Hotline Redaksi: 0817-21-7070 (WA/Telegram)
Kabar Terhangat

Polemik Partai Prima: Bidak Catur Penundaan Pemilu?

183
×

Polemik Partai Prima: Bidak Catur Penundaan Pemilu?

Sebarkan artikel ini
Polemik Partai Prima: Bidak Catur Penundaan Pemilu?

[ad_1]

Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) seharusnya mengabaikan keputusan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat pada 2 Maret terkait gugatan Partai Rakyat Adil Makmur (Prima). Langkah pengabaian itu dilindungi oleh Undang-Undang Dasar 1945 sebagai hukum tertinggi.

Namun, kedua lembaga justru mengikuti irama permainan Partai Prima yang melahirkan verifikasi susulan sebagai syarat keikutsertaan partai ini dalam Pemilu 2024.

Padahal, kata anggota tim pakar Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Allan Fatchan Gani Wardhana, jalan keluar polemik ini sederhana.

Polemik Partai Prima: Bidak Catur Penundaan Pemilu?

Pakar hukum sekaligus Direktur PSHK, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, Allan Fatchan Gani Wardhana. (Foto: Dok Pribadi)

“Jadi itu simple saja sebenarnya, yang bikin lama adalah kepentingan-kepentingan di balik ini. Kita enggak bisa memisahkannya dari rangkaian-rangkaian sebelumnya yang mengusulkan adanya penundaan dan lain sebagainya,” kata Allan kepada VOA, Selasa (4/4).

Partai Prima diuntungkan atas putusan PN Jakarta Pusat. Pada 14 Oktober 2022, partai ini dinyatakan gagal lolos verifikasi administrasi oleh KPU, dan tidak diikutkan dalam tahapan selanjutnya. Pada 8 Desember 2022, Partai Prima mengajukan gugatan perdata ke PN Jakarta Pusat, dan secara mengejutkan dikabulkan dalam putusan pada 2 Maret 2023.

Pada poin kelima, hakim bahkan menyatakan menghukum KPU untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilihan Umum 2024 sejak putusan diucapkan, dan melaksanakan tahapan pemilihan umum dari awal, selama lebih kurang dua tahun empat bulan tujuh hari. Putusan ini bermakna, tahapan pemilu diulang dari awal dan jadwal pencoblosan bisa saja tertunda.

Petugas membubuhi tinta biru pada jari usai mencoblos saat Pilkada di Tangerang, 9 Desember 2020. (Foto: REUTERS/Willy Kurniawan)

Petugas membubuhi tinta biru pada jari usai mencoblos saat Pilkada di Tangerang, 9 Desember 2020. (Foto: REUTERS/Willy Kurniawan)

Komitmen KPU-Bawaslu Dipertanyakan

Allan mempertanyakan alasan apa yang dimiliki DPR, penyelenggara pemilu dan pemerintah, sehingga terlihat ragu meneruskan tahapan pemilu tanpa terganggu. Hanya dibutuhkan komitmen, kata dia.

“Masalahnya, punya komitmen dan mau serius atau enggak, itu saja. Sebenarnya yang bikin rumit itu karena mungkin ada kepentingan itu. Kalau, secara hukum sebenarnya sudah sangat jelas. Konstitusi sudah menjamin,” tegas pakar hukum tata negara ini.

Jika KPU dan Bawaslu tunduk pada putusan PN Jakarta Pusat, dari sudut pandang hukum justru itu sesat pikir dan sesat dalam berhukum. Alasan utamanya, pengadilan negeri tidak punya kewenangan apapun terkait pemilu. Ketika PN memutuskan perkara pemilu, dan kemudian ditaati, justru menjadi persoalan besar. Pemilu tunduk pada pasal 22 E UUD 1945 dan UU Pemilu.

Allan punya sejumlah alasan mengapa KPU dan Bawaslu seharusnya mengabaikan putusan PN Jakarta Pusat. Pertama, konstitusi adalah hukum tertinggi, dan karena itu seluruh undang-undang, peraturan, termasuk pengadilan harus taat kepada konstitusi. Konstitusi sudah memastikan pemilu setiap lima tahun, sehingga keputusan PN Jakarta Pusat yang memerintahkan pengulangan tahapan pemilu selama 2 tahun 4 bulan ke depan harus diabaikan.

Alasan kedua adalah karena jelas PN Jakarta Pusat tidak memiliki kewenangan, tidak memiliki kompetensi absolut mengadili perkara pemilu.

“Sehingga KPU dan Bawaslu tidak perlu tunduk pada putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. KPU dan Bawaslu cukup konsisten saja menjalankan konstitusi dan UU Pemilu,” tambah Allan.

Seorang petugas pemilu membantu seorang perempuan lanjut usia untuk menandai jarinya dengan tinta setelah memberikan suaranya pada Pilkada di Tangerang, Banten, 27 Juni 2018. (Foto: REUTERS/Willy Kurniawan)

Seorang petugas pemilu membantu seorang perempuan lanjut usia untuk menandai jarinya dengan tinta setelah memberikan suaranya pada Pilkada di Tangerang, Banten, 27 Juni 2018. (Foto: REUTERS/Willy Kurniawan)

Ketiga, dari sudut pandang administrasi negara, putusan yang keluar bukan karena ranah kewenangan dianggap tidak pernah ada. Alasan keempat, pemilu merupakan hukum publik, sedangkan kasus di PN Jakarta Pusat kasus perdata hukum privat. Perkara persidangan privat, tidak bisa memutus untuk perkara publik.

Semua Mesti Taat Asas

Kekhawatiran bahwa polemik Partai Prima ini terkait dengan upaya menunda Pemilu, juga diamini Farid Bambang Siswantoro, Presidium Jaringan Demokrasi Indonesia (JaDI) Yogyakarta.

Presidium Jaringan Demokrasi Indonesia (JaDI), Farid Bambang Siswantoro. (Foto: Dok Pribadi)

Presidium Jaringan Demokrasi Indonesia (JaDI), Farid Bambang Siswantoro. (Foto: Dok Pribadi)

“Di luar memang santer suara-suara begitu. Tapi, meminjam istilah lama, itu merupakan langkah subversif karena menyelisihi UUD. Putusan PN Jakarta Pusat itu salahnya bukan hanya nyeberang ranah, tapi juga subversif,” ucap Bambang kepada VOA.

Dia menambahkan, “Jelas kita prihatin terhadap gagasan membangkang dari UUD itu. Secara tegas, hukum negara harus pro-aktif ditegakkan.”

Karena itulah, Bambang yang juga mantan komisioner KPUD DI Yogyakarta ini meminta penyelenggara pemilu tidak main-main dan harus taat asas dalam bekerja. Ketaatan, konsistensi dan penegakan etika serta aturan itu, harus dilakukan dari atas sampai bawah tanpa terkecuali.

“Setiap unsur wajib melawan jika ada yang menyelisihi prinsip itu,” sambungnya.

Jika seluruh pihak terkait taat asas dalam bekerja, Bambang meyakini dukungan akan datang dari semua pihak. Tidak hanya itu, konsekuensi yang mungkin timbul juga pasti akan ditanggung bersama.

“Berani melawan ajakan atau perintah menyelewengkan aturan itu, pada saatnya akan membuat mereka yang hendak menyeleweng, berpikir ulang. Berani karena benar itu efektif, untuk membuat baik masyarakat kita,” tandasnya.

Pada titik saat ini di mana banyak pihak masih gamang mencari kesepakatan jalan keluar, menurut Bambang, Mahkamah Agung harus mengambil peran. Sebelum suasana menjadi semakin keruh, MA harus menerbitkan surat edaran atau PerMA yang menegaskan ranah pengadilan negeri dan pengadilan tinggi dalam soal-soal terkait sengketa Pemilu.

Para petugas pemilu melakukan perhitungan suara Pilpres di salah satu TPS di Jakarta, Rabu sore (17/4).

Para petugas pemilu melakukan perhitungan suara Pilpres di salah satu TPS di Jakarta, Rabu sore (17/4).

DPR Gerah

Apa yang terjadi tentu membuat gerah DPR. Anggota Komisi II, Arif Wibowo menyebut putusan Bawaslu yang tidak konsisten menjadi bagian dari upaya menunda pemilu.

“Ini tentu bisa dibaca, bertaut erat dengan adanya dorongan yang kuat untuk dilakukannya, berdasarkan keputusan politik tentu, apa yang disebut sebagai penundaan pemilu. Sebagai orang politik, tentu saya akan mengaitkan itu,” ujar Arif dalam rapat DPR bersama Kementerian Dalam Negeri, KPU, Bawaslu, dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), Senin (3/4).

Dia mengingatkan, konsekuensi hukum proses ini bisa sangat panjang. Kelak, bisa saja muncul gugatan ke pengadilan negeri, terkait anggota DPR yang dilantik atau presiden dan wakil presiden terpilih. Padahal seluruh proses terkait pemilu hanya bisa digugat di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) atau Mahkamah Konstitusi.

Rekan Arif di Komisi II, Komarudin Watubun, bahkan langsung menilai Bawaslu terlibat dalam upaya menunda pemilu.

“Saya anggap Bawaslu ini bagian dari konspirasi penundaan pemilu. Sebagai politisi, saya anggap kalian bagian dari konspirasi itu,” kata Komarudin.

Alasan yang dia kemukakan, dalam sistem hukum yang ada jelas pengadilan negeri tidak bisa mengadili kasus terkait pemilu. Namun, ketika PN Jakarta Pusat membuat keputusan, Bawaslu yang seharusnya menolak putusan itu, justru mendukung dan meminta KPU mengulang proses verifikasi.

Sementara Ketua Komisi II Ahmad Doli Kurnia Tanjung menyayangkan, persoalan muncul ketika KPU, Bawaslu dan DKPP sebenarnya sudah dibekali dasar hukum yang kuat, seperti UU Pemilu.

“Ini memunculkan labirin baru. Kekusutan baru, yang harus kita urai,” kata Doli.

Polisi berjalan di depan mural kampanye Pemilu 2019 di Banda Aceh, 17 Maret 2019. (Foto: AFP/CHAIDEER MAHYUDDIN)

Polisi berjalan di depan mural kampanye Pemilu 2019 di Banda Aceh, 17 Maret 2019. (Foto: AFP/CHAIDEER MAHYUDDIN)

DPR, KPU, Bawaslu, DKPP dan Kementerian Luar Negeri sudah dua kali mengadakan rapat bersama membahas keruwetan akibat putusan PN Jakarta Pusat. Namun, belum ada kesimpulan yang bisa diambil, karena proses hukum masih berjalan. Di satu sisi, KPU sudah meloloskan Partai Prima secara administratif dan memproses verifikasi faktualnya. Di sisi lain, ada upaya hukum lanjutan di Pengadilan Tinggi.

Dirjen Politik dan Pemerintahan Umum, Kementerian Dalam Negeri, Bahtiar menyatakan apa yang terjadi saat ini menggelisahkan karena proses ini akan berdampak pada tahap-tahap berikutnya. Jika muncul sengketa administrasi atau sengketa proses pemilu, bisa saja partai mengajukan gugatan ke pengadilan negeri.

“Kalau rezim pengadilan negeri kita tarik masuk ke rezim Pemilu, dan itu akan terus berlangsung pada tahap-tahap berikutnya. Bisa dibayangkan, kira-kira nanti ujungnya proses pemilu seperti apa,” kata Bahtiar.

Petugas pemilu memakai masker pelindung saat pemilihan kepala daerah di Denpasar, Provinsi Bali, 9 Desember 2020. (Foto: Antara/Fikri Yusuf via REUTERS)

Petugas pemilu memakai masker pelindung saat pemilihan kepala daerah di Denpasar, Provinsi Bali, 9 Desember 2020. (Foto: Antara/Fikri Yusuf via REUTERS)

Jalani Verifikasi Faktual

Pelan tetapi pasti, Partai Prima membuka harapan untuk mengikuti Pemilu 2024. Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah mengeluarkan surat pernyataan yang menyatakan partai tersebut lolos verifikasi administrasi pada 31 Maret 2023. Ketua KPU Hasyim As’ari menyampaikan hal itu dalam rapat bersama Komisi II DPR.

“Kemarin yang disampaikan itu untuk perbaikan adalah di dua provinsi, Provinsi Papua dan Provinsi Riau, meliputi enam kabupaten/kota. Setelah itu, dinyatakan memenuhi syarat administrasi dan kemudian sudah dilanjutkan dengan verifikasi faktual untuk kepengurusan,” papar Hasyim.

Saat ini, KPU sedang melakukan verifikasi faktual, dengan mendatangi kantor Partai Prima, mulai di tingkat pusat, provinsi hingga kabupaten/kota. Proses ini akan selesai pada 21 April 2023.

Padahal, dalam jadwal resmi, KPU sudah menyelesaikan verifikasi partai peserta pemilu pada 13 Desember 2022. Setelah itu, seluruh partai peserta pemilu juga sudah ditetapkan nomor urut sehari sesudahnya.

Partai Prima sendiri menikmati proses tambahan ini setelah menggugat KPU melalui PN Jakarta Pusat. Anehnya, meski gugatan ke PN tidak dikenal dalam UU Pemilu, Bawaslu justru menerima putusan PN dan mengakomodasi tuntutan Partai Prima.

Karena itulah, muncul dugaan berbagai pihak bahwa langkah ini menjadi semacam bidak catur yang dimainkan dalam upaya menunda pemilu. Apalagi, sebelumnya muncul wacana-wacana berbeda dengan tujuan yang sama dilontarkan sejumlah tokoh, tetapi selalu ditolak masyarakat. [ns/ah]

[ad_2]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *