Hotline Redaksi: 0817-21-7070 (WA/Telegram)
Kabar Terhangat

Konser Gamelan di AS Rayakan Penerbitan Buku tentang Berbagai Aspek dalam Seni Pertunjukan Jawa

138
×

Konser Gamelan di AS Rayakan Penerbitan Buku tentang Berbagai Aspek dalam Seni Pertunjukan Jawa

Sebarkan artikel ini
Konser Gamelan di AS Rayakan Penerbitan Buku tentang Berbagai Aspek dalam Seni Pertunjukan Jawa

[ad_1]

Sebuah konser gamelan diselenggarakan pada Sabtu, 6 Mei 2023, oleh World Music Archives and Music Department (Arsip Musik Dunia dan Jurusan Musik), Universitas Wesleyan di Middletown, Connecticut, yang dikenal kaya dengan khazanah musik Indonesia, utamanya gamelan Jawa.

Konser mini itu ditampilkan oleh Wesleyan Chamber Gamelan dengan bintang tamu seorang sinden dari University of California Berkeley, dengan tujuan untuk merayakan buku karya tulis Profesor Sumarsam yang akan segera diterbitkan oleh Wesleyan University Press. Buku pakar gamelan yang juga Guru Besar Musik Winslow-Kaplan ini berjudul “History and Myth, Interculturalism and Interreligiosity: The In-Between in Javanese Performing Arts” (“Temu Silang Sejarah dan Mitos, Budaya dan Agama: Seni Pertunjukan Jawa dalam Dunia Perantaraan”).

Konser Gamelan di AS Rayakan Penerbitan Buku tentang Berbagai Aspek dalam Seni Pertunjukan Jawa

Sumarsam, PhD, Winslow-Kaplan Professor of Music, Wesleyan University. (Foto: Courtesy/Wesleyan University’s Center for the Arts/Sandy Aldieri of Perceptions Photography)

Menurut Profesor Sumarsam, buku itu merupakan hasil studi yang mewakili perjalanan seumur hidupnya untuk menguasai seni pertunjukan, ritual, dan hiburan Jawa yang rumit, mendalam, dan terus berubah sesuai pemahaman berbagai variasinya, mulai dari Hinduisasi dan Islamisasi ke Westernisasi, dari hiburan istana dan hiburan-ritual desa hingga estetika keraton dan bukti kompetensi atau penguasaan budaya, dari daerah pesisir hingga area persawahan di pedalaman Jawa Tengah, dan dari perkebunan kolonial dan budaya pabrik tekstil hingga kawasan industri kontemporer dan usaha ekonomi kreatif.

Sumarsam mengatakan, “Jadi buku ini membahas temu silang antara kesenian dan agama. Kalau dibahas secara sejarah topik ini ternyata sangat rumit dan panjang. Jadi, dari zaman Hindu Jawa, masuk ke Islam, lalu bagaimana Ramayana, Mahabharata dan agama Hindu Jawa lalu diIslamkan, yang prosesnya itu melalui wali-wali pada abad ke-15-16.”

Sumarsam mengatakan bahwa buku barunya itu termasuk hasil kajian tentang bagaimana pada masa kini wayang dan gamelan menjadi topik penting dalam dakwah atau pengajian.

Pementasan Wesleyan Chamber Gamelan. (Foto: Courtesy/Wesleyan University’s Center for the Arts/Sandy Aldieri of Perceptions Photography)

Pementasan Wesleyan Chamber Gamelan. (Foto: Courtesy/Wesleyan University’s Center for the Arts/Sandy Aldieri of Perceptions Photography)

“Justru ada ustaz yang dalam pengajiannya memasukkan adegan-adegan wayang dengan diiringi lagu-lagu gamelan dan dangdut. Jadi ini topik yang menarik sekali,” paparnya.

Konser gamelan gadhon

Sumarsam menjelaskan bahwa konser gamelan “gadhon” (konser dengan susunan instrumen yang tidak lengkap) dipilih karena pada dasarnya itu hanya untuk mengenalkan gamelan kepada khalayak, utamanya para mahasiswa baru di Universitas Wesleyan. Perguruan tinggi ini, katanya, punya program gamelan yang sudah lama, yang menganggap penting untuk selalu memperkenalkan gamelan kepada para mahasiswa baru.

Perihal kaitan konser tersebut dengan buku barunya, Sumarsam berpendapat bahwa gamelan dan wayang merupakan teks budaya yang bisa dianalisis sejarahnya dan musikalitasnya, terlebih lagi karena dalam buku itu banyak dibahas tentang gamelan, tembang, dan wayang. Dengan demikian, “mendengarkan gamelan akan memberikan wawasan yang lebih lengkap sehubungan dengan isi buku tersebut,” kata lulusan PhD dari Universitas Cornell itu.

Sumarsam mengakui buku ini ditulis secara akademik, dengan menggunakan pendekatan teoritis dan kritis sebagaimana akademisi membahas perkembangan kebudayaan dan peradaban pada umumnya.

“Jadi, nantinya akan lebih banyak dibaca oleh mahasiswa dan cendekiawan bidang kesenian dan kebudayaan. Tapi karena isi buku ini pendekatannya bersifat ganda, termasuk sudut pandang sejarah, antropologi, teater, dan keagamaan, maka buku ini diharapkan akan dibaca oleh kalangan cendekiawan yang lebih luas,” ujarnya.

Selain itu, dia berpendapat bahwa pembaca umum juga bisa menikmati buku tersebut karena uraiannya termasuk masa kini. “Umpamanya bagaimana Bapak Presiden Jokowi dijuluki Petruk atau Gusdur (mantan Presiden Abdurrachman Wahid) dikatakan seperti karakter Semar. Jadi tidak hanya hal-hal yang sifatnya sejarah tetapi termasuk peristiwa-peristiwa masa kini,” tambahnya.

Karakter Kebudayaan Hibrida

Pria yang telah mengajar di Universitas Wesleyan sejak tahun 1972 itu menjelaskan bahwa pesan yang terkandung dalam buku ini adalah bagaimana kita memahami kebudayaan hibrida, yaitu kebudayaan yang dibangun atas dasar temu silang beberapa macam kebudayaan dan agama.

“Kebudayaan hibrida itu tentu sangat kompleks karena berbagai sudut pandang dan ideologi bertemu yang kadang-kadang bisa saling menyesuaikan satu sama lain, tetapi kadang-kadang juga terjadi konflik. Itulah sifat kebudayaan hibrida di mana saja. Kesenian sering merefleksikan kebudayaan hibrida itu termasuk melalui teks-teks tembangnya, atau kiasan-kiasan yang samar,” imbuhnya.

Alec McLane, pensiunan pustakawan musik dan direktur Arsip Musik Dunia. (Foto: Dok Pribadi)

Alec McLane, pensiunan pustakawan musik dan direktur Arsip Musik Dunia. (Foto: Dok Pribadi)

Alec McLane, PhD adalah salah seorang pengrawit pada konser itu. Pria bergelar sarjana ilmu perpustakaan dan S3 dalam komposisi musik ini telah mengabdi di Universitas Wesleyan selama lebih dari 25 tahun, terakhir sebagai pustakawan musik dan direktur Arsip Musik Dunia. Dia mengaku selalu tertarik dengan musik dunia, dan pertama kali belajar tentang gamelan ketika dia kuliah sebagai mahasiswa S1 di Universitas Illinois.

Mendapatkan pekerjaan di sebuah lembaga yang memiliki gamelan merupakan harapan Alec agar dia bisa melanjutkan kegemarannya belajar bermain gamelan. Beruntung, dia menerima tawaran bekerja di Universitas Wesleyan dan resmi menjadi staf di lembaga perguruan tinggi itu. Di sana pula Alec berkenalan dengan Sumarsam dan kepadanya dia mengungkapkan keinginan bermain gamelan. Gayung bersambut! Sumarsam menyambutnya untuk bergabung dengan ansambel gamelan.

“Jadi saya telah bermain di grup itu selama lebih dari 20 tahun sekarang, dan saya juga telah bermain selama sekitar sepuluh tahun sebelumnya. Dan ini kebanyakan gamelan Jawa Tengah. Saya juga punya sedikit pengalaman bermain gamelan Sunda,” ujar Alec, seraya menambahkan, “di Universitas Illinois saya belajar bermain gamelan dengan Pak Wirayanto yang merupakan seniman terkenal dari Yogyakarta, dari Keraton Yogyakarta. Dia adalah guru pertama saya.”

Menurut Alec, Universitas Wesleyan sangat beruntung dan bangga memiliki Sumarsam di antara staf pengajarnya selama lebih dari 50 tahun. “Sumarsam telah diakui selama bertahun-tahun di Barat, khususnya di Amerika Serikat sebagai sarjana musik Indonesia yang paling terkenal. Dia adalah seorang sarjana musik yang pergi ke Barat dan mendidik Barat tentang musik Indonesia,” katanya.

Alec mengatakan, “gagasan mengadakan pertunjukan itu sangat cocok untuk reputasi Profesor Sumarsam secara internasional. Buku ini merupakan puncak dari penelitian bertahun-tahun tentang musik Indonesia. Sumarsam telah menulis banyak buku lain, dan buku ini adalah salah satu yang banyak memasukkan aspek spiritual dari pengaruh Hindu dan Islam ke dalam budaya Indonesia, khususnya dalam seni pertunjukan Jawa.”

Alec menegaskan, konser gamelan yang diikutinya memang merupakan perayaan atas terbitnya buku tersebut, tetapi pada hakikatnya adalah perayaan atas kecendekiawanan Sumarsam selama bertahun-tahun.

Marc Perlman, Associate Professor of Music, Brown University (pengrawit tamu) (Courtesy: Wesleyan University’s Center for the Arts/Sandy Aldieri of Perceptions Photography)

Marc Perlman, Associate Professor of Music, Brown University (pengrawit tamu) (Courtesy: Wesleyan University’s Center for the Arts/Sandy Aldieri of Perceptions Photography)

Dia menjelaskan, “Konser ini cocok juga diadakan di perpustakaan karena perpustakaan kami memiliki banyak koleksi rekaman musik Indonesia, banyak di antaranya dari mahasiswa dan sarjana Wesleyan yang pernah pergi ke Indonesia untuk merekam musik di sana. Maka ini sangat tepat dan ini benar-benar merupakan perayaan tahun-tahun yang dihabiskan oleh Sumarsam di Wesleyan.”

Dalam pertunjukan itu di antaranya dimainkan dua lagu klasik: Ladrang Wilujeng slendro manyura, dan Ladrang Pangkur slendro sanga. Selain Alec sebagai penabuh gong, pengrawit lain adalah I.M Harjito – guru besar musik di Wesleyan – memainkan rebab, Marc Perlman – mantan mahasiswa Sumarsam yang kini menjadi guru besar di Brown University – memainkan gender, Jennifer Hadley – mantan mahasiswa Sumarsam yang kini bekerja di perpustakaan musik Wesleyan – memainkan slenthem, dan Sumarsam sendiri yang memainkan kendang. Bintang tamu pada konser ini adalah sinden Heni Savitri dari UC Berkeley.

Alec menyatakan bahwa penonton yang sangat antusias memenuhi ruangan yang tersedia. Mereka terdiri dari mahasiswa, pensiunan dosen dan dosen yang masih aktif saat ini, serta orang-orang yang tertarik dengan budaya Indonesia dari wilayah sekitar. Konsul Jenderal RI di New York Winanto Adi juga menghadiri acara itu.

Gamelan Indonesia Bukan Lagi Musik Asing

Bagi Alec, gamelan Indonesia, terutama gamelan Jawa dan Bali hampir tidak lagi menjadi musik asing di Amerika, utamanya di kalangan akademisi. Dia menambahkan, “Banyak universitas memiliki ansambel gamelan, misalnya Yale, Brown, University of Michigan, University of Wisconsin, University of Hawaii, University of Texas, dan lain-lain. Jadi, gamelan cukup menjadi pelengkap umum di dunia akademik Amerika, dan meskipun tidak semua mahasiswa memahami gamelan, suara jenis musik ini tidak asing lagi di telinga mereka.”

Heni Savitri, sinden tamu. (Courtesy: Wesleyan University’s Center for the Arts. Photo by Sandy Aldieri of Perceptions Photography)

Heni Savitri, sinden tamu. (Courtesy: Wesleyan University’s Center for the Arts. Photo by Sandy Aldieri of Perceptions Photography)

Sejarah Panjang Gamelan di Wesleyan

Alec menceritakan bahwa gamelan mulai diperkenalkan di Universitas Wesleyan pada awal 1960-an ketika mendiang etnomusikolog kenamaan Robert (Bob) Brown pertama kali membuka program musik dunia di perguruan tinggi itu. Bob Brown sendiri belajar gamelan di University of California Los Angeles (UCLA), institusi pertama di Amerika yang memiliki seperangkat lengkap gamelan Jawa.

“Bob Brown berpendapat bahwa Wesleyan sangat perlu memiliki gamelan dan mengajar mahasiswa tentang budaya musik lain, terutama yang berkembang dengan sangat baik secara historis, dan itu adalah gamelan dari Indonesia,” papar Alec. Sejak itu, gamelan telah menjadi “perlengkapan tetap” di kampus universitas swasta itu.

“Setiap orang yang datang ke Wesleyan tahu bahwa Wesleyan memiliki perangkat gamelan dan mereka mengetahui apa itu gamelan, bahwa Indonesia memiliki sistem ansambel musik yang sangat indah dan rumit yang mencakup pewayangan dan semacamnya. Bagi saya, bermain gamelan merupakan pengalaman yang luar biasa, dan itu terutama karena ada begitu banyak hal yang dapat dipelajari tentang jenis musik ini, sehingga meskipun saya telah bermain gamelan selama sekitar 30 tahun, saya merasa masih seperti seorang pemula,” ujarnya.

Alec mengaku masih perlu belajar banyak tentang tradisi musik gamelan. “Ini cara yang luar biasa untuk menjelajahi tradisi dengan menggunakan keterampilan musik yang relatif dasar tanpa keahlian yang tinggi untuk memahami musik ini, untuk memahami struktur musiknya, dan untuk mengetahui bagaimana menjadi kreatif di dalamnya. Menurut saya, itulah yang paling menarik dari musik gamelan,” pungkasnya. [lt/uh]

[ad_2]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *