[ad_1]
Oleh Akhmad Kusaeni
Banyak orang sedih mengelus dada mencermati perkembangan Garuda Indonesia sebagai maskapai nasional, termasuk saya. Sebagai wartawan dan anggota Direksi BUMN (kini mantan) saya sering berhubungan dengan maskapai penerbangan kebanggaan Indonesia itu. Ada semacam kewajiban terbang dengan Garuda Indonesia.
Bahkan, sebagai Pemimpin Redaksi Kantor Berita Antara, saya juga kerap naik pesawat kepresidenan Garuda Indonesia jika ikut serta dalam kunjungan Presiden atau Wakil Presiden ke luar negeri. Luar biasa, saya bangga betul dengan Garuda. Pesawatnya baru-baru, pramugarinya muda dan cantik-cantik, ramah-ramah, makanannya enak-enak, keselamatan penerbangan nomor satu.
Salah satu minuman kesukaan saya di Garuda, yang tidak ada di maskapai lain, bukanlah wine atau vodka, tapi jus kacang ijo. Ger seger! Makanannya bisa pilih seperti masakan di rumah. Ada nasi uduk, nasi goreng, mie ayam, sate, bahkan bisa pesen khusus mie instan! Betul-betul citarasa kuliner Indonesia yang tidak ada di maskapai (internasional) lain.
Tapi keistimewaan pelayanan dan hospitality itu mungkin tak lagi bisa saya nikmati. Indonesia terancam tak lagi memiliki maskapai penerbangan nasional atau flag carrier apabila Garuda Indonesia dibangkrutkan seperti salah satu opsi yang disampaikan oleh Menteri BUMN Erick Thohir. Inilah yang membuat saya sedih dan pilu.
Garuda sekarang memiliki hutang Rp70 triliun. Menurut Dirut Garuda Irfan Setiawan hutang Garuda setiap bulannya naik terus hingga Rp1 triliun per bulan. Astagfirullah! Sesak dada saya sebagai anak bangsa, bagaimana membayarnya? Pemerintah tak mungkin suntik dana terus.
Kalau Garuda dilikuidasi, dipailitkan atau dibangkrutkan, apakah berarti kita harus mengucapkan good bye dan tak memiliki Flag Carrier lagi? Kalau bukan Garuda, lalu siapa yang menjadi pembawa bendera Indonesia?
Reputasi negara
Maskapai Flag Carrier tidak hanya mengudara membawa penumpang saja, melainkan juga mengemban tugas lebih, yaitu membawa nama baik dan reputasi negara yang bersangkutan. Garuda Indonesia misalnya, mewakili identitas Indonesia. Di pesawat-pesawatnya ada bendera merah putih dan logo burung Garuda.
Selain itu, Flag Carrier biasanya tetap mengoperasikan penerbangan di rute-rute sepi atau tak menguntungkan sebagai perwakilan negara untuk menyediakan penerbangan bagi segenap rakyat. Tidak heran bila Garuda, misalnya, tetap terbang ke Eropa meskipun jumlah penumpangnya kurang dari 50 %. Demi bendera tetap berkibar, Garuda terpaksa berdarah-darah merugi.
Kisah sedih ini bukan hanya dialami Garuda. Sejumlah maskapai penerbangan nasional yang merupakan pembawa bendera negara juga ambruk. Air Namibia, sebuah maskapai penerbangan nasional Namibia, baru-baru ini mengumumkan semua operasi dihentikan. Semua pesawat dikembalikan ke base-nya di Windhoek, ibukota negara di bagian selatan Afrika itu.
Pemerintah Namibia telah menyetujui likuidasi Air Namibia. Pemerintah Indonesia masih hitung-hitung untung rugi membubarkan Garuda.
Industri penerbangan memang lumpuh akibat pandemi, membuat maskapai penerbangan, baik pemerintah maupun swasta, megap-megap. Pemerintahan di berbagai negara sepertinya siap-siap menghadapi kemungkinan terburuk, yaitu terpaksa harus membubarkan maskapai nasionalnya. Di Indonesia, wacana likuidasi Garuda ramai dibicarakan. Wacana ini juga terjadi untuk Flag Carrier seperti Malaysia Airways, Alitalia, dan South African Airways.
Apakah era maskapai nasional ini sudah berakhir dan pandemi Covid-19 menjadi pembunuhnya? Tidak sepenuhnya benar.
Banyak maskapai nasional telah menerbangkan pesawat pembawa bendera negara itu selama beberapa dekade. Flag Carrier umumnya merupakan airlines milik pemerintah sewaktu masa awal tumbuhnya aviasi komersial di abad 20. Ketika itu, puluhan negara membentuk maskapai nasional seperti British Airways (berdiri 1974), South African Airways (1934), Emirates (1955) dan Garuda Indonesia (1949). Maskapai Flag Carrier ini mendapat insentif, pasar yang diproteksi, dan perlakuan istimewa dari negara.
Sebaliknya, maskapai itu bertindak sebagai pembawa bendera negara di kancah internasional. Bagi negara seperti Indonesia, Garuda Indonesia menjadi Brand Ambassador nasional, yang menjadi ekspresi citra rasa, keramah-tamahan, kualitas terbaik dan terbang ke seluruh peloksok dunia. Slogan Garuda Indonesia adalah “The Airlines of Indonesia” yang mewakili negara ini di dunia penerbangan internasional.
‘Fly the flag’ adalah British Airways slogan iklan yang patriotic yang pada era 1970-an.
Namun, masa kejayaan maskapai nasional makin memudar. Apalagi kemudian dihantam wabah Covid-19. Tumbuhnya budget-airlines yang murah meriah dan membuat semua orang bisa terbang –mengancam eksistensi Flag Carrier. Akibat banyaknya Flag Carrier yang tak mampu bersaing di tengah maraknya budget-airlines swasta, membuat pemerintah dipaksa untuk meninjau kembali apakah kepemilikan maskapai nasional itu merupakan investasi yang bertanggungjawab atas dana rakyat.
Sejumlah negara mulai menarik dukungan kepada maskapai nasional, dalam bentuk mengurangi besaran saham atau bahkan melakukan privatisasi sepenuhnya, seperti Inggris dan Spanyol terthadap British Airways dan Iberia. Tujuan dari privatisasi tersebut untuk mengizinkan pimpinan perusahaan agar bisa mengambil keputusan finansial dan operasional bebas dari campur tangan non-korporasi dan tekanan politik.
Apakah dengan demikian keputusan membubarkan Garuda menjadi pilihan?
Mungkin tidak bagi orang seperti saya yang punya romantisme dengan Garuda. Sebuah negara bisa tetap hidup tanpa maskapai nasional, tapi orang seperti saya –atas nama nasionalisme NKRI– akan bilang: Meski langit runtuh, jangan bubarkan Garuda. Sekali mengudara, Garuda tetap terbang di udara!
[ad_2]