[ad_1]
Lembaga Sawit Watch mengkritisi rencana pemerintah yang ingin melegalkan atau memutihkan kasus perambahan kebun sawit yang berada di area hutan dengan mengabaikan unsur pidana. Mereka berpendapat kebijakan itu seharusnya hanya dikenakan kepada petani, bukan korporasi.
Direktur Eksekutif Sawit Watch, Achmad Surambo, mengatakan pemerintah mencari jalan pintas atas persoalan lama itu.
“Saya lihat sih, pilah dan pilih itu penting. Cuma kalau perusahan yang mencari untung lewat proses melanggar hukum itu kan harus dibedakan,” ujar Achamd Surambo kepada VOA, Sabtu (24/6).
Terdapat 3,3 juta hektare kebun sawit di Nusantara yang berada di lahan yang sebenarnya adalah areal hutan. Diduga, mayoritas kebun ini dibuka dan dikelola oleh korporasi sawit besar. Membuka kebun sawit di lahan hutan tentu melanggar hukum. Namun, UU Cipta Kerja yang disahkan pada November 2020 memuat pasal yang menyatakan bahwa tindakan itu bisa dikategorikan sebagai pelanggaran administratif. Sanksi yang dijatuhkan bukan pidana, tetapi hanya denda.
Ketua Tim Pengarah Satuan Tugas (Satgas) Peningkatan Tata Kelola Industri Kelapa Sawit dan Optimalisasi Penerimaan Negara, Luhut Binsar Panjaitan memastikan kebijakan itu dalam keterangan kepada media, Jumat (23/6).
“Kita mau apain lagi, masak kita copotin. Ya kan enggak,” kata Luhut terkait kebun sawit yang masuk area hutan.
Semestinya Penegakan Hukum
Achmad Surambo mengakui, kebun sawit di area hutan adalah persoalan lama yang bahkan sudah dibahas sejak era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Pemerintah sendiri terlihat memang berniat menyelesaikan persoalan tersebut dengan penegakan hukum. Khususnya untuk perusahaan-perusahaan yang terlebih dahulu merambah hutan, menggarap sawit terlebih dahulu meski tanpa mengurus atau mengantongi izin.
Namun, persoalan itu tidak pernah diselesaikan karena SBY hanya membuat PP 60/2012 sebagai dasar hukum kebijakan. Regulasi tersebut mengatur mengenai perubahan PP Nomor 10 Tahun 2010 tentang Tata Cara Perubahan dan Fungsi Kawasan Hutan.
Dalam catatan Sawit Watch, ketika Jokowi berkuasa, aturan hukum mengenai hutan diperbaiki dengan terbitnya PP 104/2015, dan diperbaiki kembali melalui kebijakan moratorium sawit lewat Inpres 8/2018. Nampaknya, lewat UU Cipta Kerja Tahun 2020, pemerintah benar-benar akan menyelesaikan persoalan. Namun ternyata hanya dengan pemutihan lahan.
“Itu kan menurut kita, posisinya pemerintah itu dalam kerangka tertentu, terlihat kayak enggak punya cara lain selain pemutihan. Cuma kalau kita lihat kasus-kasus yang lain, sebenarnya bisa kok,” lanjut Achmad Surambo.
Achmad Surambo menunjuk kasus di Register 40, Kabupaten Padang Lawas, Sumatra Utara sebagai salah satu contoh. Pada 2007, Mahkamah Agung memutuskan kebun sawit seluas 47 ribu hektare di hutan Register 40 Padang Lawas, Sumatra Utara, disita negara. Pengelolanya adalah pengusaha Darius Lungguk Sitorus, selaku Direktur Utama PT Torganda. Darius membuka kebun di hutan milik negara.
Selain itu, Achmad juga menyebut kasus minyak goreng tahun 2022 juga menempatkan tiga grup usaha sawit besar, yaitu Wilmar Group, Permata Hijau Group, dan Musim Mas Group sebagai tersangka dalam kasus korupsi. Artinya, pendekatan hukum bisa diterapkan dalam kasus-kasus terkait sawit.
“Menurut saya ini kan seperti kayak tebang pilih. Ini yang menurut saya tidak baik karena kita sebenarnya sudah punya Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan. Harusnya pemerintah konsisten saja dengan ini,” tegasnya.
Tindakan khusus, seperti kehutanan sosial, sebaiknya hanya dikenakan kepada petani kecil yang hanya mengelola lahan terbatas.
Achmad mengingatkan, UU Cipta Kerja yang menjadi landasan hukum kebijakan ini masih berpotensi membawa masalah. Saat ini, proses judicial review belum usai di Mahkamah Konstitusi. Dengan memakainya sebagai dasar hukum, Achmad melihat pemerintah seolah menjawab masalah dengan masalah baru. Sebaiknya, sebelum ada kepastian hukum terkait UU ini, pemerintah tidak membuat kebijakan yang bersifat strategis.
Dia juga menyebut, mekanisme jangka benah, di mana kebun sawit pelan-pelan dikembalikan menjadi hutan, bisa diterapkan. “Jadi diperbaiki pelan-pelan atau ditransfer ke BUMN seperti kasus Padang Lawas. Sebenarnya kalau pemerintah kreatif dan cerdik, ada jalan keluar,” ucapnya.
Dengan kebijakan pemutihan saat ini, kata Achmad, dikhawatirkan korporasi akan memanfaatkan. Mereka akan membuka kebun di area hutan, karena tahu bahwa sanksi yang dikenakan hanya denda.
Pembenahan Menyeluruh Sektor Sawit
Ketika berbicara kepada media, Luhut Binsar Panjaitan yang juga Menko Maritim dan Investasi memaparkan upaya penuh pemerintah memperbaiki sektor perkebunan kelapa sawit. Diawali dengan audit oleh Badan Pengawan Keuangan dan Pembangunan (BPKP)
“Kita minta BPKP untuk melakukan audit terhadap seluruh industri kelapa sawit secara keseluruhan, dari hulu hingga ke hilir. Dan hal ini saya laporkan pada Presiden sebelum kita lakukan langkah ini, dan beliau menyetujui,” tegas Luhut.
Sampai saat ini, setidaknya BPKB telah memiliki beberapa temuan mulai dari masalah periijinan lahan, kebun plasma, kapasitas produksi hingga produk turunan kelapa sawit atau CPO. Presiden pun membentuk Satgas khusus, di mana Luhut duduk sebagai ketua pengarah.
Perbaikan utama yang dilakuan Satgas adalah untuk memperbaiki tata kelola sektor hutan yang nantinya pengelolaan industri kelapa sawit di Indonesia dapat lebih optimal dan berkelanjutan,” ujarnya.
Menurut data 2021, Indonesia memiliki lahan tutupan kelapa sawit total seluas 16,8 juta hektare. Dari jumlah itu, 10,4 juta hektare dikelola korporasi dan perusahaan plat merah, sisanya ada di tangan petani sawit rakyat. Dari total luasan itu, 3,3 juta hektare ternyata berada dalam kawasan hutan. UU Cipta Kerja yang disahkan 2020 lalu, ternyata memuat jalan keluar penyelesaian kebun sawit di area hutan dengan penerapan sanksi administrasi dan denda.
Wakil Menteri Keuangan Suahazil Nazara yang juga Ketua Tim Satgas sawit ini menyebut korporasi, koperasi dan petani sawit akan diwajibkan melaporkan lahan yang mereka kelola.
“Kita akan melakukan pendataan melalui mekanisme self-reporting, pendataan mandiri. Kami menyiapkan sistemnya,” kata Nazara yang hadir mendampingi Luhut.
Pelaporan ini penting untuk menyusun data sahih, karena banyak data yang selama ini tidak sinkron terkait izin yang diberikan, pajak yang dibayarkan, data Hak Guna USaha, data izin lokasi, data usaha perkebunan dan data-data terkait.
“Satu dengan yang lain tidak sinkron, padahal perusahaannya sama,” kata Nazara.
Dari pelaporan mandiri itu lah akan diketahui kebun sawit siapa saja yang ada di area hutan. “Ini harus kita tangani. Karena kawasan hutan kita adalah kawasan yang sangat berharga di mata Indonesia dan di mata internasional,” ujarnya lagi.
UU Cipta Kerja memungkinkan penyelesaian serupa pemutihan lahan, dengan tujuan bahwa setelah ini semua pihak akan taat kepada hukum.
“Karena itu, dengan adanya pasal 110A dan 110 B, sebenarnya UU Cipta Kerja menyediakan jalan supaya ini menjadi legal. Supaya menjadi taat hukum. Karena itu, kita akan merumuskan sebagian perkebunan sawit ada yang diatas kawasan hutan, nanti kita klasifikasi apakah penyelesaiannya mengunakan pasal 110A atau menggunakan pasal 110B,” rinci Nazara.
Dikritik Sejak Awal
Pasal 110 A dan 100 B, UU Cipta Kerja memberi kesempatan bagi pengusaha yang melakukan kegiatan usaha dalam kawasan hutan, mengurus perizinan. Waktu yang diberikan adalah 3 tahun sejak UU itu berlaku, atau akan berakhir pada November 2023. Sanksi yang dikenakan bagi pengusaha yang melanggar bukan pidana, tetapi administratif.
Dalam pernyataannya, Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) menyebut ini sebagai pengampunan kejahatan kehutanan. Walhi mencatat, pada Maret 2023 lalu Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menerbitkan Surat Keputusan XI berisi data kegiatan usaha di kawasan hutan tanpa izin.
Ada 890 subjek hukum, dengan rincian korporasi sawit 531 unit, korporasi pertambangan 175 unit dan selebihnya adalah individu, koperasi, dan kelompok tani. Ini melengkapi rilis sebelumnya, di mana KLHK mengidentifikasi 1.192 Subjek hukum, dengan rincian 616 korporasi sawit, 130 korporasi pertambangan, dan 241 subjek hukum individu dan kelompok dengan aktivitas perkebunan sawit, dan 205 unit kegiatan lainnya.
Walhi menghubungkan proses ini dengan jadwal pemilu yang saat ini sedang bergulir. Batas tenggang waktu tersebut sesuai dengan masa pendaftaran presiden, gubernur, bupati dan wali kota. Konsolidasi kepentingan antar-partai politik akan dilakukan.
“Sehingga tidak berlebihan, jika kita sebut 110A dan 110B ini merupakan ruang transaksional yang sengaja dibuat untuk mempertemukan kepentingan korporasi dan para elit di tahun politik. Korporasi dapat pengampunan, para elit dapat ongkos politik,” kata Uli Arta Siagian, Manager Kampanye Hutan dan Kebun, Walhi Nasional. [ns/ah]
[ad_2]