Penulis adalah Ketua Forum Pimpinan Media Digital Indonesia, Penulis Buku, Coach Densus Digital, Pemimpin Redaksi Konvergensi Media. Penerima beasiswa Ford Foundation, LP3Y, ISAI dan LPDS tentang Investigative Reporting.
Buku tentang jurnalistik, demikian terserak. Namun khusus untuk penulisan jurnalistik Investigasi atau istilah kerennya, Investigative Reporting (IR) belumlah banyak.
Bahkan, bisa disebut langka. Trik atau kiat dari seorang wartawan investigasi yang menggali segala hal, atau menyelidiki hal ini dan itu, atau membongkar sesuatu ini dan itu, pasti menarik. Ini yang perlu juga diungkap.
Selain berarti buat pembaca, tulisan investigasi sering dianggap “berkelas”, karena menyangkut hajat hidup rakyat banyak.
Tulisan investigasi, bermakna lebih karena menjadi pengetahuan yang bila orang membacanya, akan terkesiap.
Bagaimana tidak, banyak cerita seru dibalik pengungkapan suatu peristiwa. Mengharuskan si wartawan menyamar, bak seorang detektif, demi mengurai fakta demi fakta.
Para pakar umumnya sepakat bahwa Investigative Reporting unsur utamanya adalah ketidakberesan.
Dari situ merambat pada penyelewengan yang menyangkut kepentingan umum, menarik perhatian masyarakat dan pada akhirnya merugikan masyarakat.
Pelanggaran itu, bisa juga menyangkut pelanggaran terhadap undang-undang, peraturan hingga kesopanan dan akal sehat.
Di sinilah wartawan atau sekelompok jurnalis berusaha mengangkat hal-hal yang justru ingin ditutupi oleh sekelompok orang, yang dalam hal ini ingin ditutupi oleh suatu pihak yang berbuat salah.
Wartawan investigasi perlu punya semangat tugas bergairah, gesit dan punya visi.
Jangan juga, tak mengerti definisi investigative reporting. Sebab, tak semua indebt reporting itu investigatif.
Yang benar adalah, tulisan investigasi bukan saja dikemas menjadi “lebih hidup” akan tetapi harus menjadi lebih berarti buat pembaca.
Hal ini, bisa menyangkut manipulasi, korupsi, kolusi dan nepotisme, sebagai contoh bentuk-bentuk ketidakberesan tadi.
Pada Investigative Reporting yang diselidiki bukan saja pelanggaran kelembagaan, tapi bisa juga individidu.
Khususnya di Indonesia, reportase investigasi di era Orde Lama dan Baru, lebih banyak di pandang oleh penguasa sebagai buah terlarang.
Terlebih jika menyangkut kepentingan politik atau bisnis sang penguasa. Tak juga melulu mengungkap “kelas berat”, yang sepele asal ia menyangkut kepentingan publik, juga bisa.
Pernah, ada reporter di Jakarta beberapa tahun lalu, yang penasaran dan mengikuti seorang yang dibebaskan hakim (dari dakwaan melakukan pembunuhan) karena yang bersangkutan dianggap gila.
Ternyata, dalam investigasi itu didapat fakta, pria yang memegang surat dokter yang menyatakan gila itu, dalam perjalanan pulang biasa saja. Ia tak seperti orang gila yang bingung.
Pria itu, naik dengan kendaraan umum sama sekali tidak menunjukan gejala sakit ingatan. Atas dasar itulah, investigasi dirancang.
Kasta Wartawan Investigasi Lebih Tinggi
Wartawan Investigasi kalau bisa disebut, memang punya kasta yang sedikit tinggi, dibanding wartawan biasa.
Karena, biasanya wartawan investigasi adalah wartawan senior. Bahkan, banyak juga wartawan senior yang sudah melakukan tugas jurnalistik bertahun-tahun, belum tentu bisa menjadi atau liputan investigasi.
Kalau pun, ada wartawan baru yang dicemplungkan menjadi bagian dari pengendusan atau tim investigasi, ia pasti dikemudian hari menjadi wartawan hebat. Mereka adalah orang-orang pilihan.
APA itu IR?
Investigastive Reporting tumbuh didorong oleh anggapan bahwa peran pers, salahnya satunya adalah wacthdog.
Hal ini juga dipengarui oleh paham crusading journalisme, bahwa pers sebagai “penjaga kebenaran” harus ikut membersihkan dan melawan kebohongan, kepalsuan, serta berbagai penyakit lain.
Dalam perkembanganya, di era reformasi sangat banyak kasus dan penyelewengan. Bukan saja media cetak yang memiliki label liputan investigasi, akan tetapi media televisi punya acara yang bernama investigasi.
Untuk menjadi liputan yang baik, atau seru, ini berkait dengan jumlah tiras (oplag) untuk media cetak atau rating untuk ukuran televisi.
Dalam kaitan itu pula, ragam investigasi dikemas dalam sebuah liputan yang menarik dan ada juga yang “diseting” dengan cara reka adegan.
Apakah liputan investigasi merekayasa adegan bagian dari investigasi, ini etis atau tidak?
Kiranya, kita perlu belajar atau melakukan investigasi yang “sederhana” saja dulu.
MEMULAI INVESTIGASI
Langkah Pertama, dalam melakukan Investigasi adalah memilih topik yang akan diivestigasi.
Tentu topik yang dipilih harus feasible, artinya bisa dikerjakan. Tentukan juga, perlu dilakukan secara individu atau tim, dan bagaimana pula pendanaannya?
Jika oleh tim, yang perlu dilakukan kemudian, pembagian beban kerja dan siapa penanggung jawab project itu.
Susun juga kerangka dari apa yang akan diivestigasi, diawali dengan pemikiran/asumsi dasar dari persoalan yang dipilih.
Outline juga perlu dibuat nara sumber utama dan alternatifnya, termasuk bagaimana mengembangkan data primer dan sekunder.
Lakukan persiapan sematang mungkin. Sun Tzu pernah mengatakan, bila sebelum perang kita sudah mengetahui betul medannya, berarti setengah dari pertempuran sudah dimenangkan.
Makin siap, wartawan investigasi menguasai permasalahan, akan semakin baik Invesigasi dilakukan.
Tentu saja, kaidah jurnalistik dasar jangan dilupakan, misalnya teknik wawancara dan menembus sumber.
Yang menjadi penting adalah persiapan mental. Soalnya, topik yang dipilih wartawan Investigasi biasanya lebih “berat” dalam rintangan dan hambatan untuk menggali informasinya.
Karena ingin menguak ketidakberesan, banyak pihak yang ingin menutup-nutupi skandal atau penyelewengan, bila perlu dengan tindakan yang tidak terpuji.
Tentu kita ingat kasus Udin, wartawan Bernas, Yogyakarta, yang tewas karena melakukan investigasi pada bupati Bantul.
Selain ancaman fisik dan mental (tekanan, teror) bisa juga gerakan tutup mulut (GTM) dari pihak-pihak yang takut membuka kasus itu atau pihak yang bersangkutan.
Dicuekin hingga tekanan legal, misalnya dituding merusak nama baik yang bersangkutan, sangat mungkin terjadi.
Misalnya, si reporter bisa saja kemudian dituduh atau dituding, ditunggangi pihak ketiga atau kelompok tertentu, pihak ketiga. Jaman ORBA, seringkali kita mendengar, “wah ini bisa mengganggu stabilitas, SARA, atau malahan dicap PKI.”
Jangan kamu kuatir. Itu memang harus dipegang teguh.
Kita harus siap menghadapi semua itu. Termasuk, tentu saja iming-iming duit, angpao, atau berbagai jenis penggoyah iman lain.
Mungkin saja, dikirim pulsa, hingga dolar ke rekening si wartawan yang dirasa akan mendobrak zona nyaman orang-orang yang investigasi.
Bisa jadi, yang dilobi atau diteror, jika si wartawan tidak mempan adalah justru si atasan. Maksudnya, tak lain adalah menyetop liputan agar investigasi disetop dan tak dimuat di media.
BERANGKAT DARI MENCIUM KETIDAKBERESAN
Investigative Reporting dimulai dari suatu anggapan atau asumsi bahwa biasanya bersumber dari “info” atau berdasar pengamatan dari seorang reporter yang jeli mencium ada ketidakberesan di suatu tempat.
Bisa juga berangkat dari suatu diskusi rapat redaksi yang memutuskan untuk menulis sesuatu laporan yang mendalam mengenai suatu proyek, yang menyangkut kepentingan khalayak dan layak diketahui umum.
Lahirnya Invesigasi didorong oleh pemikiran pers bahwa masalah-masalah yang ada sekarang ini makin kompleks sehingga masyarakat perlu “dituntun” dan “dibekali” informasi yang lebih jelas dan rinci agar bisa benar-benar memahami masalah tersebut.
Liputan investigasi tetap dilandasi dasar-dasar dari reportase biasa.
Wartawan Investigasi menguraikan fakta demi fakta tanpa harus memberi kesimpulan, hingga fakta-fakta itulah yang menyuguhkan kesimpulan. Reportase investgasi
Investigasi tak harus mengungkap yang berat-berat misalnya pelanggaran undang-undang, peraturan atau kode standar dalam hal dana besar milik rakyat.
Wartawan investigasi pasti tahu, perihal peristiwa 1960an sampai 1970an. Kasus watergate yang diungkap oleh dua reporter harian Washington Post (Bob Woodward dan Carls Bernstein).
Diawali dengan terjadinya pencurian pada markas Partai Demokrat pada 1972, kasus ini kemudian melebar dan mnembersa dan ternyata menyangkut Presiden Nixon yang terpaksa mengundurkan diri dari jabatannya (1974)
Sebelum rezim Orde baru tumbang, berita investigasi seolah menjadi trend baru di kalangan penerbitan atau media massa kala itu.
Tulisan investigasi yang menggugah minat baca, tak hanya akar bisnis keluarga cendana, tapi penguasa hingga modus korupsi di era reformasi yang menggurita ke segala lini. Sekarang ini tentang aliran dana Rp 120 Triliun, yang diungkap PPATK milik siapa juga menarik disingkap.
Media massa menulis dengan detil reportase mendalam, lewat rubrik yang label namanya: investigasi. Dan laris. Skandal, figur ternama, kelicikan, keserakahan, hingga konspirasi seakan “barang jualan” dari media massa untuk membuat laku medianya.
Jurnalis semakin dituntut untuk mencari angle atau tema yang menarik dan prestisius.
Bahwa seorang wartawan harus melakukan check and recheck, untuk mendapatkan suatu kebenaran, demikian banyak ditulis. Wartawan atau istilahnya reporter, adalah ujung tombak media. Di tangan reporterlah, sesungguhnya, bagus-tidaknya berita ditentukan.
Di era konvergensi media, reporter, bertumpang tindih menjadi redaktur, bahkan ada seorang wartawan yang juga menjadi pemimpin redaksinya.
Jangan pernah berbohong.
Jangan seperti kejadian, suatu peristiwa ada seorang wartawan menulis tentang preman ibukota, mendeskripsikan sosok sang preman seperti sosok dewa Zeus, kemudian memberi gambaran cacat sang preman. Tapi, tanpa konformasi.
Cerita atau berita yang demikian bagus, yang diprogram dalam rapat redaksi
Cerita fiksi bukan saja menodai reportase itu, tapi juga nama media dan krediblitas si wartawan dan pers pada umumnya. Wartawan Investigasi harus jeli, mana informasi yang menyesatkan, fiksi atau karangan nara sumber.
Sebagai wartawan kita harus selalu skeptis dan tidak begitu saja mempercayai informasi yang diperoleh. Check and recheck harus selalu dilakukan. Jangan segan melakukan konformasi.
Tak boleh pula cepat-cepat mengambil kesimpulan. Bangun hipotesa Anda secara teliti, pelan-pelan dan akurat. Di sini kita perlu memiliki kemampuan analisis yang memadai, tak segan menggunakan teknologi mutakhir
Tentukan Angle berita.
Lebih bagus kalau didahului dengan diskusi. Lalu disusun rencana outline, termasuk rencana kerja, perencanaan waktu, biaya, serta penentuan nara sumber.
RISET
Ini juga bisa dilakukan sebelum perencanaan. Tujuannya agar kita menguasai masalah sebelum terjun ke lapangan.
Data-data statistik atau bocoran informasi jangan lupa difoto kopi, untuk back up, bilamana data tersebut hilang.
Ada yang menyebut dengan istilah maping, yakni pemaparan masalah dengan cara yang lebih sederhana.
Banyak diungkap bagaimana membuat peta dalam bentuk gambar, semacam pohon. Apa yang belum dilewati dan diberi tanda tanya. Sampai kemudian, terbentuk sebuah pohon masalah yang gam
PELAKSANAAN DI LAPANGAN
Pertama kali, yang harus dilakukan adalah: berdoa. Semua persiapan dalam hal wartawan investigasi adalah berdoa, karena dalam perjalanannya seringkali banyak hal yang tidak diduga.
Hal kebetulan atau keberuntungan yang oleh orang beriman disebutnya adalah rencana Tuhan, acap kali ditemui.
Hambatan dan penyesuaian perlu dilakukan, dengan yang diduga awal. Atau banyak hal surprise yang ditemui di lapangan.
JANGAN PARTISAN
Dalam hal memulai penulisan kiranya jangan disusupi oleh kepentingan tertentu. Penulisan hendaknya autoratif, obyektif, non partisan, fair dan tentunya enak dibaca.
Setiap wartawan investigasi harus punya idealisme. Menjadi orang yang punya kekritisan melihat persoalan. Ini lah menjadi roh atau semangat kerja tim.
RAPAT REDAKSI
Ini adalah rapat untuk membahas banyak hal. Semua pihak bisa saling kritik. Hirarki dan struktur jabatan di dalam manajemen redaksi, dalam konteks di ruang rapat adalah bebas.
Bebas berdiskusi, posisi semua sama. Bagaimana kita perlu mencari dan menemukan fakta dari setiap kasus yang digarap.
Visi, BUKAN INTEL
Wartawan Investigasi perlu diingat bukan intel atau detektif. Kita harus tetap berpegang pada kode etik jurnalistik, yang dalam kapasitas profesionalnya ingin menggali atau memperoleh informasi ada kode etiknya, khususnya tentang bagaimana cara memperoleh informasi.
Lewat teknologi canggih memang lebih memudahkan. Ada sederet alat yang membantu, misanya alat rekam berbentuk jam, atau pulpen, bahkan jepitan rambut.
Kaidah profesionalime wartawan, tetap saja dibatasi, khususnya kode etik. Jangan sampai melanggar hukum juga.
Masih banyak yang belum diungkap, karena lebih kepada off the record. Dalam sebuah buku, nanti saya akan mengungkapnya. Salam erat.