Headline

Berduka di Kelas Sedih

194
×

Berduka di Kelas Sedih

Sebarkan artikel ini
Berduka di Kelas Sedih

[ad_1]

Manusia selalu siap berbahagia, tapi tidak siap bersedih—padahal kesedihan adalah bagian tak terhindarkan dari kehidupan. Kira-kira itu lah yang memotivasi Mohammad Ali Ma’ruf, seorang penulis yang tinggal di Jogja, untuk membuat Kelas Bersedih.

“Kelas Sedih adalah kelas untuk mempelajari kesedihan. Semua orang adalah mahasiswa, termasuk saya,” katanya Volix dalam wawancara pada Selasa, 11 April 2023.

“Kesedihan adalah niscaya, kita menemuinya berkali-kali dalam hidup, tapi kita jarang dibekali atau diajarkan bagaimana menghadapi kesedihan-kesedihan itu. Jangankan dibekali atau diajarkan. Untuk diakui jika bersedih itu perasaan yang valid saja tidak,” pemuda yang kerap disapa Ali ini berkata.

Tujuan dari Kelas Bersedih adalah mengajak manusia berdamai dengan kesedihan yang sering diabaikan, lalu bersama mencari siasat bagaimana menyikapinya ketika kesedihan datang.

“Kita selalu lari dari kesedihan sampai-sampai kadang kita nggak sadar jika sedang bersedih, menolak keras kesedihan tersebut, padahal jika ingin tidak sedih bukannya yang harus kita lakukan adalah tau di mana letak kesedihan dan kenapa kita sedih?” jelasnya. Berbekal dengan tujuan itu, Ali mengadakan Kelas Bersedih untuk pertama kalinya di 2020.

“Saat itu pandemi sedang kencang-kencangnya dan berita buruk sedang sibuk-sibuknya. Aku merasa beruntung karena punya teman atau sebut saja lingkar dukung yang baik. Tapi bagaimana dengan yang lain?” jelasnya. Bermula dari situ, ia membuat satu sesi Kelas Bersedih pertama secara on line lewat platform mengobrol Perselisihan.

“Disana kami hanya bergantian cerita dan mendengarkan satu sama lain. Dua tahun setelah itu akhirnya aku berani membuat Kelas Bersedih secara luring di Yogyakarta dengan beberapa konsep dan metode baru,” ujarnya.

Di pertemuan Kelas Bersedih luring yang pertama, Ali dikagetkan dengan banyaknya peserta yang ikut.

Peserta bertepuk tangan setelah mendengarkan cerita salah satu peserta. Credit: Ali Ma’ruf.

“Yang ikut 20 orang, mereka datang dari jauh untuk saling mendengar, menulis, dan bahkan menangis,” ujarnya. “Lebih kaget lagi ketika membuat Kelas Bersedih di Surabaya, ada 40 orang! Akhirnya aku buat 2 sesi, per sesi 20 orang.”

“Heran kok ada sampai 40 orang, bahkan setelah pendaftaran ditutup masih saja ada yang daftar dan bertanya apakah bisa mendaftar secara OTS. Salah satu pendaftar yang gagal ikut karena kuota penuh hanya merespons dengan ‘Wah, ternyata banyak juga ya yang sedih di Surabaya,’. Aku hanya tertawa,” ujarnya, tergelak.

Di setiap sesi Kelas Bersedih, Ali bertindak sebagai moderator yang memimpin diskusi di mana pengunjung saling mendengar dan bercerita satu sama lain.

“Aku mengajak Kelompok Belajar Bersedih ini untuk melakukan terapi menulis ekspresifmetode yang berhasil saat kuterapkan pada diriku sendiri. Aku juga mengarahkan para peserta agar lebih mudah memulai menulis. Dari mulai mengenal diri, merunut kesedihan, menulis hal-hal menyenangkan, dan menulis hal-hal yang sulit untuk diutarakan. Selama kelas kami menulis, bercerita, dan mendengarkan,” jelas Ali. Ia juga berkata mungkin ia akan mencoba metode menolong diri lain di kelas-kelas berikutnya.

Namun, Ali selalu menekankan pada para peserta bahwa ia bukan psikolog. Ia hanya sesama “orang sedih” yang ingin membantu teman-temannya menghadapi kesedihan.

“Aku hanya mendengarkan. Alih-alih merespons dengan nasehat aku lebih memilih menceritakan hal lain dari hidupku yang mungkin relevan dengan apa yang orang lain baca. Jadi kita hanya saling cerita dan mendengarkan,” katanya. “Di awal kelas aku selalu menegaskan jika aku bukan psikolog dan jika mereka sedang membutuhkan psikolog silakan datang ke psikolog, bukan ke Kelas ini.
”

Semua orang, semua jenis kesedihan

Soal bersedih, Ali memang jagonya. Ia senang berbagi pemikirannya soal melankolia di akun Instagram dan Twitter-nya, @alimaruv. Buku pertamanya, juga tentang menyelidiki emosi depresi dan kebencian, Perihal Cinta Kita Semua Pemula, diterbitkan oleh Buku Mojok di tahun 2019 dan segera ludes. Di tahun 2021, buku itu diambil oleh Visinema untuk dialihwahanakan menjadi film yang kini sedang dalam proses pengembangan. Di tahun 2021, Ali menerbitkan buku keduanya, Tidak apa-apa karena kami saling mencintai.

Sebagai penggiat kesedihan, Ali cukup kaget karena kelas ini membuatnya bertemu dengan berbagai macam manusia dari berbagai umur yang memendam berbagai jenis keresahan.

“Ada yang berumur 50 tahun, ada juga yang berumur 17 tahun. Banyak yang masih lajang, tapi ada juga seorang istri yang sedang hamil dan diantar suaminya,” kata Ali. “Tentu mereka punya ceritanya masing-masing hingga sampai ikut kelas ini. Di Kelas Bersedih Surabaya ada yang datang dari Ponorogo, ada yang dari Kediri, ada yang dari Jombang, ada yang dari Nganjuk.”

Kata Ali, kebanyakan dari pesertanya mengikuti kelas ini karena mereka ingin sekali berbagi cerita dan ingin sekali didengarkan.

“Beberapa peserta mengaku memang sedang patah hati dan kehilangan. Beberapa masih dalam hubungan beracun. Ada yang punya masalah komunikasi di keluarga disfungsionalnya. Ada yang baru ditinggal meninggal salah satu orang tua dan merasa hampa yang tak berkesudahan. Ada juga yang bercerita sedang dalam proses melanjutkan hidup setelah mengalami kekerasan seksual yang menimpanya. Banyak hal,” ujarnya.

Menurut Ali, manusia harus mewajarkan kesedihan dan tidak menganggapnya tabu. Malah, manusia harus punya sistem pendukung untuk membantu mereka menghadapi kesedihan. Ali menemukan hal ini justru sesuai dengan budaya nusantara.

“Nusantara punya budaya meratap bersama, nangis bersama. Budaya bersedih bersama bukanlah hal baru. Ada budaya Tangi Pilu di Sabu, NTT. Ada Remahili di Papua, Kadong Badong di Toraja, dan Andung-Andung di Toba,” ujarnya. “Bahkan ketika membicarakan Andung-Andung yang merupakan seni rapatan masyarakat Batak Toba, mereka menciptakan satu profesi manusia yang mengajak nangis bareng, dia hadir untuk membuat meratap dan terisak bersama.”

Ali mengatakan menumpahkan emosi di ruang yang aman bisa membantu manusia untuk menghindari “meledak” di saat yang tidak tepat.

“Kesedihan dan kehilangan membuat nyeri emosional yang luar biasa, jika ada orang yang berlarut-larut menahan dan menumpuk nyeri itu, suatu saat akan menjadi berbahaya. Menangis dan meluapkan kesedihan membuat nyeri itu berangsur berkurang dan mereda.” ujarnya. “Dengan alasan itu juga menurutku wajar dan bagus jika lebih banyak kelompok atau lingkar bersedih. Toh aku kira sekarang tiap orang punya grup mengobrol yang berisi sekumpulan orang yang isinya hanya mengeluh dan berbagi kesedihan. Itu bagus.”

Sayangnya, kelas bersedih tidak bisa diadakan rutin akibat kesibukan Ali. Jika tertarik mengikuti Kelas Bersedih berikutnya, peminat bisa memantau pengumuman yang biasanya disiarkan lewat akun Instagram pribadi Ali dengan nama belakang @alimaruv. Untuk mengikuti kelas, peserta harus membayar tiket masuk yang jumlahnya berbeda-beda setiap kelasnya. Uang itu digunakan untuk memberikan fasilitas makan, minum, dan alat tulis, selain juga lingkar bersedih yang aman di mana peserta bisa menumpahkan uneg-unegnya sampai lega.

“Dengan punya teman cerita yang baik, mereka akan sangat membantu dalam merunut perasaanmu, memvalidasi keputusanmu, dan meredakan kekhawatiranmu. Jadi, mari bersedih bersama.”



[ad_2]

Source link

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *