[ad_1]
Gugatan yang dilayangkan sejumlah partai politik dan kepala daerah kepada Mahkamah Konstitusi (MK) terkait syarat minimal usia calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) yang tercantum dalam Undang-Undang Pemilu dinilai salah alamat. Pasalnya penentuan syarat usia pemimpin negara tersebut bukan kewenangan atau ranah MK, tetapi pembuat undang-undang, yaitu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemerintah.
Meski demikian, anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini berpendapat bahwa dalam merumuskan batasan usia, pembentuk undang-undang tidak boleh sewenang-wenang. Mereka seharusnya melakukan pembahasan secara terbuka, transparan, akuntabel, dan dengan melibatkan partisipasi masyarakat secara bermaksa.
“Pilihan batasan usia juga harus mampu mengakomodir partisipasi politik semua golongan dan kelompok secara optimal. Apalagi, anatomi penduduk dan pemilih Indonesia saat ini 56 persen di antaranya adalah terdiri dari mereka yang berusia kurang dari 40 tahun,” kata Titi.
Mestinya, lanjut dia, hal itu juga diwadahi melalui pilihan syarat usia yang mampu mengakomodasi kiprah orang muda di ranah politik.
Sebelumnya Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Partai Garuda dan lima kepala daerah menggugat syarat minimal usia capres-cawapres yang tercantum dalam UU Pemilu. Mereka menuntut syarat usia tersebut diturunkan menjadi minimal 35 tahun dari 40 tahun saat ini. Mereka beralasan beralasan banyak anak muda yang menunjukan prestasinya dalam jabatan kepemimpinan publik, yang berpotensi menjadi presiden maupun wakil presiden, tetapi sayangnya terganjal usia minimal 40 tahun.
Titi mengaku sependapat terkait usulan penurunan batas umur capres dan cawapres tersebut. Bahkan, menurutnya, setidak-tidaknya usia calon presiden harus sama dengan syarat usia calon legislatif, yakni minimal 21 tahun. Bahkan ia juga mendukung jika syarat usia calon legislatif, calon presiden dan calon wakil presiden serta kepala daerah dan wakil kepala daerah disetarakan dengan syarat usia pemilih.
“Jika seseorang dianggap layak dan mampu membuat keputusan memilih pemimpin, maka mestinya ia juga layak untuk diberi kesempatan dan dipercaya menjadi seorang pemimpin,” tukasnya.
Kompetensi seseorang di tengah tren kepemimpinan orang muda dan keberhasilan mereka dalam memajukan negara, termasuk saat dunia dilanda krisis pandemi, kata Titi, mestinya makin memberikan keyakinan bahwa orang muda layak dan mampu untuk memimpin.
“Apalagi ini adalah jabatan politik yang dipilih dan mendapatkan legitimasinya dari rakyat. Tentu rakyat lah yang akan memutuskan figur mana yang dikehendakinya untuk dipilih berdasarkan pertimbangan rekam jejak dan latar belakang calon. Presiden dan wakil presiden juga dibantu oleh menteri-menteri yang melalui profesionalitas dan kapasitasnya diharapkan mampu pula menopang kerja-kerja presiden dan wakil presiden,” tegas Titi
Hal senada juga diungkapkan peneliti hukum tata negara di Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Bivitri Susanti. Penentuan batas umur, kata Bivitri, merupakan tugas pembuat undang-undang. Dia menyetujui pengurangan batas umur tersebut karena menurutnya kecerdasan, pikiran seseorang, kapabilitas politik seseorang itu tidak ditentukan oleh umur.
“Saya setuju asalkan dibuat syarat lainnya yang benar-benar mesti memastikan dia sudah punya rekam politik. Jadi misalnya pengalaman di partai karena kan diajukan oleh partai minimal berapa tahun. Misalnya untuk jadi caleg tidak bisa yang tiba-tiba karena dia terkenal di caleg kan, tapi dia kader partai tersebut tiga tahun. Nah jadi pagarnya yang sifatnya kualitatif, jadi bukan angka umur,” kata Bivitri.
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi Hukum DPR Habiburokhman menilai setiap warga negara berhak berpartisipasi dalam pemerintahan sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945. Dia memastikan perubahan tersebut tidak terkait dengan rumor anak Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, yang digadang-gadang akan maju sebagai cawapres di 2024.
“Karena ada konstitusi Pasal 28d yang mengatur bahwa setiap warga berhak untuk berpartisipasi dalam pemerintahan. Berpartisipasi adalah baik menggunakan hak pilih untuk memilih, menggunakan hak untuk dipilih,” ujarnya.
Habiburokhman mengatakan, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) diperkirakan Indonesia memasuki bonus demografi pada 2020 sampai dengan 2030. Rentang waktu ini, katanya, menunjukkan jumlah usia produktif yang mencapai dua kali lipat dari jumlah usia penduduk Indonesia. Oleh karenanya, penduduk usia produktif ini kemudian hari dapat berperan serta dan mempersiapkan diri dalam pembangunan nasional untuk menjadi pemimpin bangsa, termasuk sebagai capres dan cawapres.
Sementara terhadap perbandingan usia pemimpin negara di dunia, lanjutnya, ada 45 negara yang mensyaratkan usia 35 tahun untuk menjadi pemimpin negara, misalnya Amerika Serikat, Rusia, India, dan Portugal. Sementara itu, ada 38 negara memberikan syarat usia 40 tahun.
Hakim MK Saldi Isra mengungkapkan klaim DPR dan pemerintah yang mengaku menyerahkan keputusan uji materiil kepada MK terkesan setuju dengan perubahan tersebut. Dengan demikian, katanya, tidak perlu ada sidang uji materi terkait UU Pemilu jika DPR dan pemerintah setuju batas minimal usia capres dan cawapres 35 tahun. Ia mengatakan pembentukan dan perubahan UU adalah kewenangan keduanya. [fw/ah]
[ad_2]