[ad_1]
Komandan Pusat Polisi Militer (Danpuspom) TNI Marsda Agung Handoko menilai tindakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menetapkan anggota TNI sebagai tersangka kasus korupsi menyalahi aturan. Kekecewaan itu diungkapkan menyusul penetapan Kepala Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (Basarnas) Marsekal Madya Henri Alfiandi dan Letkol Adm Afri Budi Cahyanto (ABC) sebagai tersangka. Menurut Agung, penetapan tersangka anggota TNI merupakan kewenangan lembaganya sesuai dengan Undang-Undang yang berlaku.
“Jadi pada intinya kita saling menghormati, kita punya aturan masing-masing. TNI punya aturan, dari pihak KPK patuh hukum, punya aturan juga,” ujar Agung Handoko Agung di Mabes TNI Cilangkap, Jakarta Timur, Jumat (28/7).
Agung Handoko menambahkan KPK telah menyerahkan Letkol ABC kepada TNI dengan status sebagai tahanan. Sedangkan untuk Kabasarnas belum ditahan karena belum ada proses hukum dari TNI terhadap yang bersangkutan. Menurutnya, pihaknya baru menerima laporan dari KPK terkait kasus ini pada Jumat (28/7) siang. Dari laporan tersebut, Puspom TNI akan menindaklanjuti kasus hukum yang menjerat dua personel TNI tersebut.
“Nantinya kami mendalami kembali dengan bukti-bukti yang cukup akan kita tingkatkan menjadi atau masuk ke proses penyidikan dan kita tetapkan sebagai tersangka,” tambahnya.
Handoko menyebut penyelidikan terhadap dua anggota TNI ini akan dilakukan secara terbuka dan dapat dipantau oleh media massa.
Kepala Badan Pembinaan Hukum (Kababinkum) TNI Laksamana Muda (Laksda) Kresno Buntoro mengatakan semua anggota TNI tunduk kepada aturan hukum dan tidak ada yang kebal hukum. Dia menegaskan, Undang-Undang Peradilan Militer telah mengatur tentang penyelidikan, penyidikan, persidangan, hingga eksekusi hukuman anggota TNI.
“Khusus untuk penahanan yang bisa melakukan ada tiga, yaitu atasan yang berhak menghukum polisi militer dan oditur militer,” jelas Kresno.
Kresno menambahkan TNI dan KPK juga telah memiliki pengalaman dalam proses penanganan kasus korupsi secara terpisah yaitu sipil ditangani KPK dan militer ditangani Puspom TNI.
Sementara Jaksa Agung Muda Pidana Militer (Jampidmil), Mayjen Wahyoedho Indrajit menambahkan penanganan tindak pidana yang dilakukan antara orang sipil dan militer telah diatur dalam KUHP. Selain itu, TNI dan KPK juga telah memiliki pengalaman dalam proses penanganan kasus korupsi melalui peradilan koneksitas. Salah satunya yaitu kasus dugaan korupsi proyek pengadaan Satelit Orbit 123 Derajat Bujur Timur di Kementerian Pertahanan. Karena itu, ia menyarankan kasus ini agar ditangani oleh Jampidmil agar tidak ada kesulitan dalam penanganannya.
“Tentu saja nanti diprediksi ada disparitas dalam hal hukuman karena proses-proses ini berbeda,” jelas Wahyoedho Indrajit.
Tuntaskan Kasus Korupsi di Peradilan Umum
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan mengkritik langkah KPK yang meminta maaf dan menyerahkan kasus dugaan korupsi yang melibatkan dua anggota TNI ke Puspom TNI. Perwakilan koalisi, Julius Ibrani mengatakan langkah tersebut keliru dan dapat merusak sistem penegakan hukum pemberantasan korupsi di Indonesia. Menurutnya, KPK seharusnya menggunakan Undang-Undang KPK sebagai pijakan dan landasan hukum dalam memproses militer aktif yang terlibat dalam kejahatan korupsi tersebut.
“KPK dapat mengabaikan mekanisme peradilan militer dengan dasar asas lex specialist derogat lex generalis (UU yang khusus mengenyampingkan UU yang umum). Dengan demikian KPK harusnya mengusut kasus ini hingga tuntas dan tidak perlu meminta maaf,” jelas Julius Ibrani kepada VOA, Sabtu (29/7).
Julius menambahkan permintaan maaf dan penyerahan perkara kedua prajurit tersebut kepada Puspom TNI akan menghalangi pengungkapan kasus tersebut secara transparan dan akuntabel. Selain itu, ia khawatir tindakan ini bisa berpotensi impunitas bagi kedua anggota TNI tersebut.
Karena itu, Julius mendesak KPK untuk kembali mengusut tuntas kasus ini secara transparan dan akuntabel. Ia juga mendoorng pemerintah dan DPR untuk merevisi Undang-Undang Nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer karena selama ini sering digunakan sebagai sarana impunitas dan alibi untuk tidak mengadili prajurit TNI di peradilan umum.
Penjelasan KPK tentang Kasus Basarnas
KPK pada Selasa (25/7) melakukan operasi tangkap tangan (OTT) terkait dugaan tindak pidana korupsi berupa suap pengadaan barang dan jasa di Basarnas periode 2021-2023. Mengutip rilis KPK, dalam OTT tersebut, KPK menangkap 11 orang, yaitu MR Direktur Utama PT IGK, JH Direktur Keuangan PT IGK, RK Manajer Keuangan PT IGK, ER SPV Treasury PT IGK, DN Staf keuangan PT IGK, HW Supir MR, EH Staf keuangan PT IGK, ABC Koordinator Staf Administrasi (Koorsmin) Kepala Basarnas, RA Direktur Utama PT KAU, SA bagian keuangan PT KAU, serta TM staf operasional PT KAU. Selain itu, KPK juga menyita barang bukti uang tunai sejumlah Rp999,7 juta.
Dalam proses pemeriksaannya KPK menemukan bukti permulaan yang cukup sehingga menaikan status perkara ini ke tahap penyidikan dengan menetapkan lima orang sebagai Tersangka. Yaitu, MG Komisaris Utama PT MGCS, MR, RA, HA Kepala Basarnas periode 2021-2023, dan ABC.
KPK menjelaskan, sejak 2021, Basarnas melaksanakan beberapa tender proyek pekerjaan melalui layanan LPSE Basarnas. Pada 2023, Basarnas membuka tender proyek di antaranya pengadaan peralatan pendeteksi korban reruntuhan dengan nilai kontrak Rp9,9 miliar, Pengadaan Public Safety Diving Equipment dengan kontrak senilai Rp17,4 miliar dan Pengadaan ROV untuk KN SAR Ganesha (multiyears 2023-2024) dengan nilai kontrak sebesar Rp89,9 miliar.
Tersangka MG, MR, dan RA diduga melakukan pendekatan dengan menemui HA dan ABC untuk dapat dimenangkan dalam tiga proyek tersebut. Dalam pertemuan ini, diduga terjadi kesepakatan pemberian sejumlah uang berupa fee sebesar 10 persen dari nilai kontrak, dengan HA mengkondisikan dan menunjuk perusahaan MG, MR, dan RA sebagai pemenang tendernya.
Penyerahan uang kepada HA melalui ABC tersebut kemudian menggunakan istilah ‘Dako’ (Dana Komando), yaitu penyerahan yang dilakukan oleh MR atas persetujuan MG, uang sejumlah Rp999,7 juta secara tunai, dan RA yang menyerahkan uang sejumlah sekitar Rp4,1 miliar melalui aplikasi pengiriman setoran bank. Atas penyerahan sejumlah uang tersebut, perusahaan MG, MR dan RA dinyatakan sebagai pemenang tender.
Berdasarkan data dan Informasi lainnya, HA bersama dan melalui ABC juga diduga menerima suap dari berbagai vendor pemenang proyek di Basarnas pada 2021 sampai dengan 2023 dengan nilai sekitar Rp88,3 miliar.
Namun, Wakil Ketua KPK Johanis Tanak kemudian mengaku khilaf dan meminta maaf kepada TNI karena telah mengumumkan dua anggota TNI dalam kasus korupsi tersebut. Hal itu disampaikan Tanak setelah menerima sejumlah petinggi militer termasuk Komandan Puspom TNI Agung Handoko di Gedung Merah Putih KPK, di Jakarta, Jumat (28/7). [sm/ah]
[ad_2]