[ad_1]
Irak, pada Minggu (6/8), meminta Amerika Serikat dan Inggris mengekstradisi mantan pejabat yang dituduh memfasilitasi pencurian dana publik sebesar $2,5 miliar dalam salah satu kasus korupsi terbesar yang terjadi di negara itu.
Pengadilan Irak mengeluarkan surat perintah penangkapan pada awal Maret untuk empat orang, termasuk mantan menteri keuangan dan staf mantan Perdana Menteri Mustafa al-Kadhemi, yang menurut Baghdad semuanya kini berada di luar negeri.
Haider Hanoun, kepala Komisi Integritas Irak, pada Minggu, meminta “otoritas yang kompeten di Amerika Serikat dan Inggris untuk bekerja sama dalam melaksanakan surat perintah penangkapan itu, yang dikeluarkan terhadap mereka,” tanpa menyebut di mana para tersangka berada.
Ia mengatakan dalam pernyataan bahwa Interpol telah mengeluarkan Red Notices bagi direktur Kabinet pemerintahan Kadhemi, Raed Jouhi, dan sekretaris pribadi Ahmed Najati. Keduanya memegang kewarganegaraan Amerika Serikat.
Red Notices juga dikeluarkan untuk mantan menteri keuangan Ali Allawi, “yang memegang kewarganegaraan Inggris,” tambah Hanoun.
Red Notice Interpol bukanlah surat perintah penangkapan internasional tetapi meminta pihak berwenang di seluruh dunia untuk menahan sementara orang tertentu sewaktu menunggu kemungkinan ekstradisi atau tindakan hukum lainnya.
Tersangka keempat, mantan penasihat media perdana menteri Mushrik Abbas, “saat ini tinggal di Uni Emirat Arab,” menurut Hanoun. Ia tidak tahu apakah Abbas memiliki kewarganegaraan lain.
“Kami berharap Inggris dan Amerika Serikat akan bekerja sama dan mengekstradisi para tersangka,” katanya.
Setidaknya dana sebsar $2,5 miliar dicuri antara September 2021 dan Agustus 2022 melalui 247 cek yang diuangkan oleh lima perusahaan. Uang itu ditarik tunai dari rekening perusahaan-perusahaan tersebut, yang sebagian besar pemiliknya kini buron.
Perdana Menteri Irak saat ini, Mohamed Shia al-Sudani, berjanji akan memberantas korupsi sejak dilantik pada akhir Oktober. [ka/lt]
[ad_2]