[ad_1]
“Saya yakin setiap orang yang pernah di-doxing akan sepakat, menyampaikan informasi tentang lokasi keberadaan seseorang secara real time tidak layak… Di masa depan tidak akan ada perlakuan berbeda terhadap wartawan, citizen-journalist, atau orang biasa. Semua akan diperlakukan sama. Mereka tidak special, mereka wartawan karena profesinya memang wartawan. Mereka tetap warga negara. Anda melakukan doxing, akun Anda ditutup, ditangguhkan. Titik.”
Demikian petikan pernyataan Elon Musk dalam diskusi di Spaces Twitter Jumat malam (16/12) sehari setelah ia menutup akun sejumlah wartawan yang ditengarai menyampaikan informasi keberadaan pesawat jet pribadinya secara real time.
Musk berkilah informasi itu membuat salah seorang anaknya mengalami pelecehan. Ia berang betul dan semua akun wartawan yang menyampaikan informasi keberadaan pesawatnya, atau sekadar link informasi yang bersifat publik, atau pernah mengkritisi kebijakan terbaru Twitter ditutupnya. Tak terkecuali akun Twitter wartawan Washington Post, New York Times, CNN, dan Voice of America.
Diskusi di Spaces itu memanas ketika sejumlah wartawan membantah tuduhan Musk dengan mengatakan mereka hanya memasang link yang ada di situs publik. Musk akhirnya meninggalkan Spaces dan bahkan menutup Spaces selama beberapa jam, sebelum akhirnya membukanya kembali hari Sabtu (17/12).
Langkah miliarder itu langsung mendapat kecaman sengit. Juru bicara PBB Stephane Dujarric hari Jumat (16/12) mengatakan, “Langkah menutup akun wartawan itu menciptakan preseden berbahaya ketika wartawan di seluruh belahan dunia sedang menghadapi penyensoran, ancaman fisik dan bahkan lebih buruk lagi.” Ia menggarisbawahi bahwa PBB “sangat terusik dengan penangguhan secara sepihak itu.”
Hal senada disampaikan Komisi Uni Eropa, Committee to Protect Journalists CPJ, Human Rights Watch dan Society of Professional Journalists National.
Pengamat Kritisi Langkah Elon Musk
Peneliti senior Human Rights Watch di Indonesia Andreas Harsono menilai tindakan Musk tidak saja mengganggu kebebasan pers, tetapi juga melanggar aturan hukum.
“Banyak sekali hukum dan perjanjian internasional yang dilanggar Musk dengan tindakannya ini, terutama soal jaminan pada wartawan untuk melakukan kegiatan jurnalistik secara independen tanpa khawatir akan terjadinya pembalasan. Tindakan Musk ini khan ‘membalas’ apa yang dilakukan wartawan yang mengkritisi kebijakan-kebijakan Twitter, meliput sesuai standar, tidak berlebihan, tidak membahayakan, seperti yang disampaikannya. Saya kira wartawan tidak melakukan doxing,” ujarnya.
Sementara Ratna Ariyanti, kandidat PhD di E.W. Scripps School of Journalism, Universitas Ohio melihat dalam skala yang lebih luas, bahwa tindakan Elon Musk menutup akun Twitter wartawan ini sebagai tindakan membungkam kebebasan berpendapat yang dijamin dalam Amandemen Pertama Konstitusi Amerika.
“Kita kembalikan lagi ke kebebasan berpendapat yang dijamin oleh Amandemen Pertama bahwa setiap orang berhak menyampaikan pendapat. Tetapi tetap harus disadari bahwa yang dijamin dalam amandemen itu adalah kebebasan berpendapat dalam kaitan dengan pemerintah. Jadi bukan dengan perusahaan privat seperti perusahaan media sosial Twitter yang memiliki aturan tersendiri. Ini memang mengkhawatirkan karena pertumbuhan perusahaan media sosial sudah menjadi platform yang dominan untuk menyebarluaskan informasi, pertukaran ide dan memberi akses dalam kaitan dengan demokrasi, untuk saling tukar pendapat dan lain-lain,” katanya.
Ratna menambahkan bahwa sebenarnya telah banyak inisiatif dilakukan oleh aktivis HAM dan pemerintah dalam kaitannya dengan menjamurnya perusahaan media sosial. Di Eropa, ujarnya, ada UU Layanan Digital dan UU Kebebasan Media yang mengatur hal ini. Sementara di Amerika ada beberapa negara bagian yang telah menandatangani aturan hukum sejenis untuk “memaksa” perusahaan media sosial membuka kebijakan mereka terkait kebebasan menyampaikan pendapat, disinformasi, aturan terhadap mereka yang menyebarluaskan hate speech, pelecehan dan ekstremisme. California misalnya, pada September lalu memberlakukan Social Media Accountability and Transparency Act.
Media konvensional seperti surat kabar, radio dan televisi – bersama para aktivis – secara terus menerus juga mengkampanyekan literasi media kepada publik.
Andreas Harsono mengatakan meskipun Elon Musk sudah mengaktifkan kembali sebagian akun Twitter wartawan, tetap harus ada langkah hukum terhadapnya.
“Saya kira Elon tahu persis keputusannya menutup akun Twitter wartawan ini tidak saja akan berdampak pada Twitter, tetapi mungkin juga terhadap Tesla dan SpaceX. Itu sebabnya ia mengaktifkan kembali akun-akun wartawan itu. Tetapi walaupun sebagian akun itu sudah dipulihkan, tidak berarti tindakan hukum terhadapnya akan berhenti. Saya kira ini kekeliruan besar yang dilakukan Elon Musk dan dia harus bertanggungjawab atas keputusannya atau keputusan Twitter menutup akun wartawan-wartawan itu. Karena jika tidak ada langkah hukum, ini akan menjadi preseden bagi yang lain,” imbuh Andreas.
Dunia Prihatin
Lewat akun Twitter-nya, Wakil Presiden Komisi Uni Eropa Untuk Urusan Transparansi dan Nilai-Nilai Věra Jourová mencuit penangguhan itu mencemaskan dan menggarisbawahi bahwa “UU Layanan Digital Uni Eropa mensyaratkan untuk menghormati hak-hak fundamental dan kebebasan media. Hal ini akan ditegakkan oleh UU Kebebasan Media kami.” Jourová mengatakan Musk seharusnya menyadari hal itu. “Ada benang merah,” ujarnya, “dan juga sanksi.”
The Committee to Protect Journalists (CPJ) juga menyampaikan kegelisahannya, dengan mengatakan jika wartawan diskors sebagai pembalasan atas pekerjaan mereka, “ini akan menjadi pelanggaran serius terhadap hak-hak wartawan untuk melaporkan berita tanpa takut akan terjadinya pembalasan.”
Direktur Urusan Teknologi dan HAM di Human Rights Watch Frederike Kaltheuner hari Jumat (16/12) mengatakan “sulit berkilah bahwa penghapusan semata-mata karena privasi atau keamanan saja.”
Sementara Presiden Society of Professional Journalists National Claire Regan menunjukkan keprihatinannya dengan mengatakan langkah itu “bertentangan dengan janji Musk untuk menjunjung tinggi kebebasan berbicara di platformnya. Kami akan terus memonitor situasi ini dan memperjuangkan jurnalisme dan kebebasan berbicara di seluruh platform.”
Voice of America (VOA) menanggapi penangguhan akun Twitter Steve Herman dengan mengatakan, “Herman adalah wartawan berpengalaman yang menjunjung tinggi standar jurnalistik dan menggunakan platform media sosial sebagai alat mengumpulkan berita dan jejaring. Herman belum menerima informasi dari Twitter mengapa akunnya ditangguhkan. Sebagai Kepala Koresponden Nasional, Herman meliput berita nasional dan internasional, dan penangguhan ini menghambat kapabilitasnya untuk menjalankan tugasnya sebagai wartawan.” [em/lt]
[ad_2]