Dalam release-nya, Asosiasi Media Digital Indonesia (AMDI) kembali mengingatkan bahwa perkembangan media komunikasi terutama yang berbasis digital demikian masif.
Sebagai organisasi pemilik media digital di zaman now, Asosiasi Media Digital Indonesia (AMDI) mengingatkan Dewan Pers jangan menjadi ijin terselubung dari otoritas di bidang pers.
Dewan Pers perlu Proaktif mendata, jangan sampai antrian di online website tidak terverifikasi administrasi dan antri dalam faktual, karena keterbatasan SDM Dewan Pers.
Di website Dewan Pers sekarang, dihapus mengenai media yang terverifikasi administrasi.
Aturan Dewan Pers tak sesuai perkembangan jaman di era digital .
“Ada banyak media digital yang hanya punya satu atau dua jurnalis, tapi bekerja berdasarkan kode etik jurnalistik. Tapi, dalam, hal business plan, terkendala dengan syarat admin, soal aturan Depnaker atau pajak, sehingga belum bisa disebut perusahaan pers, versi Dewan Pers,” ujar S.S Budi Rahardjo, Ketua Asosiasi Media Digital Indonesia.
Dewan Pers ada bagusnya merevisi beberapa poin khususnya media digital sesuai perkembangan jaman, dimana era startup, banyak jurnalis atau mantan jurnalis mendirikan media digital tapi dengan konsep benar.
Media para jurnalis itu, indepen, namun tak cukup baik dalam menata manajemen. “Dewan Pers kiranya meliterasi atau membimbing,” ujar Budi Jojo, CEO majalah eksekutif dan Pemred Majalah MATRA.
Banyak perusahaan media digital yang mendaftarkan diri di Asosiasi Media Digital, sebagai penerbit pers memahami Undang-undang pokok pers.
Akan tetapi, belum terdaftar di Dewan Pers karena terkendala, poin-poin yang mendukung majunya industri media digital. Sementara media sosial, serta media abal-abal tak terkendali saat ini.
Ketua Asosiasi Media Digital ini memaparkan, dalam menjaga perusahaan digital membangun nilai (value) dari perusahaannya dibuatlah website pimpinan media untuk mengedukasi “standar perusahaan pers” dikaitkan jaminan akan profitabilitas perusahaan di masa datang.
Sesuai peraturan Dewan Pers, antara lain harus berbadan hukum untuk usaha pers, ada penanggung jawab harus dicantumkan jelas. Serta wajib memberikan upah kepada wartawannya.
“Itu yang kami lakukan,” pria pemilik Jojomedia Corporation ini yang juga sudah merupakan Wartawan Utama ini
Asosiasi Media Digital Indonesia menyebut Dewan Pers jangan menjadi “palu hakim”
Maksudnya, “Kalau belum terdaftar tapi sudah memenuhi standar perusahaan pers, lantas dihakimi bahwa itu bukan Pers. Karena, kalau perusahaan itu dengan niat baik, membuka lapangan kerja dan memenuhi kerja kaidah jurnalistik, perlu di suport. Jangan juga, nanti menjadi kelalaian Dewan Pers tidak mendata.”
Budijojo menyebut, sebuah media disebut profesional, bukan abal-abal, antara lain bisa didekteksi dari dari sisi badan hukum, alamat kantor, jenis usaha, susunan redaksi, dan cara kerja.
Secara bahasa, abal-abal artinya palsu, murahan, rendahan, tidak terpercaya, ilegal.
“Media abal-abal adalah media yang tidak resmi, tidak berbadan hukum, sehingga potensial menyajikan berita asal, sembarangan, serampangan, beritanya tidak dapat dipertanggungjawabkan, dan cenderung mengabaikan standar dan etika jurnalistik,” ujar Budi Jojo.
Budi mengatakan, media profesional, terpercaya, bukan media abal-abal.
“Paling tidak, kalaupun belum/tidak berbadan hukum, media tersebut mencantumkan nama-nama tim redaksi (wartawan) dan alamat kantornya,” jelasnya kepada seluruh masyarakat, jika nama pengelola situsnya “anonimous” alias tidak jelas nama dan alamatnya, memang tak usah dijadikan rujukan informasi.
“Biasanya situs abal-abal hanya mengejar trafik dengan posting berita sensasional,” ujar Budi menyebut contoh kata lebay bin alay, bahkan sering beda judul ama isinya!
Media abal-abal juga biasanya menggunakan judul-judul berita umpan klik (clickbait) yang melabrak standar penulisan karya jurnalistik, misalnya menggunakan kata “WOW”, “Terungkap”, “Miris”, “Ini Dia”, “Begini”, “Inilah”.
Kawanan ini kerap memeras dan lekat dengan praktek korupsi.
Asosiasi Media Digital Indonesia dan Forum Pimpinan Media Digital Indonesia sudah berkolaborasi mendata, mengevaluasi dan membenahi syarat-syarat administrasi, media digital termasuk yang kecil-kecil yang tengah dirintis, tetapi mau bekerja profesional. Karena fenomena inilah yang sedang terjadi.
Forum Pimpinan Media Digital Indonesia (FPMDI) mendukung dengan serius tumbuhnya media profesional.
Bersama Asosiasi Media Digital Indonesia melakukan “white list” media digital lewat gerakan menulis baik serta benar, bukan hoax.