Suara-Pembaruan.com — Pemegang saham Bank Centris Internasional (BCI) Andri Tedjadharma mengungkapkan bahwa audit resmi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), yang digunakan pemerintah sebagai bukti gugatan terhadap Bank Centris Internasional (BCI) ke pengadilan pada tahun 2000, justru membuka fakta mengejutkan.
Pertama, audit tersebut ternyata tidak pernah memeriksa rekening BCI, melainkan rekening atas nama entitas berbeda: Centris Internasional Bank (CIB).
Kedua, audit BPK menyebut adanya aliran dana ke rekening Centris International Bank (CIB). Tapi kenapa Andri Tedjadharma yang dituduh menerima aliran BLBI. Padahal penerima aliran dana dari Bank Indonesia adalah CIB.
Andri Tedjadharma telah menjadi korban dalam kasus BLBI. Andri difitnah dan dikambinghitamkan oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) dan Satgas BLBI dengan tuduhan menerima BLBI agar target mereka mengejar popularitas politik memainkan isu BLBI tercapai. Andri dituduh obligor BLBI dan hartanya dirampas, sangat kejam sekali.
Padahal Andri Tedjadharma tidak satu rupiah pun menerima dana BLBI. Buktinya sangat kuat yakni hasil audit BPK yang mencatat aliran dana BLBI justru mengalir ke Centris Internastional Bank (CIB), bukan Bank Centris pimpinan Andri.
Dan aliran dana tersebut mengalir secara terus menerus selama 4 kali dimana Andri tak tahu sama sekali.
Ada dua rekening dalam tuduhan itu. Satu rekening misterius atas nama Centris International Bank (CIB) yang pemiliknya misterius, dimana Bank Indonesia mengalirkan dana BLBI nya ke rekening mereka.
Sementara rekening asli atas nama Bank Centris Internasional (BCI) tidak pernah tercatat di audit BPK sebagai penerima dana BLBI.
“Perbedaan nama dan nomor rekening ini bukan kekeliruan sepele. Dokumen hukum yang digunakan pemerintah, seperti Akte 39 antara Bank Indonesia (BI) dan BPPN, serta audit BPK yang dijadikan bukti di pengadilan, semuanya merujuk ke CIB, bukan BCI,” ujar Andri Tedjadharma dalam keterangannya kepada media di Jakarta, Jumat (11/7/2025)
Padahal, menurut Andri, BPPN telah menguasai seluruh dokumen asli BCI sejak 4 April 1998, sejak BCI dibekukan operasinya (BBO).
“Sehingga sulit dibantah bahwa terjadi kekeliruan administratif. Sebaliknya, ini menunjukkan indikasi kuat adanya rekayasa sistemik dari BPPN dan BI kepada Bank Centris, saya jadi korban kedzoliman kekuasaan,” tegas Andri.
Inti dari permasalahan, audit BPK bahkan menunjukkan bahwa:
* Dana BLBI tidak pernah masuk ke rekening resmi BCI.
* Dana BLBI dialirkan ke rekening CIB, lalu ditarik oleh beberapa bank swasta dalam skema call money overnight dengan BCI, yang justru menjadi pihak yang harus membayar pokok dan bunga.
Bahkan, DJKN sendiri menyatakan bahwa tidak pernah menerima barang jaminan apapun dari BCI, yang menunjukkan akte 39 itu memang CIB. Bukan BCI. Karena BCI dan BI terikat perjanjian jual beli promes nasabah dengan jaminan tanah seluas 452 hektare (Akte 46).
Mirisnya, meski audit BPK telah mengungkap fakta-fakta tersebut, pemerintah melalui pembentukan Satgas BLBI, PUPN dan KPKNL, tetap melakukan penyitaan aset pribadi Andri Tedjadharma. Bahkan, melakukan upaya pelelangan harta-harta itu. Ini sungguh perbuatan yang keji dan di luar akal dan nurani.
Tuntutan untuk Pemulihan Keadilan:
Pemerintah tidak boleh membiarkan kesalahan masa lalu dijadikan dasar tindakan melawan hukum saat ini. Oleh karena itu, kami mendesak:
1.Penghentian penyitaan terhadap harta pribadi Andri Tedjadharma, karena tidak terdapat bukti penerimaan dana BLBI oleh BCI.
2. Evaluasi menyeluruh terhadap dasar hukum dan bukti yang digunakan oleh Satgas BLBI, DJKN, dan KPKNL.
3. Investigasi independen terhadap dugaan rekayasa yang dilakukan oleh BPPN dan BI dalam kasus ini.
4. Pemulihan nama baik Bank Centris Internasional dan para pemegang sahamnya, berdasarkan fakta audit negara dan putusan pengadilan yang relevan.
Kasus ini merupakan ujian serius bagi komitmen negara terhadap keadilan, supremasi hukum, dan perlindungan hak warga negara.
Audit BPK sebagai alat resmi negara tidak boleh dikesampingkan hanya karena bertentangan dengan narasi institusi tertentu. Negara harus berpihak pada kebenaran dan keadilan, bukan mempertahankan kesalahan warisan masa lalu. (*)