[ad_1]
Profesor Rachel Rinaldo, PhD adalah seorang sosiolog yang juga menjabat sebagai ketua Center for Asian Studies (Pusat Studi Asia) di University of Colorado (CU), Boulder. Sejak Agustus 2022 akademisi yang sangat tertarik dengan isu gender, agama, budaya dan perubahan sosial itu mengambil sabbatical (cuti panjang) dari alma maternya untuk melakukan penelitian tentang perempuan yang bekerja dan bagaimana pengalaman perempuan selama pandemi COVID dan setelahnya di Yogyakarta. Penelitian itu dilakukan melalui kerja sama dengan seorang dosen Jurusan Sosiologi, Universitas Gajah Mada (UGM) sebagai lembaga tuan rumahnya.
Sementara itu, tidak jauh dari Yogyakarta, di kota Surakarta, Jawa Tengah, Hannah Marie Standiford, seorang mahasiswa S3 jurusan etnomusikologi di Universitas Pittsburgh, juga melakukan penelitian untuk penulisan disertasi tentang tradisi seni pertunjukan Jawa, utamanya langgam Jawa dengan promotor Profesor Andrew Weintraub, PhD.
Hannah, yang berlatar belakang pendidikan musik gitar klasik dan ikut mendirikan ensambel kroncong “Rumput” bersama Professor Andy McGraw, PhD dari University of Richmond, kini menekuni penelitiannya pada tahun ketiga dengan lembaga tuan rumah Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta.
Baik Rachel maupun Hannah melakukan penelitian di Indonesia berkat dukungan beasiswa/hibah dari Program Fulbright-Hays.
Rachel mengaku sudah lama tertarik dan menaruh perhatian pada isu gender, khususnya isu gender di Indonesia. Dia mengatakan penelitian saat ini dilatarbelakangi oleh pengalaman pribadi selama pandemi di Amerika.
“Ketika pandemi mulai dan ada lockdown di mana-mana, ada banyak orang yang mencoba bekerja dari rumah dan anak-anak juga sekolah online, dan saya melihat di Amerika banyak perempuan yang repot sekali dalam situasi itu karena memang susah sekali kalau mau bekerja dan mengasuh anak, membantu anak dengan online schooling (pembelajaran online),” kata Rachel.
Dia kemudian melakukan penelitian kecil di tempat asalnya, Boulder, Colorado, tentang persoalan tersebut untuk lebih memahami mengapa hampir selalu perempuan yang membantu sekolah padahal mereka juga harus bekerja dan suami juga seharusnya bisa membantu. Setelah penelitian itu, dia merasa bahwa isu yang sama akan menarik untuk penelitian di negara yang dicintainya, Indonesia!
Rachel ingin datang ke Indonesia sejak awal pandemi, tapi harus menunggu. Namun, proses menunggu itu justru menguntungkan karena kemudian mendatangkan sponsor.
“Itu tahun 2020/2021 saya belum bisa ke Indonesia karena Indonesia masih tutup. Jadi saya harus menunggu sedikit dan melamar untuk Fulbright, dan akhirnya saya datang ke Indonesia.”
Ketika akhirnya datang di Indonesia pada Agustus 2022, pandemi memang belum berakhir, tetapi orang sudah kembali bekerja di luar rumah. Namun, Rachel berpikir bahwa isu itu masih menarik, terutama “untuk melihat bagaimana orang masih ingat pengalaman mereka, dan juga untuk mengetahui lebih banyak apakah ada tantangan atau hambatan untuk perempuan yang mau bekerja di luar rumah, dan bagaimana pengalaman dengan pekerjaan yang berubah karena pandemi dan hal-hal seperti itu,” ujarnya.
Kerja Sama Colorado University dengan Universitas Gajah Mada
Rachel memilih Yogyakarta sebagai tempat penelitiannya karena, pertama “dulu sudah pernah melakukan penelitian di Jakarta, dan kota metropolitan itu tempat yang susah sekali untuk penelitian,” katanya, seraya menambahkan:
“Kalau mau pergi ke tempat-tempat untuk mewancarai orang itu bisa dua-tiga jam karena macet. Saya pikir juga saya tidak mau hidup di apartemen karena anak dan suami saya ikut. Saya mau tinggal di rumah, tapi (sewa) rumah di Jakarta agak mahal sekarang. Jadi saya cari kota di luar Jakarta, kota yang lebih kecil.”
Alasan lain pemilihan Yogyakarta karena universitasnya, University of Colorado menjalin kerja sama dengan UGM, lewat exchange program (program pertukaran) untuk mahasiswa S1 dan untuk itu telah ditandatangani sebuah nota kesepahaman (MOU) antara kedua lembaga pendidikan tinggi tersebut.
Dari hasil penelitian itu Rachel bersama koleganya dari UGM akan menulis artikel dan buku.
Jatuh Cinta dengan Indonesia, Khususnya Seni Musiknya
Sementara itu, Hannah Marie Standiford mengatakan dia pertama kali datang di Indonesia pada 2014 dan seketika itu pula dia jatuh cinta dengan negara di Khatulistiwa ini. Dia adalah salah seorang penerima beasiswa Darmasiswa dari pemerintah Indonesia yang dikhususkan untuk orang dari luar negeri untuk belajar bahasa, musik, seni, tari di beberapa perguruan tinggi, termasuk ISI Yogyakarta, ISI Denpasar, ISI Surakarta.
“Waktu itu saya sudah coba gamelan di Amerika. Ada grup gamelan di sana, diprakarsai oleh Dr. Andy McGraw, dan itu gamelan Bali. Saya senang itu dan saya mendengar kalau di Solo bisa belajar gamelan Bali di ISI Solo dan juga saya bisa coba gamelan Jawa tentu saja.”
Hannah kemudian juga mulai tertarik dengan musik kroncong. Jenis musik alat petik ini menarik baginya yang berlatar belakang gitar klasik. Dalam program tahun 2014 itu dia mengaku sepanjang hari mengikuti kuliah di ISI Surakarta untuk gamelan. Di luar kampus, dia mengikuti dan menikmati latihan kroncong setiap malam.
“Aduh! Itu enak sekali, bisa lesehan, makan bersama, main bersama. Enak sekali! Terus saya kembali ke Amerika setelah dua tahun dan bersama Pak Andy McGraw bikin grup kroncong di sana. Namanya orkes kroncong “Rumput.” Jadi di Amerika saya masih belajar tentang kroncong, masih main, masih coba bereksperimen.”
Hannah kemudian mendapat kesempatan datang lagi ke Indonesia pada 2017 dengan beasiswa Fulbright untuk mendalami seni pertunjukan di Surakarta, setelah mengikuti kursus bahasa Indonesia di suatu lembaga bahasa di Yogyakarta. Kesempatan itu menjadi semakin lengkap karena dia diterima untuk program S2/S3 di Universitas Pittsburgh.
“Tujuan saya ingin menulis disertasi tentang kroncong tapi lama-lama saya pindah ke lagu langgam Jawa, baik di kroncong maupun campursari, dan gamelan. Contohnya kalau ada wayang, pas goro-goro itu ada lagu-lagu seperti “Yen In Tawang.” Yang menarik untuk saya, satu bentuk lagu langgam Jawa bisa muncul dalam beberapa genre. Kenapa orang dapat ikatan dari musik itu, mungkin ada identitas Jawa atau mungkin terasa nostalgia.”
Itulah di antaranya yang menjadi bahan penelitian Hannah, yang menambahkan bahwa “yang pasti musik ini masih penting, karena contohnya “Yen in Tawang” itu dari tahun 1950-an sampai 1960-an, tapi masih dimainkan, masih dinikmati.”
“Jadi saya di sini untuk penelitian disertasi. Tahun ini saya juga mulai belajar bahasa Jawa karena itu sangat terkait dengan penelitian ini. Menawi Bapak saged Basa Jawi, nggih? Utawi sampun kesupen?”
Kegiatan penelitian lancar
Mengenai kegiatan penelitian, Rachel mengatakan tidak menemukan tantangan atau hambatan yang berarti.
“Sebetulnya penelitian saya agak lancar, tidak ada masalah atau hambatan besar, mungkin yang kecil-kecil saja. Itu karena saya mau mewancarai banyak ibu yang bekerja. Jadi, kadang-kadang mereka minta diwawancarai setelah jam kerja. Tapi karena saya membawa suami dan anak ya kadang-kadang juga sedikit susah kalau harus bekerja pada sore atau malam atau akhir minggu karena itu family time (waktu untuk keluarga) untuk saya.”
Rachel bersyukur karena para perempuan dari berbagai profesi, termasuk petani, di Yogyakarta dan sekitarnya, hingga daerah Gunung Kidul, sangat terbuka dan bersedia berbagi banyak tentang pengalaman mereka, tentang pekerjaan dan bagaimana mereka mengatur waktu antara pekerjaan dan keluarga. “Jadi kota Yogya dan sekitarnya sangat baik untuk penelitian,” ujarnya.
Hannah setuju. Menurutnya, dia tidak menemukan hambatan berarti dalam penelitiannya.
“Lancar juga. Mungkin akan lebih enak kalau saya lebih fasih (bahasa Jawa) ngoko. Kalau (bahasa Jawa) kromo saya merasa nyaman, tetapi kalau saya datang ke latihan dan saya mau observasi partisipan, biasanya anggota grup kroncong atau anggota gamelan akan memakai ngoko dan itu cepat sekali dan juga sangat gaul, dan ada banyak kata gaul, kata sangat khusus, saya sering tidak bisa paham. Walaupun saya sudah lama coba untuk belajar ini, tapi masih belum lancar. Mungkin itu saja.”
Hidup di negeri orang perlu kreativitas
Baik Rachel maupun Hannah sepakat bahwa hidup di negeri orang memerlukan kreativitas. Misalnya Rachel, ketika dia minta hasil x-ray dari satu rumah sakit di Yogyakarta untuk tangannya yang patah untuk dikirim ke dokternya di Amerika, kepadanya diberikan x-ray dalam bentuk foto rontgen yang harus dibaca dengan lampu baca (light box).
“Kalau di Amerika x-ray diberikan dalam bentuk digital file karena ada electronic medical system. Tetapi di rumah sakit di sini saya dikasih x-ray dan saya pikir wah bagaimana saya bisa kirim ke dokter saya. Jadi saya harus menjadi kreatif dan akhirnya saya memasang x-ray di depan komputer saya dan ambil foto dan kirim foto itu ke dokter saya.”
Hannah menambahkan, walaupun sudah lama tinggal di Indonesia dan membenamkan diri langsung dengan masyarakat Jawa, dia masih menemukan hal-hal yang secara sadar belum dipahaminya.
Dia mencontohkan, “Tahun ini ada latihan grup gamelan rutin setiap hari Senin. Itu dipimpin oleh Pak Suripto, seorang ahli gamelan, mungkin sudah 70-an, orangnya sangat sabar, sangat baik. Saya datang ke latihan itu bersama suami saya. Dia ikut belajar juga, hebat sekali. Saya dan suami pinggangnya sakit, dan latihan itu mungkin empat jam. Mungkin sesudah dua jam kami coba berdiri supaya sakitnya kurang sedikit tetapi itu di tengah gamelan dan orang sedikit gelisah, dan Pak Suripto yang sangat sabar bilang ‘Mbak Hannah, tidak boleh,” dan saya tanya ‘tidak boleh apa?’ (Jawabnya) ‘Tidak boleh berdiri di samping gamelan.’”
Indonesia aman
Keamanan merupakan pertimbangan penting untuk menentukan tempat tinggal, dan di Indonesia, menurut mereka secara umum “baik sekali.” Sebagai seorang ibu, Rachel menambahkan, “misalnya, saya tidak khawatir tentang mass shooting (penembakan massal) di sini. Jadi saya merasa anak saya lebih aman sekolah di sini.”
Rachel bersama keluarganya tidak menemukan masalah dengan makanan. Ia bahkan menyayangkan bahwa makanan Indonesia kurang dikenal di Amerika dibandingkan makanan Thailand atau makanan Vietnam. “Seharusnya orang Amerika lebih kenal dengan makanan Indonesia,” seraya menambahkan:
“Saya harap akan banyak restoran Indonesia muncul di Amerika pada masa depan karena ada banyak makanan yang paling enak. Untuk saya, karena saya vegetarian, yang paling enak adalah pecel, gado-gado, ketoprak, tahu, tempe, dan anak saya juga mulai suka makanan seperti itu.”
Pendapat serupa disampaikan oleh Hannah. Dia mengaku “cocok” dengan makanan di Surakarta. “Banyak makanan enak di sini. Sebagian masakan Jawa yang menjadi favorit saya adalah nasi liwet dan gado-gado. Saya suka sekali tempe di sini yang bertekstur lembut dan segar. Di Amerika memang sudah ada tempe tapi berbeda dengan yang ada di sini. Tempe di sini jauh lebih enak,” katanya.
Modal Manusia
Rachel dan Hannah mengemukakan Indonesia memiliki banyak kelebihan dan bisa menjadi surga bagi peneliti asing. Namun, kata mereka, kelebihan yang paling unggul dan khas Indonesia adalah modal manusianya yang “sangat ramah, terbuka, sangat welcoming (menyambut baik), sangat bersemangat dan banyak membantu, baik di dunia penelitian maupun di masyarakat secara umum.” Untuk itu, Rachel dan Hannah memberikan nilai “10” (terbaik) untuk Indonesia.
“Orang di sini sangat terbuka dan kita sangat beruntung untuk itu. Pasti susah kalau mau bikin wawancara, kalau mau bikin etnografi dan orang tertutup, tidak mau, tidak percaya, tapi pengalaman saya orang sini sangat terbuka,” kata Hannah.
Sementara Rachel menambahkan, “Saya sangat merekomendasi orang Amerika datang ke Indonesia, ke luar Bali. Pergi ke Jawa, Sumatra, Sulawesi, dan saya sangat merekomendasi orang Amerika untuk keliling Indonesia.”
Mereka menegaskan bahwa Indonesia “sangat luar biasa karena demokratis dan memiliki beragam agama, etnis dan lain-lainnya.” Mereka berharap Indonesia bisa melindungi keberagamannya, “termasuk budaya-budaya yang sangat kaya dan sangat luar biasa,” ujar Rachel.
Harapan serupa disampaikan oleh Hannah, agar Indonesia bisa terus menjaga kelebihan, keunikan atau kekhasan serta kekayaan yang dimilikinya.
“Di sini sangat demokratis, toleransi sangat tinggi, Semoga Indonesia bisa meneruskan toleransi dan demokrasi di sini, melindungi alam di sini, dan juga budaya di sini karena itu satu kekayaan,” pungkasnya. [lt/em]
[ad_2]