Suara-Pembaruan.com — TUADA TUN YM Yulius: Hakim TUN Harus Selalu Merawat Sisi Kemanusiaan
Ketua Muda Tata Usaha Negara (TUN) Mahkamah Agung RI, Yang Mulia (YM) Prof. Dr. H. Yulius, S.H., M.H., menegaskan pentingnya hakim Tata Usaha Negara (TUN) untuk selalu merawat sisi kemanusiaan dalam menjalankan tugasnya.
Pesan itu disampaikan YM Yulius saat memberikan pembinaan kepada seluruh jajaran Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha se-Indonesia melalui zoom meeting, usai meresmikan Mushola Al-Hakim di PTUN Denpasar.
“Saudara menyidangkan rakyat yang merasa dizalimi oleh negara melalui pemerintah. Saudara harus berhati-hati dalam menjaga kepentingan warga negara, tetapi juga harus menjaga keseimbangan hidup bersama. Inilah yang saya maksud dengan mengadili perkara dengan cara berpikir konstitusi,” ujar YM Yulius.
Menegakkan Keadilan dengan Empati
Dalam pembinaannya, YM Yulius menekankan bahwa tujuan hukum setidaknya mencakup tiga hal: keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan. Namun, menurutnya, hakim tidak boleh hanya terjebak pada dimensi formalitas hukum.
“Jika ketiganya dapat terpenuhi dalam putusan saudara, itu hebat. Tetapi secara naluriah, itu tidak mungkin. Definisi keadilan saja sejak ribuan tahun lalu tidak pernah disepakati. Karena keadilan itu bersifat logis, ilmiah, dan juga bersifat rasa,” katanya.
YM Yulius menilai bahwa hakim TUN pada umumnya tidak diragukan dalam kapasitas ilmiah mereka. Namun, yang perlu terus dibina adalah empati.
“Saudara jangan pernah lupa bahwa yang kita sidangkan adalah manusia, bukan hanya kertas. Ada realitas hidup di belakangnya. Ada orang yang menangis, ada rumah yang dirobohkan, ada pegawai yang dipecat sehingga anaknya tidak makan, ada pejabat yang diberhentikan sehingga istrinya malu dan anaknya berhenti sekolah,” tegasnya.
Saat Hukum Formil Perlu Dikesampingkan
Menurut YM Yulius, merawat sisi kemanusiaan akan menuntun hakim untuk lebih bijak dalam menentukan kapan hukum formil harus dikesampingkan demi tegaknya hukum materiil.
Ia menegaskan, hakim harus berani mengambil langkah berani ketika hukum acara justru menghalangi tercapainya keadilan substantif.
“Sudah banyak hasil pleno Mahkamah Agung yang menunjukkan bahwa hakim TUN harus lebih mementingkan substansi daripada formalitas,” tambahnya.
Ia lalu menyinggung pengalamannya menangani perkara yang menunjukkan pentingnya keberanian hakim. Salah satunya adalah kasus sertifikat tanah yang dibatalkan hanya karena keterlambatan pengajuan kasasi. Dalam perkara itu, YM Yulius memilih mengenyampingkan hukum acara demi mengembalikan hak substantif penggugat.
Contoh lain adalah kasus seorang pegawai yang dipecat karena tidak masuk kerja selama tiga bulan akibat hamil anak ketiga—suatu kondisi kodrati yang tidak diatur dalam UU Kepegawaian. Dalam kasus itu, YM Yulius memutuskan agar pegawai tersebut kembali bekerja.
“Perempuan bersuami yang hamil dan memiliki anak adalah hal yang kodrati. Tidaklah benar jika negara menghukum hal yang alamiah seperti itu,” tegasnya.
Meski demikian, YM Yulius juga mengingatkan bahwa hakim tidak boleh sembarangan dalam mengesampingkan hukum formil. Keputusan itu harus diambil hanya ketika kepentingan menegakkan hukum materiil jauh lebih kuat.
Ia berharap agar para hakim TUN tetap menjadi pribadi yang manusiawi, bukan sekadar “makhluk kertas” yang hanya terpaku pada aturan formal tanpa memperhatikan realitas kemanusiaan.
“Jika kaidah hukum formil sangat menghalangi tegaknya kaidah substansi, itu boleh dikesampingkan. Kembalikan ke tujuan awal hukum acara, yakni untuk menegakkan hukum materiil,” pungkasnya.
sumber: Theo Yonathan Simon Laturiuw