Hotline Redaksi: 0817-21-7070 (WA/Telegram)
Berita

Istana Merdeka, Proklamasi ke-80: Di Bawah Kibaran Merah Putih, Sejarah Menyatu

×

Istana Merdeka, Proklamasi ke-80: Di Bawah Kibaran Merah Putih, Sejarah Menyatu

Sebarkan artikel ini
Istana Merdeka, Proklamasi ke-80: Di Bawah Kibaran Merah Putih, Sejarah Menyatu

Istana Merdeka, Proklamasi ke-80: Di Bawah Kibaran Merah Putih, Sejarah Menyatu

Dari Monas hingga Istana Merdeka, bendera Merah Putih dikirab bagai sungai panjang yang tak pernah kering. Pasukan berkuda berderap, langkahnya berpadu dengan irama gamelan dan tabuhan rebana. Para penari berpakaian adat kerajaan Nusantara berjalan bersama, menghadirkan wajah-wajah leluhur yang seakan turun menyaksikan.

Hari itu, seni menjadi bahasa rakyat: tarian Bali berkelindan dengan jurus pencak silat, sementara di sudut lain, anak-anak menirukan gerakan pacu jalur dari tanah Riau—gerakan yang sederhana, namun penuh makna gotong-royong. Jagat maya pun ikut riuh, menamainya dengan sebutan aura farming yang viral.

Dan ketika langit di atas Jakarta bergemuruh, pesawat-pesawat tempur TNI melukis formasi di udara. Sorak masyarakat meledak. Bangsa ini berdiri bukan hanya dengan kata-kata, tetapi juga dengan nyali.

Presiden Turun ke Rakyat

Usai upacara, wajah khidmat berubah menjadi pesta. Lagu daerah Tabola Bale mengalun, dan ajaibnya, pasukan TNI dan Polri yang biasanya berdiri kaku, kini bergoyang kompak.

Presiden Prabowo, yang awalnya duduk di kursi kehormatan, berdiri, menuruni tangga mimbar, lalu melangkah ke lapangan. Di sana, ia bergabung bersama rakyat. Didampingi Sekretaris Kabinet Teddy Indra Wijaya, sang Presiden ikut berjoget—senyum lebar di wajahnya, tawa pecah di kerumunan.

Rakyat bersorak: seorang presiden menari di tengah mereka. Momen itu singkat, namun tak terlupakan, sebelum protokoler akhirnya meminta beliau kembali ke mimbar. Saat memasuki Istana, ia sempat menoleh, melambaikan tangan, seakan berkata: “Aku bagian dari kalian.”

Jejak Leluhur, Kehadiran Keluarga

Hari itu bukan hanya perayaan republik. Ia juga menjadi panggung sejarah keluarga. Dari barisan tamu undangan, keluarga besar Margono Djojohadikusumo hadir lengkap. Mereka duduk seperti akar yang meneguhkan batang: menyambungkan perjuangan seorang leluhur ke generasi yang kini memimpin bangsa.

Namun sore harinya, saat penurunan bendera digelar, di antara wajah-wajah itu, ada satu sosok yang paling menyita hati: Sukartini Silitonga-Djojohadikusumo, yang akrab disapa Tante Tien. Usianya telah mencapai 106 tahun, namun tubuhnya masih setia hadir di panggung republik.

Dengan suara lirih, ia berkata:”Selamat bekerja untuk keponakan saya, Prabowo Subianto Presiden Indonesia yang kedelapan.”

Di sampingnya duduk putra tercinta, Mora Dharma Silitonga, sepupu Presiden. Sahabat lamanya, Ismeth Wibowo dan Onny Satrio, menundukkan kepala, melantunkan doa:
“Semoga keluarga besar Bapak Margono Djojohadikusumo senantiasa dalam lindungan Allah.”

Tante Tien diberi tempat terhormat di belakang mimbar Presiden. Tangannya sempat berjabat langsung dengan sang Kepala Negara. Dalam genggaman itu, seolah terkandung 80 tahun usia republik—perjuangan, pengorbanan, sekaligus harapan.

Senja merambat di atas atap Istana. Upacara ditutup dengan senyum Prabowo, lebar, tulus, penuh arti. Ia mengucap kata sederhana namun menggetarkan:

“Hari ini, kita tidak hanya memperingati usia kemerdekaan. Kita merayakan semangat yang membuat Indonesia terus hidup.”

Dan rakyat pun pulang dengan dada lapang. Di bawah cahaya lampu karnaval di Thamrin-Sudirman, mereka menari, bernyanyi, dan percaya: republik ini akan terus melangkah, sebab semangat kemerdekaan tak pernah padam.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *