[ad_1]
Hasil penelitian University of Cambridge mengatakan, anak yang kerap menerima perundungan di masa akhir remaja hingga awal dewasa, kemungkinan besar akan memiliki pikiran atau fantasi kekerasan untuk membalaskan dendamnya kepada si pelaku atau orang lain. Berikut ini penjelasan bagaimana anak korban bullying berpotensi jadi pelaku bully seperti yang dijelaskan dalam jurnal Aggresive Behavior.
Anak Korban Bullying Berpotensi Jadi Pelaku Bully
Dari Korban Menjadi Pelaku
Melukai kehidupan seorang anak di masa kecilnya sangat berkontribusi pada pertumbuhan karakternya di masa depan. Hal ini seakan membenarkan penelitian yang baru-baru ini dilakukan University of Cambridge mengenai perkembangan mental anak korban bullying di masa awal dewasanya.
Seperti pada hasil penelitian yang ditulis mereka dalam jurnal Aggressive Behavior. Dikatakan, anak korban bullying berpotensi jadi pelaku bully suatu saat.
Anak yang menjadi korban bullying dan kerap menerima kekerasan dalam bentuk lainnya, di masa akhir masa remaja hingga awal masa dewasanya, berisiko meningkatkan kemungkinan berfantasi, melamun, atau berpikir untuk balik menyakiti, mencelakai, atau bahkan membunuh penindasnya atau orang lain.
Artikel terkait: 11 Drama Korea Ini Angkat Isu Bullying, Menguras Emosi Tapi Penuh Pesan Moral!
Hubungan Pengalaman Kekerasan dan Keinginan Balas Dendam
Sebuah penelitian terbaru menyatakan, pengalaman intimidasi dan bentuk-bentuk agresi di akhir masa remaja hingga awal masa dewasa dikaitkan dengan peningkatan yang nyata dalam kemungkinan melamun atau berfantasi tentang menyakiti atau membunuh orang.
Penelitian ini dilakukan oleh University of Cambridge, seperti melansir dalam laman resminya.
Kondisi intimidasi yang dialami korban –para remaja dan dewasa muda- ini bisa menyebabkan mereka kesal, marah, hingga keinginan untuk balas dendam. Tadinya di awal, keinginan balas dendam hanya terwujud melalui pemikiran dan fantasi-fantasi untuk balik menyakiti pelaku bully. Namun akan ada kemungkinan di mana idenya diwujudkan menjadi kenyataan.
Penelitian Terbaru Mengenai Fantasi Kekerasan
Penelitian ini dipimpin oleh salah Prof. Manuel Eisner, Direktur Pusat Penelitian Kekerasan Cambridge dan penulis utama studi yang diterbitkan dalam jurnal Aggressive Behavior.
Penelitian dipimpin seorang profesor di Universitas Cambridge bernama Manuel Eisner. Tim yang juga di dalamnya bekerja sama peneliti dari Universitas Zurich, Universitas Edinburgh, Universitas Utrecht, Universitas Leiden, dan Universidad de la Republica itu mengumpulkan dan menganalisis data dengan melacak pemikiran dan pengalaman 1.465 murid berusia 15, 17, dan 20 tahun dari sekolah-sekolah di kota Zurich, Swiss.
Mereka mengumpulkan data mengenai jenis-jenis penindasan atau agresi apa saja yang mereka alami selama 12 bulan terakhir, dan apakah mereka mengembangkan pemikiran untuk balas dendam selama 30 hari belakangan.
Untuk menyelidiki tingkat agresi (penghinaan, pemukulan, pembunuhan) dan target yang dibayangkan (si perundung, orang asing, teman) dalam fantasinya, Manuel menggunakan kuesioner.
Tim penelitian ini juga menanyakan tentang pengalaman 23 bentuk ‘viktimisasi’. Seperti misalnya ejekan, serangan fisik, dan pelecehan seksual dari teman sebaya. Pola asuh orangtua yang agresif seperti berteriak, menampar, atau memukul dengan ikat pinggang, hingga kekerasan dari pacar seperti dipaksa untuk berhubungan seks.
Hasil Penelitian Menurut Ahli
Hasilnya, sebagian besar remaja telah menjadi korban setidaknya dalam satu kasus. Mereka mengalami serangkaian penganiayaan yang kemungkinan besar membuat mereka kemudian berpikir untuk membunuh, menyerang, atau mempermalukan si pelaku.
Hal baru yang juga ditemukan tim Manuel adalah, ternyata anak laki-laki lebih rentan terhadap pemikiran kekerasan secara umum. Berikut ini persentasenya:
- Tidak mengalami viktimisasi selama 1 tahun terakhir, fantasi kekerasan pada anak laki-laki berusia 17 tahun 56%, anak perempuan di usia yang sama 23%.
- Alami 5 bentuk viktimisasi, fantasi kekerasan pada anak laki-laki 85% dan anak perempuan 59%.
- Mengalami 10 bentuk viktimisasi mengalami fantasi kekerasan: anak laki-laki 97%, anak perempuan 73%.
- Sekitar 25% dari semua anak laki-laki berusia 17 tahun dan 13% anak perempuan melaporkan memiliki setidaknya satu fantasi membunuh orang yang mereka kenal selama 30 hari terakhir.
“Fantasi kekerasan dilakukan saat otak melatih skenario (kekerasan) masa depan,” kata Prof. Manuel.
“Fantasi kekerasan yang meningkat bagi anak yang mengalami intimidasi atau penganiayaan bisa jadi merupakan mekanisme psikologis untuk mempersiapkan diri mereka dalam menghadapi kekerasan yang akan datang,” katanya lagi.
Artikel terkait: 5 Fakta Dugaan Bullying yang Dialami Bintang K-Pop Hyunjoo, Keluar Grup Hingga Depresi
Fantasi Kekerasan Tidak Berkurang Saat Dewasa
Melihat angka persentase di atas pasti membuat Anda terbelalak. Apalagi penelitian ini dilakukan di Swiss yang negaranya dikenal sangat damai. Bayangkan jika penelitian yang sama dilakukan di Indonesia, kira-kira akan seperti apa hasilnya?
Studi juga menunjukkan, ‘peristiwa kehidupan yang merugikan’ seperti masalah keuangan atau perpisahan orangtua tidak terlalu berdampak signifikan.
“Pikiran untuk membunuh orang lain lebih dipicu karena pengalaman merugikan antarpribadi, serangan terhadap identitas pribadi mereka,” terang Prof. Manuel.
Yang mengkhawatirkan, efek viktimisasi pada fantasi kekerasan tidak berkurang saat mereka tumbuh dewasa. Dan temuan dari lintas kriminolog menyatakan, di masa depan korban sering kali menjadi pelaku.
Jenis Perundungan yang Dialami Anak
Penindasan dan perudungan bisa terjadi dalam banyak bentuk. Di antaranya:
- Bisa secara fisik: Mendorong, meninju, atau memukul.
- Secara verbal: Menyebut nama atau ancaman.
- Psikologis dan emosional: Menyebarkan rumor atau mengeluarkan seseorang dari percakapan atau aktivitas.
Media yang dilakukan pun tak hanya secara langsung, tapi bisa melalui email, pesan teks, atau unggahan di media sosial –yang lebih dikenal sebagai cyberbullying.
Sadarkah Anda Anak Menjadi Korban Bully?
Banyak orangtua yang tidak menyadari anaknya menjadi korban perundungan. Padahal sebenarnya hal ini mudah untuk diketahui orangtua hanya dengan memperhatikan hal-hal yang dialami anak berikut ini:
“Gejala bullying yang khas termasuk keluhan fisik seperti sakit perut, juga kekhawatiran dan ketakutan, salah satunya anak tidak ingin pergi ke sekolah,” kata Steven Pastyrnak, Ph.D., Kepala Divisi Psikologi di Rumah Sakit Anak Helen DeVos di Grand Rapids, MI.
Kata Steven, ketika anak tidak dapat menghadapi si pelaku, ia melakukan pertahanan dengan cara menghindari atau menarik diri dari hal-hal yang membuatnya stres –dalam hal ini si pelaku.
Lauren Hyman Kaplan, konselor sekolah dan spesialis pendidikan sosial-emosional dan pencegahan penindasan, menyarankan hal ini saat Anda sadar ada yang tidak beres dengan anak:
- Segera cari tahu apa yang terjadi kepadanya melalui wali kelas atau kepala sekolah.
- Ajak anak diskusi dan ajukan pertanyaan tentang situasi sosial mereka.
- Saat anak bercerita, dengarkan baik-baik apa yang mereka ceritakan.
- Kendalikan emosi Anda.
- Cari tahu yang mana teman, sahabat, atau anak yang tidak menyukainya di kelas atau sekolahnya.
Bagaimana Relasi Anda Selama Ini dengan Anak?
Apakah selama ini hubungan komunikasi Anda dengan akan baik? Mudah-mudahan demikian adanya. “Membangun komunikasi yang baik harus dimulai dengan baik sebelum anak-anak mengalami masalah bullying,” kata Dr. Steven.
Biasanya memang, anak-anak yang lebih kecil akan lebih mudah menceritakan pengalaman baik atau buruk mereka. Namun jika Anda mencurigai adanya masalah pada anak Anda yang lebih besar, lakukan hal di atas tadi.
“Sering kali orangtua akan marah atau frustrasi (saat sang anak bercerita perundungan yang dialaminya), padahal anak tidak butuh reaksi Anda yang berlebihan. Mereka hanya butuh Anda mau mendengarkan, meyakinkan, dan mendukung mereka. Mereka perlu melihat Anda sebagai orang yang stabil dan kuat serta mampu membantu mereka dalam situasi apa pun,” terang Lauren.
Artikel terkait: Alami Mikrosefali dan Sering Dibully, Anak Ini Memilih Hidup di Hutan
Lakukan Tindakan untuk Menghentikan Penindasan
Bagaimana caranya menghentikan perundungan sebenarnya terserah Anda. Namun, ada baiknya Anda turun tangan dan mengambil tindakan ketika anak sudah merasa tersiksa.
- Laporkan! Jika anak enggan melaporkan penindasan, ajak ia berbicara dengan guru, konselor bimbingan, kepala sekolah, atau administrator sekolah. “Ketika anak-anak yang angkat bicara, itu sepuluh kali lebih kuat daripada apa pun yang orang dewasa lakukan,” kata Walter Roberts, profesor pendidikan konselor di Minnesota State University dan penulis Working with Parents of Bullies and Victims.
- Pelajari tentang kebijakan sekolah tentang penindasan dan bagaimana mereka mengambil sikap mengenai hal ini.
- Dokumentasikan kejadian penindasan dan simpan catatannya.
- Dapatkan bantuan dari luar sekolah, seperti terapis keluarga atau petugas polisi, dan manfaatkan sumber daya komunitas yang dapat menangani dan menghentikan penindasan.
- Hubungi orangtua pelaku bully.
- Ajarkan anak keterampilan mengatasi masalah atau situasi seperti ini. Jika anak di-bully, ingatkan dia bahwa itu bukan salahnya, ia tidak sendiri, dan Anda ada untuk membantu.
Bully Bukan Tindakan Terpuji!
Penting bagi anak untuk mengidentifikasi perasaan mereka sehingga mereka dapat mengomunikasikan apa yang sedang terjadi. Oleh karena itu, orangtua harus membicarakan perasaan mereka sendiri.
Apa yang tidak boleh dilakukan orangtua, berapa pun usia anak, adalah menganggap bahwa ini adalah hal biasa yang akan berhasil dengan sendirinya.
“Jangan pernah diterima bahwa seorang anak sedang diejek,” terang Lauren.
Membantu anak Anda yang kerap menjadi korban bullying akan membangun kepercayaan dirinya dan mencegah situasi sulit meningkat, seperti berpotensi jadi pelaku bully.
Baca juga:
Dampak Bullying pada anak yang harus diwaspadai orangtua!
Bullying di Sekolah
Anak jadi pelaku Bullying? Ini yang harus dilakukan orangtua
[ad_2]