[ad_1]
Para pemimpin negara-negara anggota ASEAN pada April 2021 telah menghasilkan konsensus lima poin terkait Myanmar, yang mencakup penyelenggaraan dialog konstruktif, penghentian kekerasan, mediasi antara berbagai pihak, pemberian bantuan kemanusiaan dan pengiriman delegasi ASEAN ke Myanmar.
Namun, hingga saat ini tidak terlihat komitmen junta militer Myanmar untuk menjalankan konsensus tersebut, sehingga tidak ada kemajuan yang signifikan. Dalam keketuaan ASEAN sebelumnya, yaitu Brunei Darusalam dan Kamboja, kedua negara ini telah berupaya mengupayakan implementasi lima poin konsensus itu. Lantas bagaimana Myanmar di bawah keketuaan Indonesia?
Dalam rapat kerja dengan Komisi I DPR, Senin (30/1), Menteri Luar Negeri Retno Marsudi mengakui peliknya konflik di Myanmar.
“Kita tahu persis sejarah Myanmar, kompleksitas yang dihadapi Myanmar, sehingga mengharapkan bahwa semua selesai pada tahun ini merupakan hal yang tidak mungkin terjadi,” tegas Retno Marsudi.
Terlebih karena ASEAN harus dapat merangkul semua pihak di Myanmar, tambah Retno, dengan memfasilitasi dialog nasional yang inklusif.
“Dialog nasional yang inklusif akan menjadi kunci Myanmar untuk melangkah bersama ke depan. Namun dialog yang inklusif memerlukan situasi yang kondusif. Situasi yang kondusif akan tercipta bila kekerasan dihentikan dan masyarakat dapat memperoleh bantuan kemanusiaan,” kata Retno.
Melihat sensitivitas persoalan Myanmar, Indonesia, tambah Retno, memahami bahwa masing-masing pihak yang terlibat dalam konflik di Myanmar memerlukan ruang untuk bergerak, berpikir dan bersikap. Untuk itu Indonesia tidak akan menggunakan “megaphone diplomacy,” terutama di awal keketuaannya.
Upaya membantu Myanmar keluar dari krisis politik dipastikan tidak akan mengurangi perhatian Indonesia untuk mendorong percepatan pembangunan komunitas ASEAN, ujar Retno. Dia juga menegaskan Indonesia tidak akan membiarkan isu Myanmar menyandera ASEAN.
Indonesia Pegang Teguh Prinsip ASEAN
Pengamat ASEAN dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Pandu Prayoga mengatakan dapat memahami pernyataan Retno di DPR karena di dalam ASEAN ada prinsip utama untuk tidak mencampuri urusan dalam negeri negara anggota. Artinya tidak akan ada campur tangan dalam persoalan “dapur” Myanmar.
Untuk menyelesaikan konflik di Negeri Seribu Pagoda itu, tambahnya, tidak ada salahnya jika ASEAN meminta dukungan dari semua pihak, termasuk China, yang memang memiliki kedekatan dan pengaruh besar di Myanmar. Tentunya dengan tetap menjadikan lima poin konsensus sebagai pedoman utama.
Myanmar, tambah Pandu, adalah batu ujian bagi keketuaan ASEAN. Dalam jangka pendek, lanjutnya, Indonesia sedianya hanya fokus pada dua poin dari lima poin yang ada, yaitu menghentikan kekerasaan dan mengirim bantuan kemanusiaan buat rakyat Myanmar. Lainnya dapat menyusul. Ini penting, karena menurut Pandu, jika ASEAN tidak mampu menyelesaikan persoalan di Myanmar, maka badan ini dinilai belum mengimplementasikan nilai-nilai yang sudah disepakati bersama seperti demokrasi, HAM.
“Yang ketiga, di mata mitra dialog ataupun negara-negara sahabatnya ASEAN melihat ASEAN masih belum capable untuk menyelesaikan persoalan internalnya. Bagaimana kemudian ASEAN menjadi peace builder, menjadi honest broker di antara negara-negara besar. Itu masih menjadi pertanyaan lanjutan. Yang menjadi konsekuensinya paling besar adalah kredibilitas ASEAN,” ujar Pandu.
Junta Militer Janji Langsungkan Pemilu Oktober
Junta militer Myanmar telah berjanji akan melangsungkan pemilu pada bulan Agustus ini. Junta militer, Jumat (27/1), mengumumkan syarat-syarat yang berat bagi partai-partai yang ada untuk bertarung di pemilu. Langkah ini dinilai sebagai salah satu upaya junta militer menyurutkan partai-partai oposisi dan sekaligus memperkuat cengkeramannya pada kekuasaan. Aturan itu mendukung Partai Persatuan Solidaritas dan Pembangunan yang dikalahkan oleh Partai Liga Nasional Untuk Demokrasi NLD pimpinan Aung San Suu Kyi pada Pemilu 2015 dan 2020.
NLD pada November lalu menggambarkan Pemilu 2023 nanti sebagai “palsu” dan memastikan tidak akan mengakui hasilnya. Negara-negara Barat juga menganggap pemilu ini “palsu.”
Lebih dari 2.900 orang tewas dan 17.000 lainnya ditahan dalam berbagai aksi demonstrasi dua tahun terakhir ini untuk menentang kudeta militer di Myanmar. [fw/em]
[ad_2]