[ad_1]
Suara-Pembaruan.com – Indonesia memiliki peluang untuk masuk ke dalam rantai nilai pangan atau Food Value Chain melalui Economic Powerhouse dalam kemitraan Indonesia Australia-Comprehensive Economic Partnership Agreement (CEPA).
“Indonesia dapat memanfaatkan Economic Powerhouse dalam kemitraan IA-CEPA. Indonesia dan Australia merupakan pemain kecil di industri pengolahan makanan dan minuman tingkat global dengan pangsa ekspor dan impor global masing-masing di bawah dua persen,” kata Associate Researcher CIPS / Ekonom Australian National University (ANU) Arianto Patunru.
Selain itu, Indonesia merupakan salah satu importir daging sapi terbesar Australia dan Australia mengimpor tepung gandum dalam jumlah besar ke Indonesia. Potensi ini dapat dimaksimalkan untuk sama-sama mengangkat posisi keduanya dalam Food Value Chain.
Ratifikasi IA CEPA diharapkan mampu memperkuat keberadaan Indonesia di dalam Food Value Chain. Penguatan posisi Indonesia dalam Food Value Chain pada akhirnya dapat menjadikan industri pengolahan pangan Indonesia menjadi salah satu salah satu pemain penting di dunia.
Berdasarkan penelitian Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), industri pengolahan makanan dan minuman merupakan kontributor ekspor Indonesia terbesar kedua setelah pertambangan.
Selain itu, industri pengolahan makanan menyumbang sekitar 30-40 persen dari total hasil produksi dan mempekerjakan sekitar 20 persen dari semua pekerja manufaktur dengan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) yang berkontribusi pada 75 persen lapangan kerja.
Saat ini output dari sektor ini didominasi oleh perusahaan besar seperti Indofood, Wings, Mayora, GarudaFood, Nestle, Heinz, Kraft, Unilever, dan Danone. Hal ini menunjukkan bahwa sektor makanan dan minuman adalah sektor yang kompleks dengan banyak pemain, mulai dari usaha mikro hingga besar.
Investasi pada industri pengolahan makanan terus meningkat pada investasi domestik, yang merupakan sektor sekunder terbesar pada tahun 2019, dan ketiga dalam hal Foreign Direct Investment (FDI) setelah kimia dan farmasi dan logam dasar.
Indonesia hanya bisa memproduksi 50 persen dari kebutuhan daging sapi nasonal. Untuk mengisi kekosongan tersebut, Indonesia mengimpor lebih dari 50 persen ekspor sapi hidup Australia. Hal ini, lanjut Arianto, diharapkan dapat mendorong investor Indonesia untuk berinvestasi di peternakan sapi di Australia.
Potensi lain dapat dilihat dari kandungan produk asing dalam produk olahan makanan dan minuman Indonesia dan Australia, yaitu hanya sebesar empat perse dan 12 persen. Jumlah ini terbilang kecil kalau dibandingkan dengan Malaysia 24 persen dan Taiwan 35 perse. Semua ini menunjukkan adanya potensi yang belum dimaksimalkan oleh kedua negara.
Kedua negara telah mengeksplorasi konsep powerhouse untuk daging sapi sejak 2019 di bawah Red and Cattle Partnership. Pengalaman dalam kerjasama ini tentu dapat dijadikan modal yang berharga untuk membangun powerhouse di sektor lain juga.
IA-CEPA juga menyediakan program pelatihan industri melalui Grain Partnership kepada pabrik tepung, roti dan produsen mie. Kemitraan juga berupaya meningkatkan kualitas dan standar keamanan pangan untuk memperluas akses ekspor ke pasar negara ketiga yang lebih luas.
CIPS merekomendasikan beberapa hal untuk memperkuat posisi industri pengolahan pangannya dalam Food Value Chain. Sistem perizinan yang ada perlu diganti dengan sistem persetujuan otomatis untuk perizinan impor (automatic import licensing system). Penggunaan automatic import licensing system diperlukan untuk menghapus batasan untuk masuk ke pasar bagi swasta.
Automatic import licensing system menciptakan fleksibilitas yang dibutuhkan oleh importir untuk merespons sinyal pasar internasional demi keuntungan konsumen Indonesia. Selain itu, dibutuhkan sejumlah penyesuaian pada peraturan turunan dan peraturan teknis terkait kebijakan impor pangan.
Selain itu, Kementerian Pertanian perlu merevisi Pasal 7 (1) Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 2/2017 tentang Pemasukan Ternak Ruminansia ke dalam Wilayah Negara Republik Indonesia. Revisi yang dimaksud adalah pada kebijakan peternak 1:5 yang menghalangi penggunaan kuota yang diperluas di IA-CEPA. Peraturan ini dapat menghambat pengembangan economic powerhouse di sektor daging olahan.
Kementerian Perindustrian sebaiknya juga tidak menerapkan strategi substitusi impor di industri pengolahan makanan dan minuman. Strategi substitusi impor di sektor ini akan menghambat kemampuan economic powerhouse untuk berkembang dan masuk ke dalam Food Value Chain.
IA‑CEPA memberikan akses preferensial ke lebih dari 99 persen produk pertanian Australia yang diimpor Indonesia, sehingga usaha yang menggunakan pakan biji-bijian (misalnya peternakan) dan daging sapi sebagai bahan produksi sekarang bisa mendapatkan keduanya dengan harga yang lebih rendah.
Untuk pakan, tarif akan dihilangkan untuk sejumlah 500 ribu ton di tahun pertama perjanjian dagang diterapkan dan jumlah ini akan ditingkatkan secara progresif ke lebih dari 775 ribu ton di tahun kesepuluh.
Selain itu, IA-CEPA memberikan kemudahan berupa pembebasan tarif (dari yang tadinya lima persen) untuk 575 ribu ternak di tahun pertama. Volume bebas tarif ini dinaikkan empat persen setiap tahun sampai mencapai 700 ribu pada tahun keenam. Untuk daging sapi beku, tarif diturunkan dari lima persen menjadi 2,5 persen yang kemudian dihapuskan setelah tahun kelima.
Peningkatan volume dan penurunan tarif tentu bisa berkontribusi pada turunnya harga daging sapi di Indonesia. Selain itu, kerja sama ini bisa dikembangkan lebih lanjut untuk mewujudkan konsep economic powerhouse yang menggabungkan kekuatan kedua mitra, yaitu sektor pertanian Australia dan industri makanan olahan Indonesia, untuk kemudian merambah pasaran negara lainnya.
[ad_2]