[ad_1]
Suara Muhammad Hassan yang terdengar turun naik mencengkeram perhatian anak-anak. Ia sedang mendongeng tentang kodok yang enggan memanggil hujan. Kodok tidak mau melakukannya karena takut akan banjir, mengingat sungai di kawasan tempat tinggalnya penuh sampah. Namun, para penghuni lain sungai itu mendesak si kodok untuk melakukannya karena kemarau yang berkepanjangan.
Apa yang ditampilkan pria yang akrab disapa Den Hasan ini adalah Wayang Kali – pertunjukan dongeng ala pementasan wayang modern. Anak-anak yang menjadi penontonnya diajak menelusuri pembicaraan binatang-binatang yang ada di sungai dan sekitarnya, seperti burung, ikan, kura-kura dan kodok — tokoh-tokoh yang jarang ditemukan pada pertunjukan wayang tradisional.
Bahasanya sederhana dan mudah dimengerti anak. Gaya bertuturnya yang enerjik dan animatif tak jarang membuat anak-anak terpingkal-pingkal. Pertunjukan tari yang kadang dihadirkan menyertai dongeng membuat anak-anak tenggelam dalam dongeng.
Den Hasan adalah dalang dan pendongeng dari Desa Kecapi, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah. Wayang Kali adalah karya Den Hasan dan teman-temannya di Rumah Belajar Ilalang, sebuah komunitas yang peduli pada pendidikan anak.
“Saya pada prinsipnya sudah sering mendongeng sejak 2014 namun saya menggunakan wayang sebagai media dongeng baru pada 2016,” katanya.
Rumah Belajar Ilalang sendiri awalnya dikenal sebagai taman bacaan masyarakat yang bertujuan mengembangkan minat baca di kalangan anak-anak. Namun, seiring perjalanan waktu, komunitas ini melebarkan sayapnya pada kegiatan-kegiatan sosial dan budaya, termasuk lingkungan. Den Hasan dan teman-temannya terutama prihatin terhadap berbagai aktivitas manusia yang tidak bertanggung jawab yang membahayakan kondisi sungai mulai dari hulu hingga hilir.
“Penebangan pohon, penambangan batu berlebihan, apalagi dimasuki oleh limbah B3, sampah plastik rumah tangga. Itu semua semakin menjauhkan manusia dari sungai,” ujar Hassan.
Menurut Den Hasan, yang tercatat sebagai salah satu pendiri Rumah Belajar Ilalang, ide Wayang Kali berakar dari pengalaman hidupnya.
Di desanya, kehidupan memang berpusat di sekitar sungai. Terletak di kaki Gunung Muria, Kecapi dikelilingi oleh sungai-sungai yang mengalir dari mata air tawar di gunung berapi yang tidak aktif itu. Salah satunya adalah Kali Gayam yang merupakan pusat kegiatan desa, termasuk mandi dan mencuci.
Di masa kecilnya, Den Hasan harus menempuh lima kilometer menyusuri sungai tersebut untuk mencapai sekolah dasar di desa lain. Salah satu kegiatan yang disukainya adalah berenang dan memancing dalam perjalanan pulang. Dengan umpan seadanya, ia sering mendapat banyak ikan.
Namun, itu cerita masa lalu. Apa yang dialaminya kini hanya fantasi anak-anak zaman sekarang.
Selama bertahun-tahun, banyak sungai di Jepara yang kini sudah tercemar, sehingga mengurangi populasi satwa liar yang hidup di dalam dan sekitarnya.
Industri rumah tangga garmen berkembang pesat di Jepara dalam 10 tahun terakhir. Banyak dari pelaku industri itu membuang air limbah mereka langsung ke sungai.
Den Hasan mencontohkan apa yang terjadi di Troso, tetangga sebelah Kecapi. Ribuan keluarga di desa itu terlibat dalam produksi Tenun Troso, yang telah diekspor ke berbagai negara di dunia. Air limbah mereka, yang kaya pewarna kimia, mencemari sungai desa, sumur, dan bahkan sawah. Hasan dan kawan-kawannya yang peduli terhadap kelestarian lingkungan telah melakukan protes langsung ke warga dan aparat desa setempat tentang situasi ini namun tidak membuahkan hasil.
Meskipun tidak ada industri garmen di desa Kecapi, menurut Den Hasan, sungai-sungainya juga tercemar. Penduduk masih suka membuang sampah — termasuk bungkus plastik sampo dan deterjen – ke sungai.
Den Hasan dan teman-temannya merasa, pendidikan lingkungan pada anak-anak merupakan salah satu cara membangkitkan kesadaran akan pentingnya menjaga lingkungan di kalangan masyarakat yang lebih luas.
Setelah anak-anak keranjingan menonton Wayang Kali, menurut Den Hasan, anak-anak di Desa Kecapi mengimbau orang tua mereka untuk berhenti membuang sampah sembarangan ke sungai. Remaja di desa itu kemudian juga bergotong royong membuat tong sampah dan menempatkannya di dekat tempat orang biasa mandi dan mencuci pakaian. Warga pun sepakat bergantian mengosongkan dan membersihkan tong sampah jika sudah penuh.
Ayah dua anak itu mengaku tidak punya latar belakang pendidikan lingkungan. Namun lulusan jurusan komunikasi Universitas Islam Nahdlatul Ulama, Jepara, ini sangat suka mendongeng dan meyakini mendongeng adalah salah satu cara mendidik yang efektif.
Selain melakukan advokasi lingkungan sungai lewat pertunjukan Wayang Kali, Den Hasan dan teman-temannya di Rumah Belajar Ilalang juga mendorong masyarakat untuk terjun langsung memperbaiki kondisi sungai-sungai di Jepara.
“Saya dan teman-teman melakukan penanaman pohon di bantaran sungai dan membersihkan sungai-sungai, semacam itu,” kata Hassan.
Pementasan Wayang Kali tidak hanya digelar Den Hasan di Jepara. Ia sendiri berkeling kota di Indonesia, termasuk Jakarta. Ia berkunjung ke sekolah-sekolah, komunitas baca anak-anak, dan bahkan pesantren.
Pengacara sekaligus penulis Kanti W. Janis, yang menyaksikan pertunjukan Wayang Kali yang diselenggarakan Perpustakaan Baca Di Tebet, memuji upaya Den Hasan. Sebagai orang yang peduli lingkungan, Kanti mengatakan, ia melihat ada pesan lingkungan yang kuat di balik penampilan artistik Den Hasan.
“Wayang Kali ini memiliki beberapa poin penting. Pertama, melestarikan tradisi gaya bercerita Indonesia, kemudian menyampaikan pesan mengenai pentingnya menjaga lingkungan, dan ketiga, ini menunjukkan anak muda Indonesia tidak melupakan budayanya. Itu harus didukung,” tutur Kanti.
Kanti sendiri mengatakan, alasan itu pula yang mendorongnya untuk mengundang Den Hasan untuk tampil di peringatan tahun pertama perpustakaan yang didirikannya, Baca di Tebet. Ia berharap dalang muda itu menginspirasi banyak orang muda lainnya.
Upaya Kanti ini setidaknya sudah membuahkan hasil. Kitama — salah satu cucu psikolog anak terkenal Seto Mulyadi – yang suka mendalang terpesona oleh penampilan Den Hasan. Ia kemudian mengajak Den Hasan berkolaborasi dan sempat tampil duet di salah satu acara di Universitas Paramadina, Jakarta.
Den Hasan sendiri pernah mendapatkan sertifikat khusus dari Museum Rekor Dunia Indonesia (MURI) pada 2017 setelah ia sempat tampil di 468 lokasi di 195 desa sekitar Jepara selama 21 hari dalam rangka HUT Jepara ke-486.
Kegiatan Rumah Belajar Ilalang tidak hanya sekadar meningkatkan kemampuan literasi anak dan menumbuhkan kesadaran lingkungan, tapi juga mengembangkan bakat seni mereka.
Di komunitas itu, anak-anak juga diajarkan membatik. Namun, berbeda dengan industri garmen pada umumnya, pewarna yang digunakan dalam kegiatan ini berasal dari bahan alami sehingga bersifat ramah lingkungan
Rumah Belajar Ilalang melakukan itu dengan menggandeng Nikmatul Hanik, pemilik UKM Tampi yang berspesialisi pada penggunaan warna alami, yang bahan-bahannya sebetulnya tersedia banyak namun sering disia-siakan,
“Kita memanfaatkan kayu mahoni untuk mendapatkan warna merah. Kita menggunakan daun ketapang untuk mendapatkan warna kuning, dan juga warna kehijauan. Dan juga daun Indigofera yang bisa kita olah menjadi warna biru,” kata Nikmatul.
Nikmatul mengatakan, pewarna alami ini tidak akan merusak lingkungan meski dibuang langsung ke sungai.
“Tidak akan terpengaruh. Meski diminum hewan, seperti bebek atau ayam, tidak akan menimbulkan dampak negatif pada hewan tersebut,” katanya.
Atas saran Kanti, dalam jangka panjang, Den Hasan berencana untuk menyusun cerita-cerita yang ditulisnya untuk Wayang Kali menjadi sebuah buku agar dapat menjangkau lebih banyak orang.
“Karena kalau ditulis, akan lebih banyak orang yang bisa membaca, dan menyebarnya lebih jauh,” ujar Kanti.
Den Hasan sendiri berharap bukunya kelak bisa seperti kumpulan cerita Mahabarata dan Ramayana. [ab/uh]
[ad_2]