[ad_1]
Photo : Dr Ike Farida SH.,LL.M
Jakarta, Sejak awal tahun 2000 jumlah pengembang berkembang cukup pesat, termasuk developer asing yang ikut serta mengembangkan bisnisnya di Indonesia. Namun hal tersebut tidak diikuti dengan adanya aturan tegas, memiliki kepastian hukum dan cukup melindungi masyarakat Indonesia kata Ketua Umum HKHKI Dr Ike Farida SH., LL.M dalam keterangan tertulisnya, Selasa (14/12/21).
Farida menambahkan pada 2014 Kemenpera keluarkan daftar 60 developer/ pengembang bermasalah. Pengembang tersebut masuk dalam kategori yang tidak taat hukum atau nakal. Tapi hingga 2021 jumlah kasus pelanggaran hukum tidak berkurang secara signifikan, malah bertambah.
Pelanggaran hak-hak pekerja, konsumen (pembeli) serta merusak lingkungan, secara terang-terangan harus segera dihentikan. Dimulai dari tidak didaftarkan pekerja dalam BPJS dan Disnaker setempat, pemotongan upah, pelanggaran jam kerja, dst. Pelanggaran terhadap konsumen seperti tidak dilakukan PPJB, serah terima unit, AJB, pengembang kabur, iklan yang tidak sesuai dengan ijin bangunan beber Farida.
Untuk itu, HKHKI akan mendesak pemerintah untuk benahi aturan tentang UU Rusun, termasuk rumah hunian. Surat sudah dikirimkan ke DPR, Gubernur, DPRD Komisi D dan instansi pemerintah terkait lainnya, agar pemerintah segera memberi tanggapan positif, kami sertakan data dan bukti awal papar Farida.
Tidak sedikit kasus-kasus properti yang terjadi di Indonesia, mulai dari proyek bodong yang mengatasnamakan Down Payment (DP), apartemen yang tidak kunjung dibangun padahal sudah dibayar lunas. Hingga proses perizinan yang tidak dimiliki, malah konsumen dituduh berbohong dan tidak melengkapi persyaratan pembelian properti ungkap Putri Mega Citakhayana salah satu pengurus HKHKI.
Ketua Bidang Advokasi HKHKI, Raditya, S.H menggarisbawahi bahwa perubahan terhadap UU No. 20/2011 tentang Rumah Susun dalam UU No. 11/2020 tentang Cipta Kerja tidak dapat mengakomodir kepentingan masyarakat seperti menghapus sanksi pidana, kewajiban dan perubahan sanksi bagi developer terkait pencantuman isi PPJB diubah menjadi sanksi administratif.
Hilangnya sanksi pidana dalam angka 3 ini menyebabkan Developer bertindak semakin sewenang-wenang kepada Pembeli. Pada saat ini, sebagian besar Pengembang mendirikan bangunan dengan dana dari pembeli/calon pembeli. Yaitu berupa uang yang disetorkan oleh pembeli, sehingga kemungkinan terjadinya gagal bangun cukup tinggi. Untuk mengindari hal tersebut, seharusnya Developer memiliki dana sendiri untuk membangun sarusun.
Oleh karenanya, pemerintah perlu menyusun aturan agar pengembang memiliki modal yang cukup untuk membangun sarusun dengan dananya sendiri. “Pelanggaran ini menjadi semakin masif dari tahun ke tahun, jumlahnya luar biasa,” jelas Putri.
Selanjutnya, Putri mempersilahkan bagi kawan-kawan media yang ingin hadir dalam audensi DPR nanti untuk menghubungi sekretariat. Silahkan laporkan nama dan no telp korban, kronologi singkat, jumlah kerugian, nama pengembang dan lokasi unit (rumah/rusun).
Ketua Umum HKHKI mengajak seluruh masyarakat untuk turut serta berpartisipasi dan melaporkan jika memiliki pengalaman, didalam keluarga atau teman, untuk melaporkan ke sekretariat HKHKI di email hkhki. indonesia@gmail.com (WhatsApp +62812-1282-0065).
Hal ini penting untuk menambahkan data kami yang akan kami paparkan di DPR RI nanti. HKHKI akan bekerjasama dengan organisasi lain untuk mendorong keseriusan pemerintah dalam benahi aturan, seperti organisasi masyarakat perkawinan campuran, serikat pekerja/ serikat buruh dan organisasi lainnya cetusnya.
[ad_2]