Suara-Pembaruan.com — Momen Lebaran yang Terlewatkan: Ketegangan di Balik Pintu Rumah Dinas Ketua Mahkamah Agung
Suasana lebaran seharusnya menjadi waktu yang penuh dengan kehangatan, saling memaafkan, dan mempererat silaturahmi. Namun, protokoler Mahkamah Agung masih ‘paranoid’ dengan itikad jurnalis yang hendak silaturahmi ke Prof Sunarto, ketua MA.
Protokoler ketua MA ‘lebay’ dalam pengamanan halal bi halal yang berjaga di balik pintu rumah dinas Ketua Mahkamah Agung (MA) tak membolehkan jurnalis masuk untuk halal bihalal yang digelar di rumah dinas di jalan Denpasar 20, Kuningan, Jakarta Selatan.
Sementara itu, hadir para hakim dan warga peradilan, bahkan terlihat pengusaha dan pengacara masuk ke dalam rumah dinas Mahkamah Agung.
Acara yang biasanya menjadi ajang saling maaf memaafkan dan mempererat ikatan kekeluargaan, kali ini justru menimbulkan ketegangan, khususnya ke jurnalis.
Para jurnalis yang biasanya menjadi bagian dari suasana tersebut, tak diizinkan hadir oleh protokoler MA. Bahkan, mereka yang sudah terbiasa meliput berbagai acara penting di lingkungan peradilan, kali ini merasa seperti dibatasi oleh tembok yang tidak tampak.
Pemandangan berbeda terasa jelas, dibandingkan dengan sosok Ketua MA sebelumnya, Prof. Syarifuddin, yang dikenal dengan sikap humble-nya dan terbuka kepada jurnalis.
Syarifuddin selalu menyambut wartawan dengan senyum hangat dan kata-kata yang menggugah hati.
Ketua MA yang saat ini dipimpin Prof Sunarto, seakan menutup pintu bagi wartawan, tidak memberi ruang untuk jalinan silaturahmi yang selama ini terjalin baik.
“Jurnalis yang tergabung di Forum Silaturahmi Mahkamah Agung (Forsimema) pun tak bisa masuk,” ujar Ketua Forsimema, Syamsul Bahri, dengan nada kecewa.
Forsimema sendiri merupakan wadah bagi wartawan yang biasa meliput kegiatan-kegiatan di MA.
Syamsul berharap, momen lebaran seharusnya menjadi saat untuk saling mengingatkan akan pentingnya ikatan kekeluargaan, mengulurkan tangan kepada yang sebelumnya sempat terpisah oleh kesalahpahaman ataupun perbedaan pendapat.
“Semoga dengan acara halal bihalal ini kita dapat semakin mendekatkan diri kepada Allah SWT, dan semakin erat dalam menjalin hubungan dengan sesama manusia.”
“Dengan demikian, konsep hablumminallah dan hablumminannaas keduanya secara simultan dapat kita capai bersamaan,” lanjutnya, memberikan harapan akan terjalinnya kedamaian di antara semua pihak.
Ketika diharapkan saling memberi maaf, justru yang terjadi adalah penolakan.
Bukankah lebaran adalah saat untuk membuka pintu hati, bukan menutupnya rapat-rapat? Bukankah tujuan dari setiap pertemuan adalah untuk mempererat silaturahmi, bukan justru membangun tembok pemisah antara sesama?
Semoga, ke depan, kita bisa kembali merayakan lebaran dalam suasana yang penuh kebersamaan, saling memaafkan, dan mempererat ikatan yang sempat renggang. Sebab, dalam kesederhanaan dan kebersamaanlah, kita menemukan kedamaian yang sejati.