[ad_1]
“Dapat saya sampaikan bahwa kondisi korban secara fisik baik, tetapi secara psikis, kasus ini menyebabkan psikisnya terganggu.”
Inilah petikan pernyataan Pendeta Yobelia Karmila Nova Bili, pendeta Sinode Gereja Kristen Sumba, Nusa Tenggara Timur, yang pertama kali mendampingi Bunga (bukan nama sebenarnya), warga Desa Waimangura, Kecamatan Weweha Barat, Kabupaten Sumba Barat Daya, yang awal bulan ini sempat diculik secara terang-terangan oleh sekelompok laki-laki untuk dikawinkan secara paksa. Video yang viral di media sosial memperlihatkan Bunga ditangkap saat sedang berdiri di pinggir jalan, lalu dimasukkan ke dalam sebuah mobil pick-up. Ia berteriak-teriak minta tolong, tetapi sejumlah orang yang berada di sekitarnya tidak melakukan apapun. Mereka seperti terpana dan hanya dapat memandang sedih.
Salah seorang di antara warga sempat merekam peristiwa itu yang kemudian viral. Dalam rekaman video itu tampak Bunga dengan wajah ketakutan memberontak tanpa daya, sementara sejumlah laki-laki yang menculiknya tertawa-tawa gembira melihat keberhasilan mereka menyeret gadis itu.
Berdasarkan laporan warga setempat, sehari kemudian aparat keamanan bergerak cepat melakuan pengejaran dan berhasil membebaskan Bunga. Pendeta Yorbelia, yang juga merupakan Koordiantor PERUATI Sumba untuk Sumba Barat Daya, bersama sejumlah aktivis perempuan lain telah sejak lama giat memperjuangkan penghapusan praktik kawin tangkap yang menyalahgunakan penggunaan budaya sebagai tameng, bersama-sama mendampinginya pada hari-hari pertama pemulihannya.
Polisi Tetapkan Lima Orang Sebagai Tersangka, Termasuk Ibu Korban
Kapolres Sumba Barat Daya AKBP Sigit Harimbawan memastikan empat “penculik” yaitu JBT, MN, HT dan VS telah ditangkap dan ditetapkan sebagai tersangka. Mereka dijerat dengan Pasal 238 KUHP sub Pasal 333 KUHP junto Pasal 55 Ayat 1 Ke-1 KUHP dan pasal 10 UU No.12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).
Sementara tersangka kelima, KT, yang merupakan ibu korban, akan dijerat dengan pasal yang lebih ringan karena permohonan sejumlah aktivis perempuan. Yang pasti, jika terbukti bersalah, kelimanya akan divonis penjara sembilan tahun.
Pengamat: Awal Tradisi Kawin Tangkap untuk Perjodohan Semata, Sekarang Justru Disalahgunakan
Diwawancarai melalui telpon, aktivis perempuan dan peneliti kajian gender di Universitas Indonesia, Martha Hebi mengakui kawin tangkap ini semula memang merupakan tradisi di Sumba, tetapi ketika itu seluruh proses ini berlangsung terbuka dan baik.
“Praktik kawin tangkap ini ada di masa lalu. Saya mendapat informasi langsung dari para tetua adat. Tetapi pada masa lalu, tujuan utamanya lebih pada perjodohan. Ini karena di masa lalu ada kesulitan komunikasi dan transportasi, sementara orang tua ingin anak perempuan mereka mendapatkan jodoh yang aman dan dikenal, kalau bisa dari kalangan keluarga sendiri atau orang yang memang mereka kenal. Dari proses komunikasi yang lama itu ada kongkalikong, pihak orang tua laki-laki dan perempuan sudah tahu sama tahu, dan sang anak perempuan diambil paksa, dibawa dan dinikahkan dengan orang yang juga sudah diperkenalkan sebelumnya,” jelasnya.
“Pada konteks sosial masa itu, hal tersebut dinilai tidak apa-apa. Tetapi setelah kita punya akses komunikasi dan transportasi yang sangat baik, ada kebijakan perlindungan perempuan dan HAM, serta sudah diratifikasinya CEDAW (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women atau Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan), juga resolusi anti-penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi, dan berbagai undang-undang terbaru kita, maka praktik kawin tangkap ini sudah tidak tepat lagi. Bahkan sudah seharusnya ditinggalkan karena merendahkan martabat perempuan,” imbuh Martha.
Pendeta Aprissa Taranau yang juga penasehat Persekutuan Perempuan Berpendidikan Teologi se-Indonesia Untuk Sumba mengatakan telah sejak lama ia menolak melihat kawin tangkap sebagai tradisi semata karena pada praktiknya justru digunakan untuk memaksakan kekerasan terhadap perempuan.
“Kalau secara sejarah ini memang bagian dari tradisi, tetapi sekarang saya tidak mau lagi terjebak dengan hal itu karena sejak menulis tesis tahun 2009 saya melihat kawin tangkap ini sebagai pemaksaan perkawinan terhadap perempuan dan kekerasan berlapis,” jelasnya.
Urgensi Pendidikan dan Sosialisasi pada Warga
Lebih jauh Aprissa mengatakan harus ada pendidikan dan sosialisasi di tingkat akar rumput bahwa kawin tangkap ini sudah tidak lagi seperti tradisi awal, tetapi sudah menjadi kejahatan terhadap kemanusiaan.
“Memberikan pendidikan seperti ini tidak saja di sekolah, tapi juga di forum-forum diskusi dan pertemuan masyarakat. Saya sebagai pendeta misalnya, tidak saja menggunakan mimbar saya untuk menyampaikan pengharapan pada Tuhan, tetapi juga untuk membicarakan tentang hak-hak perempuan dan keharusan memperlakukan perempuan sebagai subyek yang setara. Kami bekerjasama dengan pemerintah, organisasi kemanusiaan dan warga, kita semua harus bersinergi karena perjuangan untuk menghapus kawin tangkap ini masih panjang. Kita tidak bisa bekerja sendiri, apalagi sudah ada miskonsepsi yang sangat lama tentang kawin tangkap,” lanjut Aprisa.
Martha Hebi menilai cara paling sederhana untuk membuka mata warga bahwa kawin tangkap adalah dengan melakukan pembicaraan dari hati ke hati di semua lini.
“Di akar rumput sendiri ada pembicaraan dari hati ke hati tentang hal ini, karena jika tiba-tiba bicara soal hukum maka orang akan menolak karena menilai ini adalah tradisi yang harus dijaga. Tetapi ketika kita bicara soal luka yang dialami perempuan, fisik dan psikis, dan betapa lama sekali menyembuhkan luka yang bisa saja dialami adik dan anak perempuan mereka, warga bisa menerima. Saya pernah menyampaikan dalam diskusi ini bagaimana seorang perempuan yang pernah saya ajak bicara tahun 1980an karena menjadi korban kawin tangkap, lalu saya temui kembali pada tahun 2019 ia tetap bicara dengan nada pedih, marah, kecewa. Bayangkan lebih dari 30 tahun, luka itu masih menganga,” imbuh Martha.
Aparat Diminta Lanjutkan Kasus ke Pengadilan
Pendeta Yobelia yang sejak awal mendampingi Bunga, perempuan di Sumba Barat Daya yang menjadi korban kawin tangkap awal bulan ini, mengatakan pihaknya terus mendorong pihak kepolisian untuk melanjutkan kasus ini ke pengadilan.
“Kami bersama pemerintah daerah dan beberapa yayasan kemanusiaan berjuang untuk terus mendorong agar polisi melanjutkan proses hukum hingga ke meja hijau untuk mencegah terulangnya kasus yang sama. Sampai sejauh ini sudah ada lima tersangka, empat laki-laki dan satu orang perempuan yaitu ibu korban sendiri. Ia dijadikan tersangka karena dari mulutnya sendiri ia mengatakan bahwa memang dirinya yang mendorong kawin tangkap anak perempuannya,” kata Yobelia.
“Sejauh ini korban sudah divisum, tidak ditemukan kekerasan seksual dan hal buruk lainnnya sehingga pihak kepolisian Sumba Barat Daya mengusut kasus ini dengan pasal penculikan mengingat korban ditarik paksa dan dibuang ke dalam mobil pickup. Tetapi karena korban sudah berusia 20 tahun maka pelaku tidak bisa dijerat dengan pasal kekerasan terhadap anak. Padahal meskipun usianya sudah 20 tahun tetapi ia masih duduk di bangku kelas III SMA,” imbuhnya.
Komnas Perempuan Puji Kinerja Polisi Sumba Barat Daya
Komnas Perempuan memuji langkah polisi menggunakan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual, khususnya pasal 10, sebagai “langkah maju penanganan kasus kawin tangkap.” Bersama dengan beberapa pasal lain dalam KUHP, korban diharap dapat memperoleh perlindungan yang mumpuni, dan juga pendampingan dan pemulihan.
Namun secara khusus Komnas Perempuan meminta kepolisian untuk “mengaplikasi kepekaan pada kerentanan khusus perempuan dalam pengusutan kasus perempuan berhadapan dengan hukum” ketika mengusut KT, ibunda korban. Termasuk mempertimbangkan adanya “beban dan kekhawatiran” yang dihadapi seorang ibu sebagai orang tua tunggal, juga konstruksi dan kondisi sosial yang membuat seorang ibu dapat mengambil langkah tertentu yang bisa jadi menurutnya bertujuan untuk menyelamatkan anak dan keluarga. “Dengan aplikasi ini, selain memutus impunitas, proses hukum juga menjadi lebih humanis dan berkeadilan,” tambah Komnas Perempuan. [em/jm]
[ad_2]