[ad_1]
Wakil Direktur Eksekutif untuk penelitian, Centre for Strategic and International Studies Indonesia (CSIS) Shafiah F. Muhibat mengatakan masyarakat internasional sebenarnya memiliki ekspektasi yang tinggi terhadap kepemimpinan Indonesia dalam menyelesaikan berbagai konflik yang menyelimuti kawasan, salah satunya Laut China Selatan dan Myanmar.
“Sekali lagi, kami memulai tahun ini dengan harapan yang tinggi terhadap Indonesia. Jadi memasukkan dua hal ini ke dalam daftar pencapaian, sebenarnya merupakan standar yang rendah untuk sebuah kursi sebesar dan sepenting Indonesia. Jadi saya harus berterus terang tentang hal itu,” ungkap Shafia dalam forum diskusi Foreign Policy Community Indonesia (FPCI), di Jakarta, Jumat (15/9).
Adapun dua pencapaian Indonesia yang dimaksud Shafiah adalah percepatan negosiasi kode tata perilaku (Code of Conduct/CoC) dan pembacaan kedua dari draft negosiasi tunggal.
Lebih jauh, perempuan yang akrab dipanggil Fifi ini menuturkan tingginya ekspektasi terhadap kepemimpinan Indonesia tersebut bukanlah tanpa alasan. Hal ini, katanya, mengacu kepada hubungan Indonesia dan China. Beijing sendiri cukup memandang Indonesia sebagai negara.
“Indonesia harus mempunyai hubungan yang baik dengan Tiongkok. Pengaruh yang lebih baik sebagai ketua untuk benar-benar membuat inisiatif tertentu sehubungan dengan Laut Cina Selatan,” tuturnya.
Selain itu, katanya, pada saat yang bersamaan munculnya konflik baru di Laut China Selatan yang terjadi beberapa minggu sebelum KTT ASEAN di Jakarta digelar, adalah fakta yang juga tidak bisa diabaikan.
“Jadi, hal tersebut memang merupakan perkembangan negatif yang terjadi beberapa minggu sebelum KTT. Dan untuk itu tidak ada reaksi yang lebih kuat. Hasil KTT, menurut saya, hanya menimbulkan tanda tanya, dan tanda tanya seperti ini, bisa dibilang berbahaya dalam hal melihat prospek perundingan CoC,” jelasnya.
Menurutnya, hal tersebut menimbulkan rasa pesimisme, yang mana nantinya di keketuaan ASEAN selanjutnya yang akan dipegang oleh Laos, tidak akan jauh berbeda dengan Keketuaan Indonesia.
“Saya khawatir putaran kepemimpinan tahun depan berikutnya hanya akan terulang dengan mengatakan bahwa kita telah mencapai ini, kita telah mencapai itu, sementara banyak orang yang kemudian kecewa karena mereka memang mempunyai ekspektasi tertentu,” tambahnya.
Menanggapi hal ini, Direktur Jenderal Kerja Sama ASEAN Kementerian Luar Negeri RI Sidharto R. Suryodipuro mempertanyakan tingginya ekspektasi dan harapan terhadap Indonesia sebagai ketua ASEAN sebelumnya. Sidharto menegaskan bahwa Indonesia merupakan negara yang senantiasa menghormati Konvensi Hukum Laut PBB serta hukum internasional lainnya yang berkaitan dengan maritim, kebebasan navigasi dan penebangan lintas batas.
Indonesia, katanya juga telah menyerukan hal ini kepada negara-negara lain di luar kawasan. Hal ini dilakukan semata-mata untuk memastikan semua pihak juga menegakkan dan menerapkan kebebasan navigasi di wilayah mereka.
“Ini adalah aturan dan norma yang harus diterapkan secara setara. Jadi ini adalah salah satu poin penting,” ungkap Sidharto.
Sidharto juga menggarisbawahi tidak adanya drama baru seputar Laut China Selatan dalam KTT yang baru saja digelar. Menurutnya, tidak ada pernyataan tersendiri yang dikeluarkan sejumlah negara mengenai situasi di Laut China Selatan.
Yang terpenting bagi ASEAN serta Indonesia sebagai Ketua ASEAN sebelumnya, ujar Sidharto, adalah memastikan solidaritas dan kesatuan tetap ada di dalam ASEAN. Ia menekankan, bahwa ASEAN merupakan sebuah entitas yang sangat beragam, dengan berbagai kepentingan di dalamnya termasuk masalah maritim.
“Namun fakta bahwa 10 dan sekarang 11 negara anggota keluar dengan satu suara juga merupakan hal yang penting. Jadi menurut saya, angka-angka seperti yang saya katakan, pencapaian-pencapaian yang tenang itu adalah pencapaian-pencapaian,” jelasnya.
Terkait negosiasi CoC, Indonesia kata Sidharto cukup optimis akan membuat sejumlah terobosan, meskipun diakuinya hal itu bukanlah sesuatu hal yang mudah.
“Negosiasi CoC telah berlangsung selama beberapa tahun. Kami tidak ingin proses ini berada dalam kelembaban. Saya percaya kita memiliki ruang untuk mempercepat negosiasi, mudah-mudahan segera, namun negosiasi tidak pernah cepat. Kecuali jika itu mudah,” tegasnya.
Konflik Myanmar yang tidak berkesudahan juga turut dibicarakan dalam forum diskusi ini. Seperti diketahui, Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi mengatakan bahwa ASEAN menyimpulkan tidak adanya kemajuan yang signifikan dalam implementasi lima poin konsensus (five point consensus/5PC) terhadap konflik Myanmar.
Wakil Sekretaris Jenderal (DSG) ASEAN untuk Komunitas Politik-Keamanan Robert Matheus Michael Tene mengatakan berdasarkan tinjauan dari para pemimpin, dalam paragraf kedua telah diakui bahwa kekerasan dan penderitaan masih berlanjut di Myanmar. Hal ini menandakan bahwa situasinya belum membaik.
Dalam kesempatan ini Michael menggarisbawahi bahwa konflik di Myanmar merupakan konflik internal di dalam negara itu sendiri. Dengan begitu, yang bisa menyelesaikannya adalah pihak Myanmar itu sendiri, bukan pihak luar.
Menurutnya, semua pihak yang terdampak secara langsung maupun tidak langsung selalu mencoba untuk membantu menyelesaikan konflik tersebut dengan berbagai cara termasuk dengan memberikan bantuan kemanusiaan dan membantu proses perdamaian.
“Namun pada akhirnya, situasi ini harus diselesaikan oleh pihak-pihak di Myanmar yang sedang berkonflik satu sama lain. Pihak luar hanya bisa memfasilitasi, kalau fasilitasnya mungkin sudah lebih baik dan tentunya masih dalam tahap pengembangan, mungkin bisa membantu mediasi antar pihak. Namun pada akhirnya hal ini harus diselesaikan oleh pihak-pihak di Myanmar yang saling berkonflik,” pungkasnya. [gi/ah]
[ad_2]