Hotline Redaksi: 0817-21-7070 (WA/Telegram)
Kabar Terhangat

Tarik Ulur DPR dan Publik tentang Aturan KPU Soal Keterwakilan Perempuan

140
×

Tarik Ulur DPR dan Publik tentang Aturan KPU Soal Keterwakilan Perempuan

Sebarkan artikel ini
Tarik Ulur DPR dan Publik tentang Aturan KPU Soal Keterwakilan Perempuan

[ad_1]

Komisi Pemilihan Umum (KPU) minggu ini melakukan konsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) terkait rencana merevisi Peraturan KPU (PKPU) Nomor 10 Tahun 2023 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota yang mengatur pembulatan ke bawah, jika hasil perhitungan 30 persen dari jumlah alokasi kursi menghasilkan angka desimal kurang dari koma lima kepada Komisi II DPR.

Namun dalam rapat dengar pendapat itu Komisi II justru meminta KPU untuk tetap konsisten melaksanakan PKPU tersebut. Menurutnya pasal-pasal yang dalam dalam aturan itu telah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

Sebelumnya sejumlah organisasi yang tergabung dalam Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan (MPKP) mendesak Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk merevisi pasal 8 ayat 2 PKPU Nomor 10 Tahun 2023, aturan tentang keterwakilan perempuan yang dinilai bertentangan dengan konstitusi, UU Pemilu dan semangat memastikan keterwakilan perempuan.

Aturan kontroversial KPU ini dinilai berpotensi mengurangi jumlah caleg perempuan pada Pemilu 2024 dan dinilai tak selaras dengan Pasal 245, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang mensyaratkan 30 persen keterwakilan perempuan.

KPU Diminta Tak Tunduk pada Desakan

Titi Anggraini dari Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan yang juga anggota Dewan Pembina Perludem mengatakan KPU tidak wajib tunduk pada hasil konsultasi dengan Komisi II DPR dan pemerintah yang meminta tidak merevisi pasal 8 ayat 2 PKPU 10/2023. Pasalnya berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU/XIV/2016 menyatakan bahwa konsultasi KPU ke DPR keputusannya tidak bersifat mengikat.

Tarik Ulur DPR dan Publik tentang Aturan KPU Soal Keterwakilan Perempuan

Anggota Dewan Pembina Perludem Titi Anggraini. (Dokumentasi: Titi)

Dia mengingatkan KPU agar tidak tersandera kepentingan partai politik setelah badan itu menolak rencana perubahan ketentuan perhitungan kuota minimal 30 persen caleg perempuan.

“Namanya meminta itu bergantung penuh kepada keputusan dan sikap KPU. KPU kan bisa menolak, bisa menerima karena KPU lembaga yang mandiri, tetapi mestinya KPU kembali pada komitmen publiknya yang menyatakan akan melakukan revisi PKPU 10 tahun 2023,” ujar Titi kepada VOA.

Menurut Titi, Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan saat ini sedang menyiapkan naskah judicial review atau uji materi peraturan KPU ke Mahkamah Agung. Selain itu pihaknya lanjutnya sedang menyiapkan dokumen pengaduan ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) karena tidak dilakukannya revisi merupakan bentuk sikap tidak jujur dan tidak profesional.

Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan terdiri dari beberapa organisasi perempuan, seperti : Kaukus Perempuan Parlemen Republik Indonesia (KPPRI), Maju Perempuan Indonesia (MPI), Kaukus Perempuan Politik Indonesia (KPPI), Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (PERLUDEM), Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR), Puskapol UI .

Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia mengatakan aturan KPU tersebut tidak menimbulkan kekhawatiran. Hal itu terbukti dengan keberadaan 18 partai politik yang memenuhi syarat 30 persen keterwakilan perempuan. Berdasarkan data yang dihimpun komisinya, lanjut Doli, keterwakilan perempuan di partai politik sebagai caleg saat ini sudah di atas 30 persen.

“Saya total jumlah bakal calon legislatif perempuan dari seluruh partai itu kalau ditotalin jumlahnya 37,6 persen, itu sudah jauh di atas 30 persen. Artinya PKPU tidak membuat masalah baru atau tidak memunculkan kekhawatiran seperti yang disampaikan oleh saudara-saudara kita koalisi perempuan,” ujar Doli

Seorang perempuan duduk di depan poster Shanti Ramchand, caleg dari Partai Nasdem saat kampanye di Jakarta, 14 Maret 2019. (Foto: Willy Kurniawan/Reuters)

Seorang perempuan duduk di depan poster Shanti Ramchand, caleg dari Partai Nasdem saat kampanye di Jakarta, 14 Maret 2019. (Foto: Willy Kurniawan/Reuters)

Atas pernyataan itu, Titi juga mendesak KPU untuk segera mempublikasikan data terkait pencapaian keterwakilan secara transparan, perempuan sekurang-kurangnya 30 persen dalam daftar calon legislatif dari daftar bakal calon anggota legislatif yang telah diajukan oleh partai politik untuk memastikan apakah semua partai politik telah memenuhi ketentuan tersebut di semua daerah pemilihan.

Selain itu, KPU harus melaksanakan prinsip profesional, transparan dan akuntabel melakukan perbaikan terhadap sistem teknologi informasi pencalonan (SILON) dan memberi akses informasi kepada Bawaslu dan masyarakat melakukan pengawasan seluruh dokumen pencalonan dan syarat calon pada SILON.

Sementara itu, Ketua KPU Hasyim Asy’ari enggan berkomentar terkait revisi peraturan KPU tersebut.

Sebelumnya KPU, Bawaslu dan DKPP sepakat melakukan revisi terhadap Peraturan KPU Nomor 10 tahun 2023. Khususnya revisi Pasal 8, ayat 2 soal penghitungan syarat keterwakilan perempuan.

KPU setuju untuk segera merevisi pasal 8 ayat 2 aturan tersebut, dengan mengubah penghitungan pembulatan ke bawah untuk caleg perempuan menjadi pembulatan ke atas seperti peraturan sebelumnya. [fw/em]

[ad_2]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *