[ad_1]
Warga di Pulau Wawoni’i, Kabupaten Konawe Kepulauan, Sulawesi Tenggara mengeluhkan kesulitan mendapatkan air bersih. Wawonii adalah sebuah pulau kecil dengan luas 867,58 kilometer persegi.
Amlia, seorang ibu rumah tangga di pulau itu mengungkapkan dari jumlah empat mata air, tiga diantaranya sudah tercemar oleh lumpur dampak dari penggalian penambangan nikel.
“Mata air itu sudah tidak bisa lagi dipakai oleh warga karena sudah tercemar, bukan air lagi yang keluar, sudah lumpur, jadi kita sekarang sudah kesusahan air,” kata Amlia dalam konferensi pers secara daring, Minggu (4/6).
Amlia mengatakan kini untuk mendapatkan air bersih dirinya harus menempuh jarak lima kilometer ke desa lainnya yang masih terdapat sumber mata air yang belum tercemar. Warga juga mengupayakan cara lain untuk mendapatkan air meskipun tidak mencukupi untuk kebutuhan sehari-hari.
“Sekarang yang kita upayakan tadah air hujan, kita gali sumur, tidak mencukupi juga,” kata Amlia.
Dalam siaran pers bersama oleh YLBHI, JATAM Nasional, KIARA, Trend Asia dan LBH Makassar yang diterima VOA, Minggu (4/6) mengungkapkan kerusakan sumber air bersih di Pulau Wawonii berdampak pada 2.214 jiwa warga yang berada di lima desa, yaitu Dompu-Dompu, Sukarela Jaya, Roko-roko, Bahaba dan Teporoko.
Sejak Mei 2023, air yang mengalir ke rumah-rumah warga di ke lima desa itu sudah berwarna keruh kecolatan bercampur lumpur. Kuat dugaan kondisi itu diakibatkan kegiatan pertambangan nikel yang dilakukan sejak 2019.
“Tahun lalu kami sempat menemukan bahwa di antara pertemuan sungai Roko-Roko dan anak sungainya Tamo Siu-siu, itu sudah terjadi percampuran antara air yang jernih dengan air yang sudah membawa sedimen dari land clearing yang dilakukan pertambangan,” jelas pegiat Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Erwin Suryana dalam acara yang sama.
Aktivis Pertambangan Ancam Kelestarian Ikan
Selain mencemari tiga mata air di Pulau Wawonii, sedimen yang dihasilkan dari kegiatan pertambangan juga mengancam kelestarian biota ikan di bagian muara sungai Roko-Roko yang dinamai warga sebagai ikan Lompangea.
“Nah ketika pertambangan mulai dilakukan ikan Lompa ini kemudian menghilang, padahal selama ini ikan lompat digunakan untuk memenuhi kebutuhan protein ketika mereka mengalami masa paceklik mendapatkan tangkapan di wilayah perairan laut,” kata Erwin yang menambahkan material sedimen lumpur yang mengalir ke muara juga mengancam kelestarian terumbu karang di pesisir pantai yang menjadi habitat ikan.
Erwin khawatir kegiatan pertambangan yang terus berlanjut di pulau kecil itu dapat menyebabkan dampak kerusakan lingkungan yang mempengaruhi kehidupan masyarakat setempat.
Ancaman Ekologi
Edy K Wahid dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia mengatakan berdasarkan ketentuan Pasal 35 huruf k dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014, melarang penambangan mineral yang berpotensi menimbulkan konflik sosial dan kerusakan lingkungan hidup. Pulau Kecil adalah pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2.000 km2 (dua ribu kilometer persegi) beserta kesatuan ekosistemnya.
“Jika pulau kecil ditambang maka secara konteks ekologi, lingkungan dan sosial itu akan berdampak fatal terhadap itu semua, makanya di pasal itu sudah keras menyatakan pulau kecil tidak boleh dilakukan kegiatan pertambangan,” ujarnya.
Dalam siaran persnya organisasi sipil dan lingkungan hidup itu mendesak dihentikannya kegiatan tambang di Pulau Wawonii, juga mendesak pemerintah daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Konawe Kepulauan untuk segera mencabut alokasi ruang tambang di Pulau Wamoni’i dalam Peraturan Daerah Rencana Tata Ruang Wilayah berdasarkan putusan Mahkamah Agung No 57 Tahun 2022. [yl/em]
[ad_2]