[ad_1]
ASEAN Parliamentarians for Human Rights APHR awal pekan ini menyampaikan keprihatinan mendalam seiring masih akan diikutsertakannya Myanmar dalam beberapa latihan militer kontra-terorisme pada bulan Agustus-September mendatang.
Dalam pernyataan tertulisnya, APHR menyerukan kepada ASEAN untuk “tidak mengikutsertakan junta yang ilegal itu dalam semua latihan militer bersama yang diadakan oleh blok regional itu.”
Ketua APHR yang juga anggota DPR dari Indonesia, Mercy Barends, pada 28 Juli lalu mengatakan “sangat tidak masuk akal bagi negara-megara ASEAN untuk bergabung dengan junta Myanmar dalam latihan militer ketika junta secara konsisten menunjukkan kurangnya kemauan politik atau minat untuk mematuhi Konsensus Lima Poin, terutama ‘penghentian kekerasan dengan segera.”
“Sangat menyakitkan bahwa latihan-latihan ini diklaim untuk tujuan kontra-terorisme, karena justru junta telah mencap Pemerintah Persatuan Nasional yang terpilih secara demokratis dan Komite yang Mewakili Pyidaungsu Hluttaw, serta Pasukan Pertahanan Rakyat dan berbagai entitas pro-demokrasi lainnya, sebagai teroris,” imbuhnya.
Diwawancarai melalui telpon, anggota DPR yang juga anggota APHR Taufik Basari mengatakan kepada VOA, mengundang junta militer Myanmar untuk ikut dalam latihan militer bersama menunjukkan masih kurangnya sensitifitas negara-negara ASEAN terkait apa yang terjadi di Myanmar.
“Mestinya tidak melibatkan Myanmar di dalam latihan militer ini. Sejauh ini masih belum ada tindak lanjut yang progresif dari negara-negara ASEAN untuk mencari jalan keluar terhadap krisis di Myanmar,” kata Taufik.
Oleh karena itu ia meminta semua organisasi masyarakat sipil di ASEAN untuk senantiasa mendesak pemerintah masing-masing agar bersikap aktif mencari solusi terhadap krisis di Myanmar. Taufik juga meminta dilakukannya evaluasi atas apa saja yang telah dilakukan Indonesia, sebagai ketua ASEAN tahun ini, dalam isu Myanmar dan kendala yang dihadapi sehingga Myanmar tak kunjung melaksanakan lima poin konsensus yang disepakati.
Lima poin konsensus yang dimaksud adalah pengiriman bantuan kemanusiaan, penghentian aksi kekerasan, pelaksanaan dialog inklusif, pembentukan utusan khusus, dan kunjungan utusan khusus ke Myanmar.
Taufik Basari mengatakan pelibatan Myanmar dalam kegiatan seperti latihan militer non-tempur itu, menunjukkan ketidaktegasan ASEAN dalam mendesak junta militer melaksanakan lima poin konsensus tersebut.
APHR, tambah Taufik, telah melakukan investigasi dan dialog dengan sejumlah pihak yang menjadi korban, dan gerakan-gerakan masyarakat Myanmar yang melawan junta militer di negara tersebut; yang memastikan telah terjadinya kejahatan terhadap kemanusiaan di negara itu.
Pengamat: ASEAN Sedianya Tak Undang Myanmar
Pengamat ASEAN dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Pandu Prayoga mengatakan jika memang ASEAN ingin mengucilkan Myanmar, sebaiknya memang tidak lagi mengundang junta militer Myanmar dalam konferensi tingkat tinggi, pertemuan atau kegiatan ASEAN lainnya. Kalau pun ingin mengundang, demi alasan diplomasi, maka hanya untuk pejabat teknis bukan pejabat tinggi sehingga tetap ada komunikasi dengan pihak Myanmar.
“Ketika kita (ASEAN) mengisolasi (Myanmar) secara penuh, nanti China yang ambil alih atau Rusia dan pengaruh ASEAN semakin sempit, semakin kecil. Di sisi lain, kalau kita ikutsertakan juga sampai di tingkat teknis, ditakutkan kemudian junta ini akan semakin berada dalam status quo atau zona nyamannya,” kata Pandu.
Meskipun demikian Pandu mengakui ASEAN adalah badan untuk diplomasi di kawasan yang tidak dapat memaksakan kehendak pada negara anggota. Prinsip tidak mencampuri urusan dalam negeri negara lain juga menjadi salah satu kendala. Semua ini ada dalam Piagam ASEAN yang telah disepakati bersama. [fw/em]
[ad_2]