Anang terus bergerak bersama aktivis anti narkoba yang juga pengurus Asosiasi Media Digital Indonesia mengedukasi aparat, pejabat dan masyarakat.
Penegakan hukum terhadap penyalah guna narkotika harus ditata ulang kalau tidak ingin penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika tumbuh subur di desa-desa, di kota, di lapas maupun di tempat lain diseluruh Indonesia.
Masyarakat sudah gerah dengan munculnya masalah penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika yang terjadi secara merata di wilayah republik ini
Tindakan penyidik narkotika, jaksa penuntut dan hakim yang menangani perkara penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, tidak berdaya menghadapi perkembangan masalah penyalahgunaan dan peredaran narkotika.
Sejak berlakunya UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika, yang merupakan perbaikan dari UU narkotika tahun 1997 praktik penegakan hukumnya tidak satu alignment dengan tujuan UU narkotikanya sehingga kontra produktif.
Karena bertentangan dengan tujuan UU narkotika yang berlaku menyatakan secara jelas yaitu memberantas peredaran gelap narkotika dan menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial bagi penyalah guna dan pecandu (pasal 4cd)
Bentuk hukuman bagi penyalah guna ditentukan UU berupa rehabilitasi (103/2) dan bentuk upaya paksa bagi penyalah guna berupa penempatan kedalam lembaga rehabilitasi ( Pasal 13 PP 25/2011).
Selama proses penyidikan, penuntutan dan pengadilan, penyalah guna ditempatkan di lembaga rehabilitasi yaitu rumah sakit / tempat rehabilitasi yang ditunjuk Menteri Kesehatan yang tergelar diseruruh Kab/kota.
Masa menjalani penempatan di lembaga rehabilitasi oleh penyidik, penuntut umum dan hakim selama proses penegakan hukum diperhitungkan sebagai bentuk hukuman.
Praktik penegakan hukumnya tujuannya bukan menjamin penyalah guna mendapatkan upaya rehabilitasi tetapi tujuannya memenjarakan penyalah guna, demikian pula upaya paksanya berupa penahanan bukan penempatan kedalam lembaga rehabilitasi dan bentuk hukumannya berupa pidana penjara bukan rehabilitasi.
Jaksa Wajib Menuntut Secara Pidana Rehabilitatif
Dalam praktik penegakan hukum ketika penyalah guna ditangkap dan menjalani proses penyidikan, penuntutan dan pengadilan.
Penyalahguna tersebut dituntut seolah olah sebagai pengedar, diterapkan pasal yang diperuntukkan bagi pengedar.
Kemudian dilakukan upaya paksa penahanan seperti pengedar dan dihukum penjara seperti pengedar.
Padahal, UU narkotika yang berlaku sekarang ini tujuannya jelas dan gamblang menjamin penyalahguna mendapatkan upaya rehabilitasi.
Penyalahguna dijamin UU mendapatkan perawatan berupa rehabilitasi dengan pendekatan medis sedangkan pengedar menggunakan pendekatan hukum pidana dengan bentuk hukuman pidana.
Penyalahguna dan pengedar serupa karena unsur kepemilikan narkotikanya tapi tak sama tujuan kepemilikannya.
Penyalah guna adalah pelaku kriminal yang tujuan kepemilikannya untuk dikonsumsi dan jumlah kepemilikannya terbatas untuk pemakaian sehari sedangkan pengedar adalah pelaku kriminal yang tujuan kepemilikannya sebagai komoditas untuk mendapatkan keuntungan.
UU membedakan perlakuan penyalah guna dan pengedar meskipun keduanya sama sama pelaku kejahatan
Penyalah guna diancam dengan ancaman pidana maksimum (ringan) dibedakan dengan pengedar yang diancam dengan ancaman pidana minimum (berat).
Di samping unsur tujuan kepemilikan narkotika, unsur lain yang membedakan penyalah guna dan pengedar adalah jumlah kepemilikan narkotikanya.
Bila jumlah kepemilikan narkotikanya terbatas untuk pemakaian sehari termasuk penyalah guna, jika kepemilikannya melebihi untuk pemakaian sehari termasuk pengedar.
Penyalah guna diancam hanya dalam 1 (satu) pasal yaitu pasal 127/1 UU no 35 tahun 2009 dengan ancaman pidana maksimum 4 tahun penjara.
Penyalah guna sebagai pelaku kejahatan yang diancam pidana kurang dari 5 tahun, tidak memenuhi sarat untuk dilakukan penahanan baik pada proses penyidikan, penuntutan dan pengadilan.
Penyalah guna narkotika disamping masuk tindak pidana yang tidak memenuhi sarat ditahan, penyalah guna juga termasuk kriteria pelaku tindak pidana sakit kambuhan.
Itu sebabnya penyalah guna yang bermasalah dengan hukum karena ditangkap, disidik, dituntut, diadili bentuk upaya paksanya berupa penempatan kedalam lembaga rehabilitasi dan bentuk hukumannya berupa rehabilitasi.
Selama proses penyidikan, jaksa berkewajiban memberi petunjuk agar penyidikannya tidak dituntut dengan pasal berlapis dan tidak dilakukan penahanan.
Jaksa penuntut sesuai tujuan UU wajib menuntut dengan pidana rehabilitatif, juga tidak melakukan penahanan selama proses penuntutan.
Sebaliknya menempatkan dilembaga rehabilitasi selama proses penuntutan, dakwaannya dengan pasal tunggal yaitu pasal 127/1 saja.
Berbeda dengan penyalah guna, pengedar termasuk pelaku kejahatan extraordinary crime, diancam dengan pidana minimum 4 tahun penjara dan maksimum pidana mati.
Rumusan pasal pidana dalam UU narkotika yang mencantumkan ancaman pidana minimum (berat) diperuntukan bagi pengedar.
Hakim Berwenang Menghukum Rehabilitasi
Berdasarkan UU narkotika yang berlaku sekarang ini, hakim diberi kewajian (127/2) dan kewenangan dapat memutuskan atau menetapkan penyalah guna menjalani rehabilitasi baik terbukti bersalah maupun tidak terbukti bersalah (103/1).
Rehabilitasi sebagai bentuk hukuman dinyatakan dengan terminologi masa menjalani rehabilitasi atas putusan atau penetapan hakim diperhitungkan sebagai masa menjalani hukuman (103/2).
Tempat menjalani rehabilitasi adalah rumah saki yang ditunjuk oleh menteri kesehatan, keberadaan sudah tersebar diseluruh Indonesia tinggal menunjuk rumah sakit mana yang ditugaskan untuk melayani rehabilitasi.
Praktik penegakan hukum terhadap penyalah guna ternyata, tidak satu alignments dengan tujuan UU narkotika yang berlaku sekarang ini.
Juga menyebabkan masalah penyalahgunaan narkotika bertambah subur, menimbulkan terjadinya residivisme penyalahgunaan narkotika dan hunian lapas trendnya meningkat dari tahun ke tahun.
Penyidik dan jaksa menuntut penyalah guna, seakan akan penyalah guna terlibat sebagai pengedar, dituntut pasal berlapis dengan pasal bagi pengedar dengan ancaman pidana minimum (berat) sehingga beralasan untuk dilakukan penahanan.
Hakim menjatuhkan hukuman penjara meskipun terbukti secara sah sebagai penyalah guna bagi diri sendiri.
Model penegakan hukum tersebut menyebabkan masalah penyalahgunaan narkotika menjadi meraja lela sampai ke desa desa dan terjadinya residivisme penyalahgunaan narkotika dan meningkatnya hunian lapas dari tahun ke tahun.
Saya menyarankan:
Pertama, agar penegakan hukum terhadap penyalah guna ditata ulang oleh pemerintah mulai dari penyidikan, penuntutan dan pengadilannya.
Berpedoman pada UU narkotika yang secara khusus menjamin penyalah guna menjalani rehabilitasi.
Kedua, mengatur praktik kewajiban dan kewenangan hakim dapat memutuskan atau menetapkan terdakwa menjalani rehabilitasi
Ketiga, menunjuk rumah sakit pemerintah di seluruh kab/kota sebagai Institusi Penerima Wajib Lapor yang melayani rehabilitasi penyalah guna narkotika
Penataan dimulai dari keputusan atau penetapan hakim untuk memerintahkan penyalah guna menjalani rehabilitasi, penuntut umum memberlakukan penuntutan penyalah guna dengan pasal tunggal.
Selanjutnya memfungsikan rumah sakit pemerintah di daerah dengan membuka layanan rehabilitasi baik atas dasar kewajiban hukum maupun atas keputusan atau penetapan hakim.
Salam anti penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, rehabilitasi penyalah gunanya, penjarakan pengedarnya.
Penulis adalah Komisaris Jenderal Polisi Dr. Anang Iskandar, S.H., M.H. Seorang Purnawirawan perwira tinggi Polri, mantan Kepala Badan Reserse Kriminal Polri dan Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN). Aktivis anti narkoba yang berpengalaman dalam bidang reserse. Penulis buku kelahiran 18 Mei 1958.
Hakim Keblinger: Klik ini
Hakim Bijak : Klik ini