[ad_1]
SuaraPemerintah.id – Pemerintah berencana tidak menerapkan kebijakan open sky atau pasar terbuka bagi industri penerbangan internasional di sejumlah bandar udara (bandara).
Artinya, tidak semua pesawat asing bisa mendarat di bandara Indonesia. Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir mengatakan, pembatasan open sky ini sudah dibahas antara Kementerian BUMN dan Kementerian Perhubungan.
“Alhamdulillah kita sudah berbicara dengan Menteri Perhubungan dan beliau mendukung bagaimana nanti bandara-bandara di Indonesia tidak bisa semuanya menjadi bandara yang menerapkan kebijakan bersama, membuka wilayah udara di Indonesia, termasuk untuk maskapai asing atau open sky,” kata Erick dalam Rapat Kerja bersama Komisi VI DPR, Kamis (3/6/2021).
Pemberlakuan kebijakan tersebut didasarkan karena kondisi pandemi Covid-19. Dengan tidak menerapkan open sky, pesawat asing hanya bisa mendarat di bandara-bandara tertentu saja.
“Ini kesempatan bagi kita untuk sinkronisasi dengan kementerian-kementerian lainnya, kalau beberapa titik atau bandara yang dibuka untuk open sky, maka dari bandara tersebut Garuda Indonesia bisa menyebar ke-20 kota di Indonesia,” katanya.
Mantan Bos Inter Milan itu menilai, kebijakan serupa sudah diterapkan di beberapa negara, terutama China dan Amerika Serikat.
“Kita mau ke Amerika Serikat juga hanya beberapa bandara yang dibuka untuk penerbangan asing, tidak semua kota. Begitu juga di China seperti itu,” tutur dia. Kementerian BUMN akan memfokuskan rute penerbangan Garuda Indonesia dan Citilink di pasar domestik.
Langkah itu seiring dengan ceruk pasar domestik yang dinilai potensial. Upaya tersebut pun sudah dibicarakan dengan manajemen PT Garuda Indonesia (Persero) sejak Januari 2019 atau sebelum pandemi merebak di Indonesia. E
rick Thohir mencatat, data penerbangan saat ini didominasi oleh penumpang domestik. “(Kontribusi) lokal turis itu mencapai Rp1.400 triliun, sedangkan turis asing hanya 22 persen atau sekitar Rp300 triliun. Kalau kita berbisnis ya jelas ini marketnya karena Indonesia juga negara kepulauan,” ujar Erick.
Pemegang saham menilai, langkah tersebut merupakan terobosan paling realistis untuk menyelamatkan industri penerbangan pelat merah. Sebab, kedua maskapai tersebut mempekerjakan setidaknya 1.300 pilot dan awak kabin serta 2.300 pegawai.
[ad_2]