[ad_1]
Berita-berita soal perubahan iklim, mulai dari banjir dan badai, kenaikan permukaan laut, peningkatan suhu dan lainnya, yang membuat masyarakat terdampak, atau bahkan menjadi korban langsung, selalu menarik perhatian masyarakat. Tetapi informasi soal bagaimana mencegah atau mengantisipasi bencana itu dan dampaknya, masih belum menarik perhatian mereka. Hal ini disampaikan oleh Rini Yustiningsih, pengelola Solo Pos di Jawa Tengah, salah seorang peserta konferensi afiliasi Voice of America VOA Siaran Indonesia bertema “Covering Climate and Beyond: Making the Climate Connection,” yang dilangsungkan di Serpong, Senin (29/5).
“Media menangkap isu perubahan iklim jika ada momentum. Misalnya saat Jakarta banjir, Semarang banjir, ini menjadi berita gede dengan narasi Jakarta dan Semarang sekian tahun lagi akan tenggelam. Jadi pemberitaan perubahan iklim itu pada dampak. Tidak pada upaya mitigasi atau antisipasi. Awareness (kesadaran.red) publik masih belun optimal. Atau pemberitaan hasil kajian ilmiah potensi gempa megathrust, Jakarta akan tenggelam, Semarang juga, warga hanya sadar o iya ya, setelah itu nggak ada follow up. Di media pun mitigasi dampak bencana perubahan iklim sepetti apa, solusinya apa, media tidak punya ruang yang banyak untuk itu,” ujar Rini.
Kepala VOA Siaran Indonesia, Ade Astuti, mengatakan isu perubahan iklim sudah sangat genting karena memiliki berbagai dampak langsung terhadap masyarakat.
“Dilihat dari liputan media di Indonesia, masih banyak peluang untuk media di Indonesia memberikan informasi mengenai isu perubahan iklim, yang tidak hanya membahas mengenai bencana atau dari sisi ilmiahnya saja. Tapi bisa memberikan liputan yang lebih komprehensif karena isu iklim ini multi aspek tidak hanya sisi lingkungan hidup saja tapi juga ekonomi, politik, pertahanan keamanan, ketahanan pangan, hingga kesetaraan gender,” kata Ade.
Ditegaskannya, analisa berita yang substantif dan informasi yang efektif bagi audiens masing-masing, menjadi kunci pengemasan berita di media.
Wartawan senior VOA untuk bidang sains, Steve Baragona, yang datang langsung dari Washington DC untuk menjadi pembicara acara ini mengatakan media berperan penting dalam mengawal dampak perubahan iklim. “Khususnya media di Indonesia,” tegas Steve.
“Jadi kita sebagai reporter harus jeli melihat potensi dampak perubahan iklim. Lihat gejala alam yang sedang terjadi dan yang akan terjadi dalam belasan hingga puluhan tahun. Saat ini misalnya kita sudah bisa mulai dengan merasakan suhu panas ekstrem, yang sudah diprediksi jauh sebelumnya. Kini suhu panas ekstrem menelan korban jiwa belasan hingga puluhan nyawa. Itu berita, Kita di media juga harus bersiap mengajak masyarakat melakukan antisipasi dan mempengaruhi berbuat sesuatu,” jelasnya.
Ade Astuti mengakui cara masyarakat mendapatkan informasi tentang isu perubahan iklim berkorelasi erat dengan cara media menyajikan berita. Model penyampaian informasi secara bercerita menjadi salah satu alternatif mengemas berita ketika ingin menjangkau kalangan muda.
“Dari acara ini kita pelajari, juga dari satu platform ke platform media lain, mungkin ada perbedaan bagaimana kita bisa menyajikan storytelling, gaya berkisah, yang menarik tetapi juga pesannya bisa diterima. Kita mendatangkan jurnalis VOA yang sudah banyak berpengalaman meliput isu perubahan iklim. Kita bisa melihat contoh karya jurnalistiknya dan liputan itu bisa dilakukan”, pungkas Ade.
Namun dalam diskusi Steve menggarisbawahi “jangan sampai cara mengemas berita mendikte informasi yang ingin disampaikan karena setiap isu memiliki format penyajian yang berbeda-beda. Tidak semua isu dapat disampaikan lewat media sosial, tetapi tidak semua isu bisa dikemas di media konvensional seperti surat kabar, radio atau televisi.” [ys/em]
[ad_2]