[ad_1]
Suara-Pembaruan.com – Hinggar bingar KPK terus berlanjut hingga sekarang, nada sumbang terus bergema tentang negatif Penyidk KPK yang di komandoi oleh Novel Bawesdan. Dan nama 75 orang yang di tengarai tidak lolos uji kepatutan tentang moral sudah ramai di media.
Bukan hanya faktor tidak lolosnya 75 orang penyidik KPK, tapi mereka masuk dalam golongan orang orang yang dicurigai sebagai kelompok kiri yang berseberangan dengan Pemerintah. Miris sih dengarnya, walau mereka sebagai orang yang selama ini membuat stempel kadrun tidak pernah teruji secara data. Narasinya sangat pendek, mereka ada di kelompok kiri dan bukan nasionalis.
Dalam banyak kajian, terutama di medan kerja, mereka justru sangat hebat dalam menggulung para Koruptor. Ada pepatah, kalau NB penyisir perkara hanya hitungan hari sang Koruptor akan berbaju orange.
Dalam banyak tulisan yang saya buat dan mendapat apresiasi dari media Tribune, KPK adalah lembaga hukum penegak hukum yang sangat mendapat apresiasi dari masyarakat, sementara lembaga hukum lain masih bicara pembenahan administrasi, KPK sudah jauh di depan.
KPK sudah membuat orang jera akan korupsi, di tempat lain justru masih bicara berapa harga sebuah keadilan.
Bicara KPK hari ini, siapa yang ditangkap ditempat lain justru bertanya siapa besok yang membawa upeti.
Keadaannya berbanding terbalik dan hal itu yang membuat nilai positif buat KPK di mata masyarakat. Sehingga dengan begitu langkah-langkah memberangus KPK yang dimulai dari penyidik KPK sebanyak 75 orang harus di waspadai sebagai bukan gerakan sembarangan, tapi ke arah sistematis KPK harus berhenti sebagai lembaga antirusuah. KPK pelan tapi pasti harus tidak ada lagi di bumi pertiwi.
Barangkali bagi saya yang selalu memperhatikan gerak kerja KPK, langkahnya tidak ada yang salah. Namun menjadi lucu manakala langkah tegas KPK yang selalu mengaum dalam penegakan Korupsi dikaitkan dengan jenggot dan celana cingkrang seorang Penyidik KPK lalu memeteraikan mereka dengan embel embel Kadrun.
Saya setuju dan masyarakat setuju, NB yang menjadi ikon kpk tidak boleh mendominasi KPK, tapi logikanya kalau kita mengambil patron seperti itu, apakah ada orang sekelas NB.
Harusnya untuk menuju kesana, komisioner KPK, masyarakat pemerhati KPK terus mendorong untuk mencari bibit orang sekelas NB, baru kemudian dengan banyaknya Penyidik handal kita boleh menghardik NB dari tubuh KPK kalau memang kita punya data bahwa NB adalah kadrun.
Sebab yang perlu kita sadari dalam kaitan ini ( Penegakan Hukum di KPK), yang tidak suka KPK bukan saya, masyarakat Indonesia akan tetapi adalah Pejabat berdasi, Pengusaha hitam dll. Karena bisa saja skenario ini gongnya ada disana dan orang-orang yang membenci KPK karena NB berjenggot adalah imbas dari rangkaian skenario panjang untuk memberangus KPK secara systimatis.
Apabila skenario ini tercapai maka akan sangat tragis KPK mati suri di tangan Pemerintah Jokowi.
Oleh karena itu instink Presiden sangat berilian dalam menyikapi gerak langkah KPK ke depan. Presiden sebagaimana pernyataan sikapnya untuk tidak menyingkirkan Pegawal Penyidik KPK dalam bentuk pemberhentian, akan tetapi lebih mengedepankan sisi Kemanusian, yaitu pembinaan.
Ini langkah yang humanis dan harmonis. Karena dengan begitu tidak ada peran yang paling besar selain mengakomodir penyidik KPK yang tidak lolos test nilai-nilai kebangsaan dengan cara memberi prioritas pembinaan secara menyeluruh.
Secara logika ajakan Presiden itu tepat, mengingat mereka bukan calon pegawai negeri sipil yang baru ikut ujian, tapi mereka adalah orang orang yang sudah mapan di KPK. Sehingga sangat tidak tepat cuma engga hafal Pancasila dan tidak dapat menyanyikan lagu Garuda Pancasila terus mereka engga boleh lagi berada di KPK. Dan kalau ukurannya itu, coba tanya sama diri kita, bagaimana dibanyak kegiatan banyak tokoh negara yang tiba tiba harus melepaskan predikat kenegarawanannya karena hanya tidak hafal Pancasila, tentu tidak. Lupa, grogi serta aspek lainnya harus tidak boleh lepas dari unsur manusia.
Ditulis oleh.
Oleh C Suhadi SH MH.
Ketum Ninja (Negeriku Indonesia Jaya)
[ad_2]