[ad_1]
Tidak pernah mudah bagi Ronny Hisage, jurnalis Radio Republik Indonesia (RRI) yang berbasis di Wamena, Papua Pegunungan, untuk menyusun laporan terkait konflik bersenjata. Dalam banyak peristiwa, pernyataan aparat keamanan adalah satu-satunya sumberi informasi yang termuat dalam laporan-laporan Ronny.
“Konflik ini kan lebih sering terjadi di beberapa kabupaten, terutama di Nduga, Lanny Jaya. Memang untuk kami dapatkan informasi riil di lapangan itu, kadang kami kesulitan. Biasanya itu, lebih banyak informasinya satu sumber, dari Polda dan Polres. Itu saja,” kata Ronny kepada VOA.
Wamena adalah kota yang relatif dekat dengan kawasan konflik yang terpusat di Papua Pegunungan. Namun, keterbatasan infrastruktur membuat jurnalis Papua hampir tidak mungkin meliput langsung ke wilayah konflik. Kondisi ini menimbulkan pertanyaan, terkait sejauh mana kredibilitas laporan-laporan jurnalistik terkait konflik di Papua.
“Dan kendala lainnya yang paling sering kami alami itu jaringan internet yang terkendala. Peristiwanya terjadi kemarin, tapi besok atau besoknya lagi, laporan itu baru masuk karena faktor sulitnya komunikasi,” tambah Ronny.
Kondisi ini diperparah oleh faktor keterbukaan informasi. Karena menjadi satu-satunya sumber informasi awal sebuah peristiwa, aparat keamanan memegang peranan besar. Konfirmasi peristiwa bisa dilakukan kepada aparat pemerintahan setempat. Namun, upaya ini juga tidak mudah, kata Ronny.
“Ketika ada, misalnya insiden di suatu desa, cukup sulit untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi,” kata Ronny lagi.
Ronny memberi contoh, dalam sebuah peristiwa terakhir, satu keluarga yang mengungsi dari Nduga mengalami insiden di wilayah Lanny Jaya. Salah satu anggota keluarga pengungsi itu dikabarkan tertembak di bagian punggung.
Warga Lanny Jaya mengabarkan peristiwa itu, tetapi sebagai jurnalis Ronny berkewajiban memperoleh konfirmasi peristiwa dari aparat keamanan. Sampai saat ini, kata dia, konfirmasi yang diharapkan belum juga datang. Sebagai sebuah laporan jurnalistik, kabar korban penembakan itu tidak berimbang karena hanya berasal dari cerita warga.
Narasi Tunggal Aparat Keamanan
Kondisi geografis Papua membuat jurnalis membutuhkan biaya besar untuk memenuhi tuntutan keberimbangan dan akurasi dalam laporan terkait konflik. Lucky Ireeuw, Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Papua mengakui itu.
“Kalau kita ingin liputan berita langsung, itu menyebabkan mahal di ongkos. Karena akses-akses geografis, transportasi juga butuh biaya untuk ke suatu wilayah, terutama wilayah-wilayah konflik seperti Nduga, Intan Jaya, Lanny Jaya, misalnya atau Mamberamo. Kita mesti pakai pesawat ke wilayah-wilayah tersebut,” paparnya.
Jika tidak langsung datang ke wilayah konflik, jurnalis Papua mengandalkan sumber informasi dari narasumber lokal di masing-masing wilayah. Namun, verifikasi harus dilakukan dan aparat keamanan menjadi kunci dari upaya ini.
“Kalau ada satu peristiwa, penembakan misalnya, terjadi di satu wilayah konflik, kita tidak bisa langsung mendapatkan informasi yang akurat. Untuk memverifikasi informasi seperti itu, pertama-tama yang biasa merilis itu dari aparat keamanan. Biasanya dari kepolisian,” kata Lucky.
Pengecekan ke pemerintah daerah bisa dilakukan, tetapi relatif sulit. Sumber yang cukup bisa diandalkan, menurut Lucky, adalah pihak gereja.
“Cuma biasanya kalau wilayah konflik itu, narasumber kadang-kadang tidak bisa terbuka untuk bicara. Faktor-faktor ancaman terhadap dirinya ketika dia mempublikasikan informasi itu juga pernah terjadi,” ujarnya.
Pihak gereja, disebut Lucky, sebenarnya cukup berani mengambil resiko ketika menjadi sumber informasi terkait suatu peristiwa yang melibatkan aparat keamanan.
Lucky berpendapat apa yang terjadi dalam pemberitaan kasus-kasus terkait konflik bersenjata adalah sebagai narasi tunggal dari aparat keamanan. Dia menyadari, kondisi itu adalah kekurangan dalam kerja jurnalistik. Namun, jurnalis di Papua cenderung berupaya menerima kondisi tersebut dengan terus melakukan verifikasi meskipun memakan waktu. Tidak mengherankan, laporan tersaji lambat di Papua karena menurut pengalaman Lucky, verifikasi bisa membutuhkan waktu hingga satu pekan.
Meski menjadi penyaji narasi tunggal, keterangan aparat keamanan dalam kasus-kasus konflik bersenjata tetap diposisikan sebagai salah satu sumber informasi. Jurnalis di Papua, kata Lucky, tidak dapat percaya sepenuhnya terhadap narasi ini, dan harus melakukan verifikasi lebih jauh kepada sumber lain.
Produk Jurnalisme Tandingan
Guru besar kajian jurnalistik, Universitas Gadjah Mada, Profesor Nadhya Abrar menyebut setidaknya ada dua persoalan mendasar di Papua. Pertama adalah karena orang-orang yang mengetahui sebuah peristiwa atau biasa disebut sebagai narasumber cenderung tidak mau mengatakan apa yang diketahuinya
“Karena ada ketakutan dalam diri mereka. Nah, ketakutan itu sebenarnya bisa jadi berlebihan, tapi itu psikologis. Kalau orang ketakutan psikologis itu kan enggak ada obatnya. Ya sudah, takut saja begitu. Jadi akan sulit untuk memaksa mereka,” kata Abrar kepada VOA.
Persoalan lain adalah adanya apa yang disebut Abrar sebagai “semacam jurnalisme tandingan” yang yang diciptakan oleh rezim dalam hal ini pemerintah Indonesia.
“Jurnalisme tandingan itu seolah-olah jurnalisme juga, tapi ya hoax-lah. Seperti itu,” kata dia.
Karena Papua memiliki persoalan dengan narasumber yang kredibel, jurnalis di kawasan ini membutuhkan upaya lebih untuk mengumpulkan informasi. Namun, harus diakui, upaya ini juga tidak mudah. Salah satunya, seperti dipaparkan dua jurnalis Papua di atas, adalah karena kendala geografis yang berdampak pada pembiayaan peliputan.
Abrar memiliki pengalaman sendiri ketika meneliti tentang kinerja jurnalistik di Papua tentang bagaimana rasa saling percaya itu tidak terbangun. Dalam satu kesempatan, dia ingin menjelajah satu kawasan, tetapi diperingatkan oleh dua aparat kepolisian dari satuan Brimob.
Pada waktu yang berbeda, bupati di salah satu wilayah di Papua yang menemuinya berpesan, agar Abrar tidak bepergian sendirian. Kondisi di dua wilayah itu menunjukkan tidak adanya rasa saling percaya terkait keamanan. Kerja jurnalis akan semakin berat dalam situasi semacam ini.
“Jadi enggak tahu saya, siapa yang bisa dipercaya atau bagaimana cara melindungi orang yang mau mencari berita seperti itu, dan mau membagikan berita itu, informasi itu dengan khalayak,” tegasnya.
Sebagai guru besar jurnalistik, Abrar mengaku paham bagaimana kerja jurnalisme secara konseptual dan ideal. Namun, untuk kasus Papua, dia mengaku tidak memahami apa yang bisa dilakukan untuk memperbaiki kondisi. Namun, dia tetap yakin ada jalan yang bisa ditempuh dalam upaya menghadirkan kerja jurnalistik yang kredibel di Papua.
Abrar bahkan meminta masyarakat di luar Papua untuk tidak menerima begitu saja laporan-laporan berita yang keluar di media terkait Papua. Ada terlalu banyak pihak yang “bermain” di Papua yang melakukan berbagai upaya untuk memastikan bahwa pemberitaan terkait Papua sesuai dengan kepentingan mereka.
“Kalau kita percaya begitu saja, ya repot. Jadi satu-satunya yang menurut saya mungkin adalah, kalau jurnalisnya adalah orang Papua, narasumbernya orang-orang dari gereja. Karena ini orang-orang yang tidak punya conflict of interest, kalaupun punya, itu sedikit. Kalau pejabat, conflict of interest-nya itu sudah luar biasa banyak,” tegas Abrar.
Dalam penelitiannya di Papua yang dipublikasikan pada 2020, Abrar melakukan serangkaian wawancara terhadap jurnalis. Dia menyimpulkan fokus soal HAM pers Papua telah meredup karena keterbatasan sumber informasi. Puluhan tahun di bawah tekanan pemerintah, kata Abrar, dalam pemberitaan soal HAM, jurnalis Papua menjadikan aparat keamanan dan pejabat publik sebagai sumber informasi utama.
Abrar menyimpulkan dengan keterbatasan informasi yang akurat, media di Papua tidak dapat memproduksi berita dengan kualitas terbaik. Dia menyebut, praktik ini sebagai “seolah-olah jurnalisme.”
Kehadiran Media Asing
Belum setahun memegang jabatan presiden, Joko Widodo mengembuskan angin segar bagi jusnalisme Papua. Di Merauke, dalam sebuah kunjungan resmi pada 10 Mei 2015, Jokowi mengumumkan bahwa wartawan asing bebas melakukan tugas jurnalistik di seluruh wilayah Papua.
“Mulai hari ini, Minggu (10/5), saya membebaskan wartawan asing yang ingin ke Papua seperti halnya ke daerah lain,” kata Presiden Jokowi dikutip dari laman Setkab.
Jokowi juga mengajak semua pihak berpikir positif dan saling percaya terkait kehadiran wartawan asing di Papua.
Jurnalis lokal juga menyambut baik kehadiran jurnalis asing, jika memang bisa.
“Memang kita ada keinginan supaya jurnalis asing bisa masuk. Kita perjuangan ini cukup lama, meski presiden sendiri sudah menjanjikan,” kata Lucky Ireeuw, Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Papua.
Sayangnya, janji Jokowi tak pernah menemukan bukti. Klaim bebas datang itu disertai dengan proses rumit di imigrasi. Visa jurnalis sangat sulit keluar, dan pengusiran kerap dilakukan oleh mereka yang meliput tanpa jenis visa ini.
Dalam catatan AJI misalnya, enam jurnalis Kyodo News, Jepang ditangkap di Wamena, Jayawijaya, pada 10 Mei 2017 lalu, ketika membuat video dokumenter Suku Mamuna dan Suku Korowai. Mereka menjalani pemeriksaan dan kemudian dibebaskan, serta diminta keluar dari Indonesia sehari sesudahnya.
AJI mencatat sejumlah jurnalis asing yang mengeluhkan proses visa jurnalis yang sangat sulit dan memakan waktu berbulan-bulan di imigrasi.
Di Papua sendiri, kata Lucky, jaminan keamanan juga dibutuhkan jurnalis asing yang akan meliput. Lebih kompleks lagi karena wilayah-wilayah konflik secara faktual sebenarnya berada di bawah kekuasaan aparat keamanan.
“Apakah ada jaminan keselamatan bagi jurnalis untuk dia bisa bebas di sana, misalnya,” kata Lucky.
Sementara guru besar kajian Jurnalistik UGM, Profesor Ana Nadya Abrar mengakui kehadiran media asing menjadi salah satu tawaran yang bisa dipertimbangkan untuk meningkatkan kualitas laporan jurnalistik dari Papua. Mereka memiliki kemampuan finansial, khususnya untuk membuat laporan-laporan investigasi yang membutuhkan ongkos jauh lebih mahal.
Namun, tetap saja jurnalis asing ini akan menghadapi tantangan yang sama, yaitu bagaimana meyakinkan narasumber agar mau berbicara dan memastikan keamanan mereka sendiri.
Ancaman Kekerasan Mengintai
Dalam Laporan Situasi Keamanan Jurnalis Indonesia 2022, AJI Indonesia mencatat ada empat kasus kasus serangan ke jurnalis di Papua dan Papua Barat pada 2022 dengan tujuh jurnalis sebagai korban. Sementara 2023 diawali dengan serangan ledakan bom di samping rumah jurnalis senior yang juga mantan Ketua AJI Papua, Victor Mambor pada 23 Januari.
Ini adalah serangan kedua kepada Victor karena pada 2021, mobil pemimpin redaksi Jubi ini dirusak orang tidak dikenal. Selain itu, terjadi juga ancaman pembunuhan jurnalis dan ancaman pembakaran kantor media Teropongnews.com di Sorong pada 13 Maret 2023 lalu.
Laporan Asesmen hasil Pertemuan Regional Multi Pemangku Kepentingan Media yang dikeluarkan Yayasan Tifa pada 2022 mencatat, setidaknya ada 114 kasus kekerasan terhadap jurnalis di Papua sepanjang 2000 hingga 2021.
Untuk meningkatkan keamanan jurnalis, komunitas pers dan pemangku kepentingan di Papua telah mendeklarasikan Kelompok Kerja (Pokja) Keselamatan Jurnalis Tanah Papua pada 1 Maret 2023 ini. Pokja ini dideklarasikan oleh perwakilan organisasi pers, masyarakat adat, Dewan Pers, tokoh agama, dan aparat penegak hukum.
Dalam pernyataan resminya anggota Dewan Pers mengatakan Pokja ini akan memperkuat upaya menjaga keselamatan jurnalis, agar dapat melaksanakan tugas dengan baik.
“Dewan Pers berharap, tidak ada lagi oknum-oknum yang mengganggu para jurnalis saat melaksanakan tugasnya. Para jurnalis dalam melaksanakan tugasnya dilindungi oleh hukum,” ujar Asep.
Dewan Pers menyatakan Pokja ini merupakan salah satu kontribusi masyarakat yang kehadirannya diharapkan mampu meningkatkan indeks kemerdekaan pers di Papua.
Iklim jurnalistik di Papua, diakui atau tidak akan menjadi faktor penting yang menentukan posisi Indonesia dalam indeks kebebasan pers global. Laporan Indeks Kebebasan Pers Dunia 2023 telah mengevaluasi kondisi jurnalisme di 180 negara dan diterbitkan pada Hari Kebebasan Pers Sedunia pada 3 Mei 2023.
Dalam rilisnya, Reporters Without Borders (RSF) yang mengeluarkan laporan ini menggolongkan situasi jurnalisme di 31 negara sebagai sangat buruk, dalam kategori buruk di 42 negara, kategori bermasalah di 55 negara, dan masuk kondisi baik atau cukup baik di 52 negara.
Indonesia ada di peringkat 108, dalam kategori kondisi jurnalisme yang problematik. Peringkat ini lebih baik dibanding tahun lalu, tetapi masih jauh di bawah tetangga Malaysia yang mampu bertengger di urutan 73. [ns/em]
[ad_2]