Hotline Redaksi: 0817-21-7070 (WA/Telegram)
Internasional

1.581 Orang di Indonesia Jadi Korban TPPO pada 2020-2022

161
×

1.581 Orang di Indonesia Jadi Korban TPPO pada 2020-2022

Sebarkan artikel ini
1.581 Orang di Indonesia Jadi Korban TPPO pada 2020-2022

[ad_1]

Hari Anti Perdagangan Manusia Sedunia diperingati pada 30 Juli setiap tahunnya. Pada tahun 2023, kasus tindak pidana perdagangan orang (TPPO) masih menjadi tantangan utama dari pemerintah Indonesia. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kementerian PPPA) mencatat sedikitnya 1.581 orang di Indonesia menjadi korban TPPO pada periode 2020-2022. Mayoritas korban juga merupakan berasal dari kelompok rentan, yakni perempuan dan anak.

“Data yang kami himpun dari Simfoni PPA (Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak) mencatat bahwa dari tahun 2020-2022 terdapat 1.418 kasus dan 1.581 korban TPPO,” kata Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan Kementerian PPPA, Ratna Susianawati, Minggu (30/7).

TPPO adalah salah satu bentuk kejahatan luar biasa yang melanggar harkat dan martabat manusia. Perdagangan orang itu juga menjadi salah satu kejahatan lintas batas negara yang melibatkan jaringan kuat, sistemis, dan terorganisasi.

1.581 Orang di Indonesia Jadi Korban TPPO pada 2020-2022

Polda NTT menitipkan 17 anak korban TPPO ke Kesusteran Katholik Maumere, Kabupaten Sikka, pertengahan Juni 2021. (Foto: Courtesy/Humas Polda NTT)

Ratna menjelaskan kasus TPPO yang terjadi di Indonesia termasuk ke dalam kategori tinggi. Laporan tahunan Departemen Luar Negeri Amerika tentang Perdagangan Manusia (Trafficking in Persons) menempatkan Indonesia di Tier 2. TIPs memiliki empat kategori, yakni Tier 1, Tier 2 , Tier 2 Watchlist, dan Tier 3 (status terburuk dalam hal penanganan praktik perdagangan orang).

Indonesia menjadi negara asal perdagangan orang dengan tujuan terbesar ke Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, Taiwan, Jepang, Hongkong, dan Timur Tengah.

“Salah satu faktor penyebabnya adalah masalah ekonomi dan kemiskinan,” jelas Ratna.

Menurut Ratna perdagangan orang tidak hanya menggunakan modus pengiriman pekerja migran. Sering kali TPPO beririsan dengan masalah pekerjaan, pada akhirnya banyak orang menjadi korban yang diawali dengan iming-iming pekerjaan melalui perekrutan sebagai calon pekerja migran, khususnya di luar negeri.

“Terlebih seiring perkembangan modus-modus baru yang digunakan dalam perdagangan orang. Faktor mencari pekerjaan yang lebih baik, keinginan mencari suasana baru, perubahan gaya hidup, dan tingginya permintaan tenaga kerja yang murah serta tidak memiliki kemampuan menjadi faktor pendorong terjadinya TPPO,” ujarnya.

Seiring dengan perkembangan zaman, kejahatan TPPO kini juga telah menggunakan teknologi. Di banyak kasus yang terjadi, teknologi bahkan dimanfaatkan oleh pelaku TPPO dalam fase eksploitasi mulai dari perekrutan, hingga pengiklanan calon korbannya. Bukan hanya itu, karakteristik korban TPPO juga telah mengalami pergeseran.

“Di mana pelaku tidak hanya menyasar orang dengan tingkat pendidikan rendah. Namun juga orang yang berpendidikan tinggi,” ucap Ratna.

Kejahatan TPPO bukan hanya menimbulkan korban manusia secara fisik. Namun, juga menimbulkan korban secara ekonomi. Sebagaimana data yang dirilis Global Financial Integrity pada 2017 menunjukkan bahwa rata-rata kerugian karena TPPO sekitar Rp1,6 triliun.

Polisi melakukan pemeriksaan untuk menelusuri dugaan TPPO dalam kasus ini. (Foto: Dok Polres Manggarai Barat)

Polisi melakukan pemeriksaan untuk menelusuri dugaan TPPO dalam kasus ini. (Foto: Dok Polres Manggarai Barat)

Dengan maraknya kasus TPPO yang terjadi, maka perlu diperlukan untuk meningkatkan kewaspadaan mengingat dampak yang ditimbulkan dari kejahatan TPPO.

“Ini tidak bisa dihindari. Namun aspek-aspek pencegahan menjadi sangat penting. Penyadaran kepada masyarakat menjadi sangat penting untuk memahami bahwa TPPO ada di sekitar kita,” tandas Ratna.

Direktur Eksekutif Migrant Care, Wahyu Susilo, mengatakan saat ini telah terjadi pergeseran latar belakang dari para calon korban TPPO.

“Dari yang dahulu less educated dan miskin secara ekonomi, tapi sekarang sudah meluas ke kelas menengah. Menurut saya ini tantangan bagi kita untuk merespons situasi ini,” ungkapnya.

Menurut Wahyu, Indonesia memiliki modal untuk memberantas kejahatan TPPO. Pasalnya pada Konferensi Tingkat Tinggi ke-42 ASEAN di Labuan Bajo, Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur pada Mei 2023, para pemimpin negara-negara ASEAN mendeklarasikan pemberantasan perdagangan manusia, yakni Deklarasi Pemberantasan Perdagangan Manusia akibat Penyalahgunaan Teknologi (Declaration on Combatting Trafficking in Persons Caused by Abuse of Technology).

Dalam dokumen yang dipublikasikan asean.org, deklarasi tersebut menyebut 15 poin yang akan dilakukan negara-negara di ASEAN dalam memerangi perdagangan manusia, antara lain kerja sama dalam peningkatan kapasitas penegak hukum, berbagi praktik baik, hingga penyelidikan bersama terkait TPPO.

“Itu sangat merespons situasi sekarang. Saat ini tanggung jawab dari pemerintah bagaimana deklarasi itu juga tercermin di dalam kebijakan di Indonesia,” pungkas Wahyu. [aa/ah]

[ad_2]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *