Hotline Redaksi: 0817-21-7070 (WA/Telegram)
Headline

Pengertian Restorative Justice Ala UU no 35 Tahun 2009 tentang Narkotika

606
×

Pengertian Restorative Justice Ala UU no 35 Tahun 2009 tentang Narkotika

Sebarkan artikel ini
Pengertian Restorative Justice Ala UU no 35 Tahun 2009 tentang Narkotika

Oleh: Anang Iskandar Ahli Hukum Narkotika, Mantan Kepala BNN.

Restotative justice tidak dinyatakan secara ekplisit dalam UU yang berlaku di Indonesia termasuk dalam UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika, tetapi secara implisit restorative justice secara khusus diatur dalam UU narkotika tersebut.

Pengertian restorative justice adalah proses penyelesaian perkara melalui sistem peradilan dengan menggunakan pendekatan yuridis dan medis.

BACA JUGA:  Prevalensi Penyalahgunaan Narkotika Naik

Tentunya, dengan menitik beratkan pada terciptanya keadilan dan pemulihan penyalah guna sebagai pelaku kejahatan penyalahgunaan sekaligus korban kejahatan peredaran gelap narkotika penderita sakit adiksi yang bersifat kronis.

Sedangkan perkara penyalahgunaan narkotika adalah perkara kepemilikan atau penguasaan narkotika secara tidak sah dan melanggar hukum, yang tujuannya untuk dikonsumsi.

Kalau tujuannya untuk kepentingan selain dikonsumsi seperti dijual maka termasuk perkara peredaran gelap narkotika.

Akibat mengkonsumsi narkotika, penyalah guna akan menderita sakit adiksi yang sifatnya kronis, yaitu sakit ketergantungan akan narkotika secara fisik dan psikis yang membuat seseorang akan fokus pada penggunaan narkotika.

Bila ketergantungan dihentikan secara mendadak seperti ditahan/dipenjara maka penyalah guna bisa menderita “sakau”

Itu sebabnya menyalahgunakan atau menggunakan narkotika secara tidak sah, dilarang dan bentuk penghukumannya ditentukan UU berupa rehabilitasi.

Penjatuhan hukuman pidana bagi penyalah guna narkotika disamping tidak berdasarkan UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika juga menyebabkan penyalah guna mengulangi perbuatannya/relapse di dalam tahanan atau di penjara, kalau tidak relapse ya penyalah guna akan mengalami sakau.

Restorative justice bukan berarti penyelesaian perkara ditingkat penyidikan atas nama diskresi kepolisian atau penghentian penuntutan atas nama dominus listis.

Akan tetapi, ini proses penyelesaian perkara dalam sistim peradilan melalui keputusan hakim atau penetapan hakim agar tercipta rasa keadilan dan pelakunya pulih seperti sedia kala.

BACA JUGA:  Memahami UU Narkotika Harus Utuh

Restorative Justice merupakan kewajiban penegak hukum mulai dari penyidik, penuntut umum dan hakim untuk menjamin dan mengambil tindakan pemulihan terhadap penyalah guna narkotika yang nota bene penderita sakit adiksi kronis.

Restorative justice perkara penyalahgunaan narkotika juga diartikan sebagai proses peradilan pidana tanpa penahanan dan pemenjaraan, sebagai gantinya ditentukan berupa rehabilitasi.

Sebelum menempatkan ke rumah sakit atau lembaga rehabilitasi, penyidik, penuntut umum dan hakim terlebih dulu disaratkan mengetahui riwayat pemakaian narkotikanya dan taraf kecanduan penyalah gunanya melalui hasil assesmen dari TAT.

Assesmen terpadu adalah fungsi medis secara terpadu untuk mengetahui taraf ketergantungan penyalah guna narkotika dan keterlibatan sebagai pengedar dimana hasil assesmen yang terpenting adalah apakah penyalah guna termasuk katagori pecandu atau korban penyalahgunaan narkotika, atau pecandu merangkap pengedar.

Apabila hasil asssesmen TAT menyatakan penyalah guna sebagai pecandu, maka penyidik dengan surat perintah resmi memerintahkan tersangka penyalah guna untuk menjalani rehabilitasi di rumah sakit atau lembaga rehabilitasi yang ditunjuk pemerintah.

Bila hasil assesmen TAT menyatakan penyalah guna sebagai korban penyalahgunaan narkotika, penyidik juga dengan surat perintah resmi memerintahkan korban penyalahgunaan narkotika untuk menjalani rehabilitasi di rumah sakit atau lembaga rehabilitasi milik pemerintah untuk mendapatkan perawatan.

Sedangkan bila hasil assesmen TAT menyatakan penyalah guna sebagai pecandu dan merangkap sebagai pengedar maka penyalah guna dapat dilakukan penahanan ditempat tertentu sekaligus sebagai tempat menjalani rehabilitasi.

Proses penuntutannya, bila hasil assesmen menyatakan penyalah guna sebagai pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika .

Maka, penuntut umum menuntut terdakwa dengan pasal 127/1 sebagai penyalah guna bagi diri sendiri junto pasal 54 sebagai penyalah guna dengan predikat sebagai pecandu atau korban penyalahgunaan narkotika.

BACA JUGA:  Mike Tyson Pebisnis Ganja California dan Kemungkinan Ekspansinya ke Indonesia

Penuntut umum tidak diperbolehkan atau dilarang dengan sengaja menuntut atau mendakwa penyalah guna secara subsidiaritas atau komulatif dengan pasal bagi pengedar, karena penegakan hukum terhadap penyalah guna dan pengedar tujuannya berbeda.

Dimana tujuan terhadap pengedar adalah memberantas peredaran gelap narkotika sedangkan tujuan terhadap penyalah guna adalah menjamin penyalah guna mendapatkan upaya rehabilitasi.

Itu sebabnya selama proses penuntutan, penuntut umum diwajibkan memerintahkan terdakwa untuk menjalani rehabilitasi di rumah sakit atau lembaga rehabilitasi yang ditunjuk pemerintah (pasal 56).

Dalam proses pengadilan, hakim diwajibkan memerintahkan terdakwa penyalah guna untuk menjalani rehabilitasi di rumah sakit atau lembaga rehabilitasi milik pemerintah.

Masa menjalani rehabilitasi atas perintah penyidik, jaksa dan hakim diperhitungkan sebagai masa menjalani hukuman.

Khusus bagi hakim yang memeriksa perkara penyalahgunaan narkotika, wajib (pasal 127/2) untuk menggunakan kewenangan hakim berdasarkan pasal 103, yaitu kewenangan hakim dapat memutus yang bersangkutan untuk menjalani rehabilitasi jika terbukti bersalah dan menetapkan yang bersangkutan menjalani rehabilitasi jika tidak terbukti bersalah melakuan tindak pidana narkotika.

Kewenangan hakim tersebut bersifat wajib karena bila terbukti salah, hakim dapat menjatuhkan hukuman rehabilitasi, jika tidak terbuksi bersalah hakim dapat menetapkan yang bersangkutan menjalani rehabilitasi.

Sarat perkara narkotika yang dapat dilakukan penyelesaian perkara dengan pendekatan restorative justice adalah perkara kepemilikan, penguasaan atau pembeliaan narkotika dengan tujuan untuk dikonsumsi, dengan indikasi jumlah gramasi.

BACA JUGA: Ganja Legal di Indonesia? 

Barang buktinya tidak melebihi jumlah gramasi yang ditentukan dalam SEMA no 04 tahun 2010 tentang penempatan penyalah guna, korban penyalah guna dan pecandu kedalam lembaga rehabilitasi.

Artinya berdasarkan UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika yang berlaku saat ini dan peraturan pelaksanaannya, perkara penyalah guna narkotika dalam proses pengadilan, bentuk hukumannya tidak ada pilihan lain kecuali rehabilitasi, apapun dakwaan jaksanya.

Itulah kekhususan hukum pidana narkotika, pada prinsipnya hakim diberi kewajiban memperhatikan perkara kepemilikan, penguasaan narkotika secara tidak sah dan melanggar hukum yang tujuannya untuk dikonsumsi baik sebagai korban penyalahgunaan narkotika maupun pecandu; dan

Untuk itu hakim diberi kewenangan istimewa dan kewajiban untuk memutuskan atau menetapkan yang bersangkutan menjalani rehabilitasi baik terbukti bersalah maupun tidak terbukti bersalah.

Kalau terbukti salah, hakim wajib memutuskan yang bersangkutan untuk menjalani rehabilitasi, kalau tidak terbukti salah hakim wajib menetapkan yang bersangkutan menjalani rehabilitasi.

Kalau Praktiknya penyalah guna dikenakan penahanan selama proses pemeriksaan pada semua tingkatan, dan diputus bersalah kemudian dijatuhi hukuman penjara sehingga berdampak lapas over kapasitas dan terjadi anomali disana, itu karena penjatuhan hukumannya tidak berdasarkan UU narkotika, tetapi berdasarkan KUHP dan KUHAP, dimana hakim dalam memutus perkara berdasarkan apa yang didakwakan jaksa penuntut umum.

Berdasarkan asas lex specialis derogat lex generalis, penyalah guna narkotika yang secara de-jure bentuk hukumannya ditentukan berupa menjalani rehabilitasi dan secara de-fakto dijatuhi hukuman penjara, pertanyaannya !

Apakah pemenjaraan penyalah guna tersebut bukan misuse bentuk hukuman bagi penyalah guna narkotika ?

Apakah yang demikian itu, bukan pelanggaran hak asasi manusia untuk mendapatkan akses penyembuhan/pemulihan dari sakit adiksi yang dilakukan oleh hakim di meja hijau ?

Saya mengajak kepada masarakat dan penegak hukum narkotika khususnya hakim untuk memerangi penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika dengan cara penyalah gunanya dijatuhi hukuman rehabilitasi dan pengadarnya dihukum penjara agar masarakat tidak dirugikan.

Salam anti penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika. Rehabilitasi penyalah gunanya dan penjarakan pengedarnya.

@Penulis adalah adalah  Komisaris Jenderal purnawirawan Polisi.  Dr Anang Iskandar SH, MH merupakan Doktor, yang dikenal sebagai bapaknya rehabilitasi narkoba di Indonesia.  Mantan Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) dan Bareskrim Polri, yang kini menjadi dosen, aktivis anti narkoba dan penulis buku

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *