[ad_1]
Tak pernah sekalipun terlintas di benak Bree Silveira, suatu hari hidupnya akan berubah 180 derajat. Warga California Utara, Amerika Serikat, itu salah satu dari puluhan ribu pekerja yang diterjang badai PHK pada Maret lalu. Silveira diberhentikan dari perusahaan perangkat lunak, tempatnya mengabdi sebagai hiring manager selama hampir dua dekade.
Pengalaman ini membuka matanya terhadap realitas dunia kerja yang kejam, mematahkan segala keyakinannya selama ini. Ternyata, jabatan mentereng tak mampu menyelamatkan Silveira dari ancaman kehilangan pekerjaan. Berkarier di industri teknologi raksasa tak selalu seindah yang dibayangkan orang-orang.
Silicon Valley yang dulu dielu-elukan lantaran punya prospek masa depan yang menjanjikan, kini menumbuhkan ketakutan tersendiri bagi mereka yang bergelut di dunia teknologi. Selama beberapa tahun terakhir, gelombang PHK seolah-olah telah menjadi santapan sehari-hari karyawan di sektor ini.
Jika orang dengan jabatan tinggi seperti Silveira bisa dipecat, bagaimana nasib kroco mumet yang tiada apa-apanya? Mereka-mereka yang saat ini masih bertahan, cuma tinggal menunggu gilirannya tiba.
Peningkatan jumlah kasus pemutusan hubungan kerja juga semakin mempersempit peluang kerja yang tersedia. Akibatnya, persaingan dalam pasar tenaga kerja bertambah sengit.
Silveira beruntung telah menemukan pekerjaan paruh waktu di sebuah toko ritel dekat rumahnya. Walau gajinya tidak sebesar dulu, ia sekarang memiliki lebih banyak waktu luang untuk mengurus sendiri anak-anaknya. Ia tak perlu sering-sering menitipkan mereka, sehingga dapat sekaligus memangkas pengeluaran bualan. Silveira kini cuma bekerja setiap akhir pekan saja.
Menurut pengakuannya, ia awalnya menjajal profesi ini karena tertarik membuka usaha sendiri. Siapa sangka, kesibukannya di toko membantu Silveira menghidupkan kembali semangat kerjanya. Ia menikmati waktunya sebagai pegawai toko, terutama saat berinteraksi dengan berbagai macam pelanggan.
Terlebih lagi, upah yang ia terima bisa untuk menambahkan penghasilan keluarga.
“Kenapa harus malu? Saya siap melakoni pekerjaan apa pun asal bukan uang haram,” tandasnya, usai ditanya pernahkah dia merasa minder dengan pekerjaan ini.
Namun, tidak semua korban PHK bernasib sama seperti perempuan itu. Contohnya Khalid Salim, yang kalang kabut sudah setengah tahun menganggur sejak dipecat dari pekerjaannya. Dulu, ia merupakan quality assurance engineer untuk Hotel Engine, aplikasi pemesanan hotel yang berbasis di Denver, Colorado.
“Cari kerja susah sekali ya,” keluhnya. “Lamaran saya jarang dilirik.”
Padahal, Salim telah melakukan berbagai cara untuk meningkatkan peluang kerjanya. Warga Orlando ini sudah menambah keterampilan baru yang banyak dibutuhkan perusahaan. Ia juga merombak habis-habisan CV dan lamaran kerjanya. Salim bahkan memperluas koneksinya di LinkedIn, dengan harapan cepat mendapatkan pekerjaan. Hasilnya? Nihil.
Salim mengaku sudah mentok, tak tahu harus ngapain lagi. Sang ibu sampai menyarankannya untuk banting setir jadi HRD.
Paige Webster bisa membuktikan betapa bahagia dirinya sejak meninggalkan industri yang hampir belasan tahun diselami olehnya. “Industri teknologi sedang tidak stabil,” tutur mantan karyawan Meta yang terdampak PHK massal pada Maret lalu.
Di kantornya dulu, tak jarang Webster membawa pulang pekerjaannya untuk diselesaikan di rumah. Waktu istirahatnya pun semakin berkurang, yang membuatnya tak sempat bersenang-senang dan menikmati dunia luar. Juga tak ada kesempatan baginya untuk menyalurkan kreativitas.
Setelah di-PHK, ia memanfaatkan pengalamannya di masa lalu untuk melamar kerja di sebuah kilang anggur yang ada di daerahnya. Webster diterima dan menghasilkan $20 (setara Rp300 ribu) per jam. Perempuan itu sebetulnya sudah lama terpikir untuk kembali bekerja di industri F&B, namun mengurungkan niatnya karena kebutuhan hidup yang cukup tinggi.
Menurutnya, ia sedih membaca postingan LinkedIn teman-teman seperjuangannya yang putus asa mencari pekerjaan baru. Banyak yang menceritakan pengalaman serupa seperti Salim. Mereka sudah ratusan kali melamar pekerjaan, tapi selalu dikacangin. Tak jarang mereka mendapat nasihat untuk “berjuang lebih keras” supaya dilirik perekrut.
Webster memuat kisah pribadinya di LinkedIn untuk memotivasi mereka. Ia membeberkan, meski kadang takut gajinya tidak cukup untuk sebulan, ia merasa lebih bersemangat menekuni pekerjaan barunya. Sejak postingannya viral, Webster mengatakan sering menerima ucapan terima kasih dari orang-orang yang terinspirasi oleh kisahnya.
Lalu ada Alexa Dickinson, yang dibesarkan oleh seorang ayah yang berkecimpung di industri teknologi sejak usia mudanya. Keluarga mereka hidup berkecukupan berkat gajinya yang besar. Maka tak heran jika Dickinson bertekad meneruskan jejak ayahnya saat dewasa kelak. Begitu lulus kuliah pada 2017, ia langsung melamar posisi marketing di perusahaan T-Mobile. Ia percaya pengalaman bekerja di sektor teknologi dapat memuluskan jalan kariernya.
“Bisa dibilang, saya menjerumuskan diri ke sektor ini bukan karena tertarik dengan teknologi. Saya cuma berkaca dari pengalaman pribadi, orang yang bekerja di industri ini kebanyakan sukses semua,” ujarnya.
Memang benar, Dickinson berkali-kali naik jabatan selama lima tahun terakhir. Namun, ia mendapat kejutan besar suatu hari di bulan Oktober. Pihak HRD memberitahunya, ia harus mengakhiri masa kerjanya di T-Mobile. Saat itu juga Dickinson merasa seperti barang yang mudah diganti.
Dickinson sebelumnya ragu mencoba tantangan baru di sektor lain. Ia memilih bertahan di perusahaan telekomunikasi itu demi menjamin kehidupannya. Mau tak mau ia merelakan minat dan ambisinya sendiri.
Untung saja ia dapat pesangon dari T-Mobile. Dickinson tak perlu khawatir menjalani kehidupannya seperti yang selalu diimpikan.
Sekarang, ia menjadi pekerja paruh waktu untuk sebuah startup yang bergerak di bidang fesyen. Dickinson juga bekerja sambilan sebagai pelayan wine di waktu luangnya. “Fesyen dan wine jauh lebih seru,” tuturnya. “Saya tak perlu lagi pakai topeng, dan bisa menjadi diri sendiri selama menjalani pekerjaan ini.”
Bagi Silveira pribadi, gelombang PHK tak menghentikannya mencari kesempatan bekerja di perusahaan teknologi lain. Namun, ia menyayangkan betapa banyaknya lowongan pekerjaan yang menawarkan gaji sangat rendah untuk posisi pemula. Meskipun ia tidak mempermasalahkan soal gaji, Silveira tidak mau menurunkan standarnya di pasar tenaga kerja. “Saya punya kemampuan yang patut dihargai dengan layak. Saya tidak mau menurunkan nilai yang saya miliki agar mendapat pekerjaan baru,” tegasnya.
Silveira akan terus berikhtiar sampai menemukan pekerjaan yang pantas untuknya. Sementara itu, Dickinson ingin menikmati kebebasan yang tak pernah ia miliki selama bekerja di sektor teknologi. Menurutnya, industri ini lebih banyak negatifnya daripada yang positif.
Tenaga kerja kompeten tak lagi ada artinya di mata para petinggi. Upah dan perlakuan yang mereka terima tidak sebanding dengan jasa yang mereka berikan. Ditambah lagi, perusahaan bisa dengan mudahnya membuang karyawan lama ketika sudah tidak membutuhkan mereka.
[ad_2]