
Suara-Pembaruan.com –-Di usia ke-21 tahun, Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI kembali bergulat dengan pertanyaan lama: apa sebenarnya fungsi dan makna keberadaannya dalam sistem politik Indonesia?
Ketua DPD RI, Sultan B Najamudin, mencoba memberi jawaban segar.
Bagi Sultan, DPD tidak boleh sekadar dilihat sebagai corong aspirasi daerah.
DPD RI harus bertransformasi menjadi lembaga yang ikut mengawal isu-isu krusial lintas batas: lingkungan, perubahan iklim, hingga ekosistem.
“DPD RI itu bukan hanya ngurusin masyarakat daerah. Lebih dari itu, DPD harus bicara soal iklim, air, udara, dan ekosistem. Itu perintah konstitusi,” kata Sultan dalam Dialog Kebangsaan dan Kenegaraan bertajuk Napak Tilas Kelembagaan: Upaya Merajut Visi dan Perspektif untuk Kinerja DPD RI yang Lebih Berdaya, di Kompleks Parlemen, Jakarta, 30 September.
Pernyataan itu tak datang kosong.
Sultan memamerkan empat rancangan undang-undang (RUU) inisiatif DPD yang masuk Prolegnas Prioritas 2025: RUU Pemerintahan Daerah, RUU Pengelolaan Perubahan Iklim, RUU Masyarakat Adat, dan RUU Kepulauan.
Sebuah paket legislasi yang dirancang sebagai bukti bahwa senat daerah ini bisa berbuat lebih dari sekadar simbol politik.
Filosofi Baru
Dialog tersebut menjadi panggung ide. Rocky Gerung, akademisi yang kerap kritis, menyoroti dimensi baru yang ditawarkan DPD RI.
Menurutnya, ketika bicara soal lingkungan, DPD sejatinya tidak hanya mewakili daerah administratif, tetapi juga keberlanjutan ekosistem.
“Anda mewakili gajah di Sumatera, pohon yang cemas di Papua, atau sungai yang dibendung. Itu new philosophy DPD,” ucap Rocky.
Rocky menyebut istilah green democracy sebagai tata bahasa politik global yang kini menggantikan narasi lama.
Demokrasi tak lagi hanya tentang konstitusi atau pasar keuangan, tetapi juga tentang etika lingkungan dan keberlanjutan hidup.
“Pertanyaannya, apakah DPD mampu bicara sebagai wakil bumi, bukan sekadar wakil daerah,” tantangnya.
Politik yang Berakar
Selain Rocky, analis politik Hendri Satrio menyoroti inisiatif “Senator Peduli Ketahanan Pangan” yang digerakkan DPD di empat wilayah.
Mulai dari menanam jagung, sejuta pohon, hingga menebar benih ikan. Program berbasis bukti ini, kata Hendri, harus dikomunikasikan secara luas agar bisa direplikasi daerah lain.
Pakar hukum tata negara, Andi Irman Putra Sidin, menambahkan dimensi kelembagaan.
Menurutnya, peluang penguatan kewenangan DPD agar setara dengan DPR dan Presiden terbuka lebar, asalkan lembaga senator ini meningkatkan kapasitas internal.
“Kita butuh lima orang kuat di DPD untuk memperjuangkannya. Tapi DPD harus sekolah dulu baik-baik dalam dua tahun ini,” ujarnya.
Reformasi Politik
Sultan sendiri menyiapkan sebelas gagasan reformasi politik.
Di antaranya pembentukan Badan Legislasi Nasional yang melibatkan DPR, DPD, pemerintah, akademisi, hingga masyarakat sipil; memberi ruang bagi senator untuk mengusung calon kepala daerah independen; hingga ide kontroversial: empat wakil presiden yang mewakili sub-wilayah Indonesia.
Ia juga menekankan urgensi Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) melalui MPR RI untuk menjaga konsistensi arah pembangunan.
“Reformasi politik harus diarahkan menghadirkan demokrasi substantif, bukan sekadar prosedural,” kata Sultan.
Jalan Panjang
Langkah DPD ini memang berani. Tapi pertanyaan publik tetap menggantung: sejauh mana ia mampu menembus dominasi DPR dan pemerintah?
Apakah gagasan tentang green democracy dan reformasi politik ini akan berbuah nyata, atau kembali menguap sebagai retorika kelembagaan?
Sultan selalu optimistis.
“DPD RI harus didefinisikan ulang sebagai kamar kedua dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Kehadirannya bukan sekadar simbol, tetapi kebutuhan nyata agar suara daerah dan ekosistem tidak hilang di tengah hiruk-pikuk politik pusat.”
Ujian berikutnya menanti: konsistensi. Karena di balik jargon dan wacana, publik menunggu bukti nyata—bahwa DPD RI benar-benar mewakili bukan hanya manusia, tetapi juga bumi yang sedang genting.
Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Sultan B Najamudin menilai syarat ini penting agar calon yang ditawarkan ke masyarakat memiliki rekam jejak pengabdian, wawasan kebangsaan yang luas dan kapabilitas yang ideal.
“Bangsa ini mulai menyadari perlunya melakukan reformasi politik dan penguatan lembaga demokrasi, seperti yang menjadi visi “Asta Cita” Presiden Prabowo,” ujar Sultan.
Sultan mengungkapkan upaya penguatan lembaga DPD RI adalah bagian penting dalam proses konsolidasi demokrasi.
Untuk itu, ia menilai DPD memiliki tanggung jawab untuk mulai berbenah dan meng-upgrade kapasitas secara internal.
“DPD RI adalah lembaga Senat yang semestinya memiliki peran strategis dalam sistem ketatanegaraan. Tapi jika semua orang diberikan kesempatan yang sama untuk dipilih menjadi anggota Senat tanpa mekanisme recruitment yang ketat, maka lembaga ini akan semakin tidak diperhitungkan,” tegasnya.
Lebih lanjut, Sultan menjelaskan aturan syarat calon anggota DPD tentu akan disesuaikan dengan tugas pokok dan tanggung jawab DPD sebagai representasi daerah.
Menurutnya, DPD harus memiliki wawasan kebangsaan serta ketatanegaraan, berpengalaman atau pernah mengabdi dalam pengembangan otonomi daerah.
“Syarat calon anggota DPD RI mungkin dikhususkan pada mereka yang pernah mengabdi sebagai pejabat negara dan pernah menjadi Kepala Daerah. Tentunya tidak pernah divonis oleh pengadilan sebagai narapidana,” urainya.
Meski demikian, ia menyatakan gagasannya terkait syarat calon anggota DPD RI tersebut masih berupa usulan dan gagasan inovasi demokrasi yang ditulisnya dalam Buku Green Democracy.
“Kita ingin ke depan DPD RI menjadi rumah pengabdian bagi para negarawan dan calon pemimpin Nasional. Bukan sekedar menjadi tempat berkumpulnya para tokoh masyarakat daerah yang mengandalkan popularitas dan modal semata,” tutupnya.
- BACA JUGA: majalah MATRA edisi Oktober 2025, Klik ini