[ad_1]
Sedari kecil, saya sering mengamati seorang ibu yang menjadi idola saya dalam pengasuhan. Di mata saya, ibu ini benar-benar pas jika dianggap sosok perempuan yang berhasil jadi ibu yang baik.
Ia mengasuh putra-putrinya full time di rumah. Cakap dalam urusan dapur. Sangat rajin dan peduli pada suami dan anaknya.
Setiap kebutuhan anak dan suaminya, akan langsung direspon dengan baik. Kasih sayangnya tingkat tanpa pamrih, hingga saya berpikir, kalau ibu ini kelak tidak ada pastilah keluarga itu akan sangat kehilangan. Kalau ada yang bertanya bagaimana contoh ‘jadi ibu yang baik’, pastilah ibu ini akan saya sebut.
Seiring berjalannya dengan waktu, sampailah saatnya saya sendiri menjadi seorang ibu. Dengan prototype ‘ibu baik’ seperti ibu yang tadi saya ceritakan di atas, manusia pintar biasanya akan langsung memasukkannya dalam kategori ‘ibu baik’.
Pada kenyataannya. ibu seperti saya justru akan kebingungan. Berpikir, masuk ke dalam kategori ibu macam saya ini?
Ya, dalam praktiknya memang ada banyak perbedaan dalam cara-cara kami mengasuh anak. Pengasuhan yang kalau saya pikirkan lagi lebih dalam, kami memang berbeda. Hal ini memunculkan suatu pertanyaan tersendiri. Apakah ketika saya memasukkan ibu tadi dalam kategori ‘ibu baik’, lantas menjadikan saya sendiri masuk ke dalam kotak berlawanan?
Pantas mendapatkan label ‘ibu yang tidak baik’? Padahal, kalau dipikir-pikir, sesuatu yang berbeda, belum tentu berlawanan, kan?
Tak Perlu Menjadi Ibu yang Sempurna
Pengasuhan saya memang jauh dari kata sempurna. Malah, boleh dibilang kalau pengasuhan ini lebih berbasis pada ‘ketidaksempurnaan’?
Saya justru tidak ingin menjadi ibu yang sempurna untuk anak-anak saya. Saya hanya ingin jadi ibu yang seperti apa adanya diri ini. Tentu dengan beberapa update-an di sana sini yang tidak mengubah diri saya seutuhnya.
Lalu seperti apa pengasuhan berbasis ketidaksempurnaan yang tidak ditemukan dalam teori manapun ini? Saya permudah dengan beberapa contoh peristiwa.
Pertama, terkait sifat yang saya miliki.
Saya pada dasarnya adalah orang yang sehat mental jika punya cukup waktu untuk menyendiri dengan diri saya sendiri. Tentunya, tak bisa sepanjang waktu memberikan anak seluruh perhatian. Ada kalanya dia memanggil-manggil ‘mama’ dan saya marah padanya.
Ada kalanya, dia minta ditemani main dan saya akan bilang saya sedang lelah. Saya minta anak untuk memberikan saya sedikit waktu untuk menyendiri. Di saat ibu-ibu lain akan menentang bentuk ‘keegoisan’ ini. Saya sudah berhenti merasa bersalah untuk bisa menjadi diri saya sendiri.
Kedua, ternyata anak pun membutuhkan waktu untuk dirinya sendiri.
Setelah diperhatikan lebih dekat, saat saya butuh waktu untuk diri saya, anak saya justru dapat kesempatan bermain dengan dirinya sendiri. Anak saya belajar memberi perhatian pada dirinya sendiri, tidak harus menunggu mama. Di samping itu, dia belajar bahwa ada dua zona waktu, yaitu “mama dengan aku” dan “mama dengan dirinya”.
Ketiga, tak perlu selalu merasa kuat di hadapan anak.
Sesekali, saya pun bisa membuatnya kaget dengan kondisi dimana saya tiba-tiba menangis. Ya nak, mama bisa saja sembunyi di kamar mandi atau di balik selimut.
Tapi, apa poin-nya? Saya justru ingin dia tahu bahwa orangtuanya ini juga bisa menangis, sama seperti dia. Menariknya, respon anak saya justru menghibur saya yang sedang menangis. Tak sedikitpun dia memarahi saya untuk ‘jangan nangis!’.
Justru berbeda dengan yang sering saya lakukan padanya. Dari sifat ‘cengeng’ ini, anak saya tak sengaja mendapatkan lahan ‘role-play’ untuk menghibur orang yang sedang bersedih.
Anak tidak perlu sesuatu yang sempurna.
Di lain waktu, ketika kamar dan rumah berantakan. Saya memang agak berantakan sejak sebelum jadi ibu-ibu dan juga tidak terlalu memaksakan diri menjadi ibu rapih. Bersih secukupnya, itu prinsip kesehatan mentalku.
Kalau ada orangtua saya, rasanya saya sudah akan diomeli karena ‘mengajari’ anak saya menjadi jorok. Tapi, itu nggak sepenuhnya benar. Karena anak belajar dari ‘kecukupan’ saja. Bukan dari kesempurnaan. Dia lihat ibunya konsisten membersihkan sesuatu, tidak perlu sampai semua kinclong tanpa cela. Dia akan belajar.
Dan lagi-lagi, anak saya justru sering muncul inisiatif untuk membersihkan tanpa perlu saya minta. “Mama, kamarnya kotor. Aku bersihin ya mama.”
Seandainya saya jadi ibu yang bekerja sangat rajin, mungkin anak saya tidak akan pernah memiliki pengalaman bagaimana ia merasakan risih karena kondisi yang jorok, lalu ingin langsung membereskan.
Anak Perlu Kesempatan, Belajar dari Hal yang Tidak Sempurna
Dari berbagai pengasuhan yang di sana sini memunculkan kelemahan, saya justru menyadari sesuatu tentang menjadi “ibu baik”. Ibu baik yang aku ceritakan di awal, memang menunjukkan apa yang kita sebut dengan teladan. Ketika seorang ibu memberikan contoh perkataan, perasaan dan perlakuan yang baik-baik pada anak.
Ketika kita menjadi teladan bagi anak, kita memang akan memberikan anak gambaran ideal menjadi seorang ibu. Setidaknya, ketika ia menjadi ibu nanti, ia punya panduan perilaku yang baik untuknya menjalani kehidupan. Tapi apakah hanya itu yang dibutuhkan oleh seorang anak? Tampaknya tidak.
Anak membutuhkan teladan. Namun, teladan saja tanpa sebuah kesempatan adalah melewatkan hal sederhana yang berharga. Bagaikan teori tanpa praktiknya juga alat tanpa waktu berlatihnya. Teladan saja tanpa sebuah kesempatan, memang tak sepenuhnya sia-sia. Anak tetap dapat manfaat dengan adanya contoh yang baik.
Tapi seringkali tanpa kita sadari, ketika kita ingin menjadi ‘ibu baik’ kita tak sengaja merebut kesempatan anak untuk langsung melakukan perilaku yang kita sebut teladan tadi. Anak jadi pasif, tidak punya motivasi dari dalam diri, dan kurang keyakinan akan dirinya.
Jadi Ibu yang Baik, Tak Perlu Merasa Berdosa Menjadi Diri Sendiri
Jadi, bolehlah ya kita tidak setiap waktu menjadi teladan untuk anak. Tak perlu juga merasa berdosa ketika menjadi diri kita sendiri, yang tidak sempurna itu. Karena justru dengan begitu, anak punya bayangan tentang hidup yang paling mendekati kenyataan.
Keindahan hidup itu bukan dibangun dari “selalu” atau “seharusnya”. Tapi mengenai keseimbangan dari “kadang-kadang”. Kadang baik, kadang tidak. Kadang bersih, kadang tidak. Kadang marah, kadang tidak.
Ketika menjadi diri kita sendiri, anak pun bisa belajar dan menyadari bahwa orangtuanya bukan orangtua yang rajin tapi orangtua yang berusaha melawan rasa malas.
Orangtuanya bukan orangtua yang sabar, tapi orangtua yang berusaha mengelola kemarahan pada tempatnya. Bahwa orangtuanya bukan orangtua yang perhatian, tapi orangtua yang berusaha membagi prioritas hidupnya. Dengan mengenalkan kelemahan kita, kita berharap agar anak punya ruang untuk ambil peran jadi yang baik.
Saya percaya sebenarnya setiap ibu bisa jadi ibu yang baik sesuai dengan versinya masing-masing.
[ad_2]