[ad_1]
Konferensi Tingkat Tinggi ke-42 ASEAN di Labuan Bajo, Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur telah mengadopsi sejumlah deklarasi pada Rabu (10/5). Salah satunya yaitu Deklarasi Pemberantasan Perdagangan Manusia akibat Penyalahgunaan Teknologi (Declaration on Combatting Trafficking in Persons Caused by Abuse of Technology).
Dalam dokumen yang dipublikasikan asean.org, deklarasi tersebut menyebut 15 poin yang akan dilakukan negara-negara di ASEAN untuk memerangi perdagangan manusia, antara lain kerja sama dalam peningkatan kapasitas penegak hukum, berbagi praktik baik, hingga penyelidikan bersama terkait Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO).
Deklarasi ini juga memberikan perhatian kepada korban TPPO, semisal dengan mendorong standar minimum perlindungan di tingkat regional bagi korban TPPO, menjajaki pengembangan mekanisme rujukan regional melalui mekanisme ASEAN untuk menghindari trauma yang berulang dan eksploitasi berkelanjutan terhadap korban.
Menko Polhukam Mahfud MD, Selasa (9/5) menyampaikan bahwa Indonesia telah mendorong negara-negara anggota ASEAN untuk memberantas perdagangan orang. Hal tersebut disampaikan Mahfud selaku koordinator dan penanggung jawab Pilar Polkam ASEAN saat memimpin pertemuan ke-26 ASEAN Political and Security Council (APSC) bersama Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi di Labuan Bajo, NTT.
“ASEAN harus memiliki instrumen yang memadai untuk mengatasi kejahatan perdagangan orang, termasuk melalui adopsi Leaders Declaration on Combating Trafficking in Persons Caused by Abuse of Technology yang memuat pendekatan komprehensif dalam hal pencegahan dan perlindungan korban, serta meningkatkan kolaborasi antar negara,” kata Mahfud melalui keterangan tertulis.
Pertemuan APSC Council ini berlangsung di sela-sela pelaksanaan KTT ASEAN ke-42 dari tanggal 9-10 Mei 2023 yang dihadiri oleh presiden RI dan seluruh kepala negara-negara anggota ASEAN. Pertemuan APSC ke-26 diikuti oleh sekretaris jenderal ASEAN dan seluruh menlu negara-negara anggota ASEAN, kecuali Myanmar. Pertemuan itu juga dihadiri secara perdana oleh Menlu Timor Leste yang telah ditetapkan secara prinsip sebagai anggota ASEAN ke-11.
Di tingkat bilateral, Kemenko Polhukam telah mengkoordinasikan dan mendorong disepakatinya Memorandum of Understanding (MOU) antara Kepolisian RI dan Kepolisian Kamboja pada Agustus 2022 lalu guna memperkuat kerja sama police-to-police dalam penanganan TPPO.
Indonesia dan Malaysia juga telah menyepakati MOU Rekrutmen dan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia di Sektor Domestik Malaysia pada April 2022. MOU ini mengatur penggunaan sistem satu kanal sebagai sistem perekrutan dan pengawasan pekerja migran.
Hal yang sama disampaikan Presiden Joko Widodo pada penyelenggaraan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-42 ASEAN, Senin (08/05). Presiden menekankan, pemberantasan TPPO penting dibahas di KTT ASEAN karena korban kejahatan ini merupakan rakyat ASEAN, termasuk sebagian besar warga negara Indonesia (WNI).
“Saya tegaskan bahwa kejahatan perdagangan manusia harus diberantas tuntas dari hulunya sampai ke hilir. Saya ulangi, harus diberantas tuntas,” ujar Jokowi, Senin (8/5).
Presiden Jokowi juga menyampaikan sejumlah TPPO yang berhasil diungkap oleh negara-negara ASEAN. Salah satunya pada 5 Mei lalu, otoritas Filipina dan perwakilan negara lainnya termasuk Indonesia, berhasil menyelamatkan 1.048 orang dari 10 negara, 143 di antaranya dari Indonesia. Selain itu, pemerintah Indonesia juga telah menyelamatkan 20 WNI korban TPPO di Myanmar.
Migrant CARE: Deklarasi Harus Disertai Langkah Konkret
Direktur Eksekutif Migrant CARE, Wahyu Susilo mengapresiasi pemerintah Indonesia dan pemimpin negara-negara ASEAN lainnya yang telah memberikan perhatian soal TPPO. Namun, kata Wahyu, deklarasi tersebut harus disertai langkah-langkah konkret lainnya untuk memberantas perdagangan manusia di kawasan ASEAN. Semisal, di tingkat nasional, Indonesia perlu serius menangani kasus-kasus perdagangan manusia. Di mengatakan, aparat penegak hukum di Indonesia kadangkala hanya menggunakan pasal-pasal tindak pidana ringan di KUHP yang lama dalam kasus-kasus TPPO.
“Saya kira ini harus dibarengi di tingkat kebijakan nasional. Artinya ada keseriusan dari pemerintah Indonesia untuk benar-benar menangani kasus. Harus diakui kasus biasanya baru direspons pemerintah kalau viral,” ujar Wahyu kepada VOA, Rabu (10/5).
Wahyu juga menyoroti deklarasi pemberantasan TPPO ini yang menekankan pada penyalahgunaan teknologi. Hal ini menurut Wahyu, menyadarkan masyarakat bahwa teknologi dapat disalahgunakan untuk kejahatan. Selain itu, kata dia, karakter TPPO akibat teknologi ini memiliki perbedaan dengan kasus TPPO sebelumnya. Sebagai contoh korban TPPO di sektor perikanan pada umumnya berasal dari orang dengan ekonomi lemah dan berpendidikan rendah. Berbeda dengan TPPO akibat teknologi, korban beragam mulai dari pendidikan SMA hingga perguruan tinggi.
“Ini terjadi karena ada fenomena kerja yang dipicu oleh krisis pandemi yang memerosotkan ekonomi kita. PHK di mana-mana sehingga siapapun orangnya, baik yang berpendidikan atau tidak, ketika ditawari pekerjaan pasti akan diambil tanpa mengingat risikonya.”
Wahyu menyampaikan, lembaganya juga akan berkolaborasi dengan masyarakat sipil di negara-negara ASEAN lainnya untuk memastikan deklarasi seperti ini dapat diimplementasikan. [sm/lt]
[ad_2]