama setelahnya. Berulang kali Kakek bilang merindukanku dan ingin sekali bertemu, tapi aku selalu beralasan sibuk karena malas menemui Nenek. Aku juga mengabaikan semua SMS-nya yang berpura-pura Nenek sedang sakit biar aku menengoknya.
Pada 19 Desember 2021, malam hari, Ayah-Ibu mendapat kabar kondisi Kakek kritis. Mereka segera menjemputnya dan membawa Kakek untuk dirawat di rumah lama kami. Mereka baru tiba Senin pagi, dan aku berencana menjenguk Kakek sepulang kerja. Siang harinya aku dikabari Ibu kalau Kakek sudah tiada. Tak kesampaian keinginan Kakek bertemu denganku sebelum mengembuskan napas terakhirnya. Tak sempat juga aku meminta maaf sudah cuek sama Kakek.
Rasa menyesal muncul ketika kita sadar telah melakukan kesalahan. Kita marah pada diri sendiri karena tahu betul seharusnya tidak berbuat begitu. Kita pun terpacu meluruskan masalahnya. Namun, saat kita terlambat menebus penyesalan itu, kita cuma bisa berharap waktu dapat diputar ulang. Kita jadi berandai-andai keadaan akan berbeda kalau saja kita melakukan ini-itu. Aku menyadari fakta pahit ini begitu kakek pergi selama-lamanya. Aku tahu aku seharusnya bisa menyenangkan hati kakek, tapi malah lebih mementingkan ego.
Kutipan di atas memaksaku merenungkan kembali perjalanan hidupku setahun terakhir. Tampaknya tidak ada yang kusesali sepanjang 2023, kecuali satu hal. Sudah ketebak apa itu.
Bagaikan ditampar masa lalu, suatu hari editorku mengusulkan tema penyesalan buat konten akhir tahun. Jadilah aku meminta pembaca setia VICE Indonesia menceritakan hal yang paling mereka sesali di tahun ini.
“Enggak bisa mempersiapkan UTBK, jadinya gagal”
Aku ikut UTBK (Ujian Tertulis Berbasis Komputer) harapannya bisa keterima di Universitas Negeri Malang. Tapi aku enggak lolos dan harus gap year. Aku mau coba lagi tahun depan, semoga aja keterima. — Al Farrell, 18 tahun
“Enggak pulang Lebaran”
Lebaran kemarin gue disuruh pulang sama ortu, tapi gue milih hal lain karena pengen ngerasain lebaran sendiri. Di samping itu, gue harus kerja di luar kota sambil kuliah jadi ada alasan enggak ikut lebaran yang kesannya monoton. Biasanya keluarga gue lebaran misah-misah. Eh, ternyata lebaran kemarin lengkap di rumah. Kalau tahu gitu kan gue ikut lebaran bareng keluarga. — Dhika, 25 tahun
“Mempromosikan penipuan”
Ada akun personal yang nge-DM nawarin aku promosiin Corkcicle dagangannya. Katanya, aku bakal dikasih botol gratis sebagai imbalannya. Temanku tadinya ada yang mau beli, tapi lama-lama dia enggak yakin karena harganya miring banget. Terus dia cari “namira corkcicle” di X dan ketemu thread yang bilang kalau orderannya sudah dua bulan enggak dikirim-kirim. Uang orang itu baru di-refund setelah dia ancam mau viralin kasusnya. Aku sendiri lagi spam chat orangnya supaya balikin uang teman-temanku yang udah beli. Janjinya hari ini (Jumat), tapi belum ada kabar lagi. — Nana, 25 tahun
“Setengah tahun enggak ngobrol sama nyokap, padahal kangen banget”
Prestasiku turun drastis setelah Papa meninggal 2012 lalu. Aku kecewa sama keluarga, sama keadaan juga, sampai lama-lama aku jadi bandel. Aku pernah enggak naik kelas dua kali pas SMA, padahal dulu banget aku anak berprestasi. Mama lalu pindahin aku ke Blora supaya bisa mengulang studi di sana.
Aku sakit-sakitan selama tiga tahun di Blora. Sakit jantung lah, asma lah, ada-ada saja penyakitnya. Mama sabar banget membiayai semuanya. Setelah lulus, aku pindah ke Jakarta buat coba peruntungan. Sampai ada satu momen Mama telepon bahas soal utang budi. Di situ posisinya aku lagi capek jadi emosian, sampai keluar kata-kata yang bikin Mama sakit hati. Sejak itu aku enggak berani kontak langsung karena Mama enggak mau telepon. Aku kangen Mama, tapi takutnya Mama masih sakit hati. — Sifan, 22 tahun
“Udah enggak pernah kontak teman lama, tahu-tahu dapat kabar dia meninggal”
Kami berteman waktu sama-sama bekerja di daerah Sumatra 2007-2010. Dia kariernya bagus banget, bisa apa aja, dan semua yang dia pegang tereksekusi dengan baik. Profil medsosnya juga bikin orang kagum sekaligus iri. Pokoknya hidup dia terlihat sempurna.
Sampai dua hari lalu, aku dapat kabar dia meninggal di RS. Aku kaget karena dia enggak pernah posting apa-apa tentang penyakitnya. Emang sih di foto-fotonya dia kelihatan kurusan, tapi aku kira dia diet atau rajin olahraga. Kalau saja aku iseng tanya kabarnya, kan seenggaknya aku bisa kasih support dari jauh selama dia sakit. — Aliet, 37 tahun
“Enggak pernah angkat telepon Mama”
Mamaku meninggal Oktober kemarin. Mama satu-satunya orang yang selalu nelponin aku biar aku enggak pulang kemalaman, nyuruh makan, nanyain aku lagi di mana, dan bangunin aku pagi-pagi. Tapi aku sering enggak angkat teleponnya karena merasa Mama cerewet banget.
Mama sempat telepon aku sebelum masuk rumah sakit. Mama bilang kangen tidur bareng aku, tapi aku malah bilang capek mau istirahat. Besoknya Mama cuci darah, terus kondisinya ngedrop dan harus dirawat. Mama meninggal hari keempat di RS. Aku nyesel senyesel-nyeselnya karena enggak pernah angkat telepon Mama dan selalu kesal kalau disuruh cepat-cepat pulang. Sekarang udah enggak ada lagi yang nelponin dan cerewetin aku. — Tia, 31 tahun
[ad_2]