[ad_1]
Optimisme Presiden Jokowi terkait penghapusan kemiskinan ekstrem bertabrakan dengan realitas, karena angka kemelaratan di Tanah Air masih cukup tinggi pada tahun ini. Pendapat itu disampaikan peneliti dari SDGs Center, Universitas Padjadjaran, Bandung, Profesor Arief Anshory Yusuf ketika berbincang dengan VOA.
“Kalau nol, beneran nol, ya berat lah. Kalau praktik mendekati nol, mungkin saja. Tetapi enggak juga, sekarang kan sudah 2023, angkanya masih di atas satu,” kata Arief.
Dia berpendapat pemerintah akan kesulitan menurunkan angka kemiskinan ekstrem satu persen dalam satu tahun. Apalagi, target yang menjadi sasaran dalam program ini tidak mudah diidentifikasi dan dijangkau. Mereka, misalnya adalah kelompok terpinggirkan seperti perempuan, tinggal di daerah terpencil, dan memiliki disabilitas.
“Jadi tidak semudah yang dikira. Identifikasinya saja susah,” kata Arief.
Dalam penjelasan pemerintah, kemiskinan ekstrem adalah kondisi dalam memenuhi kebutuhan dasar, seperti makanan, air bersih, sanitasi layak, kesehatan, tempat tinggal, pendidikan dan akses informasi. Dalam angka, seseorang dikategorikan miskin ekstrem jika kemampuan daya beli (Purchasing Power Parity/PPP) hanya mencapai $1,9.
PPP ini ditetapkan dengan menggunakan aturan kemiskinan absolut atau absolute poverty measure yang konsisten antarnegara dan antarwaktu. Dalam hitungan rupiah, menurut Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2021, seseorang dikategorikan miskin ekstrem jika pengeluarannya ada di bawah Rp10.739/orang/hari atau Rp322.170/orang/bulan. Berdasarkan hitungan itu, satu keluarga yang memiliki dua anak, dinilai miskin ekstrem jika pengeluarannya setara atau di bawah Rp1,28 juta per bulan.
Menurut data BPS, pada Maret 2021 ada 2,14 persen atau 5,8 juta jiwa masyarakat Indonesia yang masuk dalam kategori miskin ekstrem. Menurut perhitungan, dengan mempertimbangkan berbagai kondisi, kemiskinan ekstrem pada 2024 bisa mencapai 2,6 atau 3,1 persen setara sekitar 7,2 – 8,6 juta jiwa.
Sesuai Target SDG’s
Arief menilai, target menghapus kemiskinan ekstrem bukan sesuatu yang tidak bisa dicapai. Namun, dia lebih optimis jika target pemerintah disejajarkan dengan target yang sudah ditetapkan dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau SDGs.
“Kalau menurut saya, kita bisa lihat SDGs target saja. Kan SDGs target nol persen di 2030, dan itu lebih masuk akal, dengan intervensi tertentu,” ujarnya.
Arief juga menambahkan, “Ngapain sih kita bersemangat melakukan sesuatu yang tujuannya hanya untuk meng-impresi berhasil, padahal enggak.”
Karena itulah, kata dia, pemerintah tidak perlu ngotot menarget 2024 sebagai batas.
“Siapa saja yang bisa melihat data, kalau melihat tren, tidak mungkin tiba-tiba curam,” tambah Arief.
Ada sejumlah persoalan yang menghambat penghapusan kemiskinan ekstrem di Indonesia. Masalah itu antara lain adalah koordinasi di kalangan pemerintah sendiri untuk mensinkronkan program-programnya. Selain itu, tingkat kesulitan penghapusan kemiskinan ekstrem juga tinggi, salah satunya karena identifikasi penerima program yang kadang tidak jelas orangnya.
Koordinasi yang sangat sulit adalah soal data.
“Siapa yang pegang data? Database perlindungan sosial ada di Kementerian Sosial, sementara Registrasi Sosial Ekonomi (Regsosek) ada di Bappenas. Itukan contoh, sederhana bagaimana koordinasi itu diperlukan lebih baik,” tegas Arief.
Jokowi Tetap Optimis
Sebelumnya, ketika memberikan keterangan kepada media bersama Ketua Umum PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri, Presiden Joko Widodo mengungkapkan optimismenya dalam menghapus kemiskinan ekstem.
“Berkaitan dengan kemiskinan ekstrem ini, sebetulnya kita sudah rencanakan di periode ke-2 ini, agar di 2024 itu kita berada pada posisi nol. Kemiskinan ekstrem kita. Kita akan kerja keras dan mati matian. Tapi kita terkendala di COVID-19 hampir 2,5 tahun. Tapi saya masih meyakini di 2024 itu akan turun drastis,” papar Jokowi usai menghadiri Rapat Kerja Nasional (Rakernas) III PDIP di Jakarta, Selasa (6/6).
Optimisme itu didasari pada data pemerintah, yang sudah mencatat masyarakat miskin ekstrem, sesuai nama dan alamat masing-masing. Pemerintah hanya perlu untuk fokus dalam upaya ini.
“Supaya kita tahu, anggaran untuk bantuan sosial di negara kita ini besar sekali. Diatasnya hanya infrastruktur. Artinya kalau targetnya sudah kelihatan, nama dan alamat, itu sangat mudah menyelesaikan,” tambahnya.
Yang dibutuhkan, lanjut Presiden, adalah kerja yang terkonsolidasi di antara kementerian, lembaga dan pemerintah daerah.
“Semua harus bersama-sama. Bukan barang yang sulit, tetapi memang perlu konsolidasi dan perlu waktu,” ujarnya.
Koordinasi Jadi Tantangan
Pemerintah memang memiliki banyak program dan anggaran besar dalam menghapus kemiskinan ekstrem. Namun, justru karena berada di banyak tempat itulah, menurut Sekretaris Eksekutif Tim Nasional Percepatan Penghapusan Kemiskinan (TNP2K), Suprayoga Hadi, koordinasi menjadi penting. Senada dengan tantangan yang disampaikan Jokowi sebelumnya.
“Kalau kita bicara mengenai pengurangan beban, paling tidak ada sebelas kementerian dan lembaga yang terkait,” ujarnya.
Hadi menambahkan, “Bicara mengenai peningkatan pendapatan, kita bicara dengan enam belas kementerian dan lembaga. Kalau tidak kita tata dalam hal ini, maka semuanya akan berjalan sendiri-sendiri,” ujarnya dalam salah satu acara Kementerian Pendayagunaan Aparat Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan RB) di Bandung, Jumat (9/6).
Pemerintah,menurut Hadi, menerapkan tiga strategi menurunkan atau menghapuskan kemiskinan ekstrem. Pertama adalah program yang sudah lama dijalankan, yaitu pengurangan beban masyarakat melalui bantuan sosial. Program kedua adalah pemberdayaan ekonomi masyarakat miskin ekstrem dalam program yang lebih berkelanjutan. Program kedua ini tidak memberikan bantuan konsumtif, tetapi modal usaha sehingga ada upaya kemandirian di penerimanya. Sedangkan program ketiga adalah mengurangi kantong kemiskinan.
“Dalam rapat yang dipimpin Pak Wakil Presiden beberapa waktu lalu, kita ketahui ada beberapa lokasi industri besar, tapi di sekelilingnya itu kantong kemiskinan,” ujar Hadi.
Pemerintah Daerah Pegang Kunci
Program pengentasan kemiskinan memang membutuhkan peran pemerintah daerah. Jawa Tengah yang masuk salah satu provinsi miskin di Indonesia, penanganan kemiskinan ekstrem menjadi salah satu prioritas.
“Kami di Jawa Tengah coba mendesain khusus untuk penanganan kemiskinan ekstrem. Jadi kemarin teman-teman Kades sudah bantu mendata, verifikasinya sekarang sudah seratus persen. Beberapa intervensinya sudah mulai bagus, kami cek rumah yang tidak layak huni, kami cek jambannya, airnya, anak tidak sekolah, dan penyandang disabilitas. Ini beberapa yang menjadi prioritas kami,” kata Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo di Semarang, Rabu (7/6).
Ganjar meminta intervensi yang dianggarkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa, maupun Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) segera dijalankan. Peran lembaga di luar pemerintah melalui program tanggung jawab sosialnya juga sangat diharapkan.
“Sekarang kami mulai petakan yang ada di masing-masing kabupaten/kota. Alhamdulillah yang stunting seratus persen sudah diintervensi,” tambahnya.
Senada dengan Jokowi, Ganjar juga optimis target menghapus kemiskinan ekstrem pada 2024 dapat direalisasikan. Salah satunya dengan mengarahkan pemanfaatan anggaran daerah untuk program ini.
Di bidang prasarana, Ganjar mendorong perusahaan swasta membantu pembangunan jamban. Sementara untuk menekan pengangguran, angggaran dipakai untuk proyek padat karya atau pelatihan kerja. Di bidang pendidikan, Ganjar ingin semua anak dari keluarga miskin ekstrem tetap dapat menyelesaikan sekolah dengan dukungan anggaran pemerintah. [ns/ah]
[ad_2]