[ad_1]
Meskipun lelah dengan ambisi politik Beijing dan khawatir akan ketergantungan yang berlebihan pada China, sejumlah warga di Asia Tengah mengatakan kepada VOA bahwa mereka juga melihat manfaat dari Inisiatif Sabuk dan Jalan atau Belt and Road Initiative (BRI) yang pertama kali diluncurkan tahun 2013, sebagai upaya infrastruktur global yang dijalankan oleh China.
Sejak diluncurkan, China telah mendanai setidaknya 112 proyek di Asia Tengah. Sebagian besar dari proyek tersebut ditujukan untuk meningkatkan transportasi dan konektivitas seperti pembangunan jalan raya pegunungan Qamchiq.
“Jalur gunung ini adalah tempat saya mencari nafkah,” kata sopir taksi Majid, yang berasal Uzbekistan. Jalan raya tersebut menghubungkan Tashkent, ibu kota Uzbekistan, dengan Lembah Ferghana, dan mencapai wilayah Kyrgyzstan selatan dan Tajikistan utara. Seperti orang lain, Majid tidak mau memberikan nama lengkapnya dalam wawancara dengan VOA karena khawatir akan tindakan yang diambil oleh pihak berwenang.
Majid mengendarai sedan Chevrolet Lacetti buatan Uzbekistan-AS yang dapat menampung empat penumpang. Ia biasanya mengenakan biaya sekitar $14 per orang untuk berkendara ke Kokand, yang berjarak sekitar 130 kilometer di sebelah tenggara Tashkent.
“Target saya melakukan dua kali perjalanan pulang pergi dalam sehari, yang menelan waktu delapan hingga sembilan jam ketika lalu lintas agak sepi. Ini lebih baik daripada bekerja untuk pemerintah,” katanya kepada VOA. “Karena ini adalah mobil milik pribadi, saya menyimpan sebagian besar penghasilan saya di kantong saya sendiri untuk mengurus keluarga besar saya.”
Di Osh, kota terbesar kedua di Kyrgyzstan, yang berada di sisi lain Lembah Ferghana, pengaruh ekonomi China sangat terasa sehingga penduduknya biasa menganggap proyek infrastruktur baru apa pun sebagai buatan “China.”
Bagi Muzaffar, yang sering menjadi pekerja migran, Beijing adalah “negara adidaya” yang tak bisa disangkal di belahan dunia ini.
“Tidak ada kekuatan lain yang dapat menunjukkan kekuatannya sebanyak yang China bisa, dan mereka melakukannya tanpa banyak gembar-gembor. Mungkin China ingin agar kita terbiasa melihat pengaruh mereka ada di mana pun,” ujarnya, seraya menambahkan bahwa ia ingin keempat anaknya juga mempelajari Bahasa Mandarin selain Bahasa Inggris dan Rusia.
Di kota terbesar kedua di Tajikistan, Khujand, yang dikenal akan pasar Panjshanbe-nya, para pedagang mengatakan kepada VOA bahwa mereka kebanyakan membeli dan menjual barang-barang asal China.
“Mereka [barang-barang itu] adalah mata pencaharian kami. Tidak ada transaksi tanpa barang-barang asal China,” yang paling mudah didapat dan dijual dan juga sangat terjangkau, ungkap Mohira, seorang pedagang yang bolak-balik dari Khujand menuju Ferghana, Uzbekistan, melalu jalur perbatasan Andarkhon-Patar. “Barang-barang dari China selalu tiba dalam satu atau dua hari. Layanannya dapat diandalkan.”
Namun, pedagang seperti Mohira tidak yakin mengenai dampak dari proyek lintasan kereta api yang akan menghubungkan China dengan Kyrgyzstan dan Uzbekistan pada perekonomian lokal. Sejumlah pejabat mengatakan studi kelayakan dari proyek tersebut akan segera tuntas. [ps/lt/rs]
[ad_2]