[ad_1]
Berpuasa Ramadan di Amerika, bagi Ahkmad Fatoni menyenangkan.
“Alhamdulillah suasananya, udaranya, cuacanya nyaman untuk berpuasa sehingga tidak terasa lapar. Tidak terasa haus. Rasanya tidak di bulan Ramadan. Hanya yang membedakan, pada malam hari, kita tarawih dari masjid ke masjid. Dari kota ke kota. Malamnya cukup hidup di sejumlah masjid. Begitu penuh. Pada malam lah ada terasa bulan Ramadan itu betul-betul bulan untuk ibadah.”
Fatoni bertugas di kawasan Pantai Barat. Ia memulai safari di Seattle, lalu ke San Fransisco, Los Angeles, dan beberapa kota lain. Ia melihat, di Amerika ada kebebasan sedemikian besar bagi Muslim yang minoritas untuk mengekspresikan imannya melalui ibadah dalam bulan Ramadan.
Amri Fatmi bertugas di Pantai Timur. Tentang Ramadan di Amerika, ia mengungkapkan, kegiatan untuk kumpul agak sulit karena diaspora Indonesia tersebar.
“Alhamdulillah, selama ini kita melaksanakannya lebih fleksibel. Bukan cuma di masjid, kegiatan Safari ini kita laksanakan juga di rumah-rumah,” ujarnya.
Kedua ustaz datang atas undangan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) yang menggelar program tahunan ini untuk ke-18 kali. Sehari sebelum Ramadan, keduanya tiba di Amerika dan langsung ke beberapa kota, berceramah dan melihat langsung kehidupan diaspora Muslim Indonesia dan Muslim umumnya di Amerika.
Program Safari diawali dengan memilih ustaz jauh-jauh hari, tiga tahun sebelumnya.
Ketua ICMI Amerika Utara Joko Supriyanto menjelaskan, “Ada tim di Jakarta yang menyeleksi ustaz-ustaz yang akan kami undang pas setiap Ramadan, selama satu bulan penuh. Misi kita tuh juga untuk memberi pengetahuan kepada para ustaz kita di Indonesia tentang Islam di Amerika. Kita tahu bahwa ketika masyarakat Indonesia mendengar tentang Amerika, imej mereka selalu jelek… dulu.”
Tim seleksi memilih ustaz dari aneka kelompok. Mereka pun terbuka pada rekomendasi. Namun, pilihan utama tetap pada ustaz dengan pengetahuan luas. Bukan hanya hapal Quran.
“Kami perlu ustaz-ustaz berwawasan global yang berbahasa bukan hanya bahasa Indonesia dan Arab tetapi juga bahasa Inggris. Jadi, bukan hanya jemaah di sini yang belajar dari mereka tetapi juga ustaz-ustaz kita banyak belajar tentang kehidupan di Amerika. Mereka melihat perkembangan Islam di Amerika,” tambah Joko.
Di Milwaukee, Wisconsin, misalnya, Amri melihat masjid sangat padat. Ia harus jalan 10 menit untuk sampai ke masjid. Jemaah rata-rata datang dari jauh, 30 menit sampai satu jam, demi salat berjemaah dan berbuka puasa.
Bersafari Ramadan di Amerika menuntut fisik prima. Selain mengatasi jam biologis yang berbeda, setiap kota memunyai zona waktu berbeda.
Joko Supriyanto mengatakan, “Jadi saya selalu bilang ke ustaznya, harus minum dengan madu. Minum vitamin C yang banyak supaya tetap sehat. Karena kalau ustaznya sakit, nanti jadwalnya bisa berubah-ubah dan kacau nantinya. Jadi, harus selalu sehat.”
Menurut Joko, terdapat sekitar 3.500an masjid di Amerika, dan belum banyak yang mempunyai imam. Setiap Ramadan, mereka mengundang imam untuk memimpin salat tarawih. Mereka sangat antusias ketika ada ustaz dari Indonesia. Sayangnya, tidak semua ustaz bisa berbahasa Inggris.
Perjalanan Safari Ramadan Amri akan berakhir di Toronto, Kanada. Sedangkan perjalanan Fatoni berakhir di Atlanta, Georgia. [ka/ab]
[ad_2]