[ad_1]
Saurlin mengatakan Komnas HAM juga mendapatkan keterangan bahwa gas air mata masuk ke lingkungan sekolah berasal dari hutan yang berada di depan SMPN 22 Galang yang berjarak 30 meter dari gedung sekolah. Bahkan sebelum gas air mata masuk ke lingkungan sekolah, terdengar tiga kali dentuman dari hutan depan sekolah.
Pihak SDN 24 Galang pun juga mendengar dentuman keras di beberapa titik di lingkungan sekolah dan seketika dipenuhi gas air mata. Hal ini, kata Saurlin, masih meninggalkan dampak psikologis bagi siswa sehingga kehadiran siswa tidak pernah mencapai 100 persen usai peristiwa tersebut.
“Mereka mengakui gas air mata masuk ke sekolah dan menimbulkan kepanikan, luka-luka, pingsan, pusing, mual dan sebagainya yang mengenai puluhan siswa di sana. Itu membuat trauma mereka dan besok harinya tidak sekolah sebagian besar. Secara psikolog, mereka sangat ketakutan dengan peristiwa tersebut,” jelas Saurlin.
Komnas HAM juga menemukan korban bayi berusia delapan bulan yang terdampak hebat terkait penggunaan gas air mata pada peristiwa itu di sekitar SDN 24 Galang.
Masyarakat merasa terintimidasi
Komnas HAM, kata Saurlin, juga mendatangi masyarakat di Desa Sembulang, Desa Dapur 6 dan Pantai Melayu. Mengutip keterangan sejumlah penduduk di desa-desa itu, Saurlin mengatakan, Menteri Investasi Bahli Lahadalia sempat datang dari rumah ke rumah dengan membawa aparat keamanan sehingga mereka merasa terintimidasi.
Masyarakat yang diwawancara, kata Saurlin, juga mengaku tidak pernah menandatangani persetujuan relokasi dan tidak pernah mendapatkan sosialisasi. Yang menimbulkan perlawanan menurut masyarakat karena terjadi pematokan lahan sepihak, imbuhnya.
Saurlin menjelaskan bahwa di desa tersebut terdapat banyak makam kuno yang sudah sangat tua dan menjadi bukti penting bahwa di wilayah tersebut sudah ada perkampungan jauh sebelum proyek ini ada.
“Menurut kami memang sudah terjadi pelanggaran hak-hak masyarakat di sana, itu jelas ya. Karena tidak ada dari sejak awal proses yang dialogis dan transparan terkait relokasi dan penggusuran, itu tentu tidak sesuai dengan Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2005 tentang Konvenan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya,” ungkap Saurlin.
Jika ingin melakukan penggusuran, kata Saurlin, setidaknya harus mendahulukan musyawarah mufakat, pemberitahuan yang layak dan relokasi sebelum penggusuran dilakukan atau adanya tempat baru terlebih dahulu. Sementara dalam kasus ini, lanjutnya, penggusuran dilakukan padahal tempat baru tidak ada sehingga masyarakat kebingungan.
Tinjau ulang Eco City
Atas temuan itu, Komnas HAM meminta Menteri Koordinator Bidang Perekonomian agar meninjau kembali Pengembangan Kawasan Pulau Rempang Eco City sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN) berdasarkan Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia (Permenko Perekonomian RI) Nomor 7 Tahun 2023. Lembaga tersebut juga merekomendasikan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR BPN) untuk tidak menerbitkan Hak Pengelolaan atas Tanah (HPL) di lokasi Pulau Rempang mengingat lokasi belum jelas (clear-and-clean).
Komnas HAM berencana akan melakukan pertemuan pada 25 September mendatang dengan Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi/Kepala Badan Koordinator Penanaman Modal (BKPM?), Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Kepala Staf Presiden (KSP), Kementerian Sekretariat Negara (Setneg), Menteri ATR/BPN, dan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri), untuk mendiskusikan penyelesaian bersama.
Sementara itu, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengharapkan rencana investasi dari produsen kaca asal China, Xinyi Group, tidak batal dan beralih ke negara lain karena adanya konflik di Rempang.
“Ndak, kita harapkan janganlah. Dulu kan kekonyolan kita juga, (makanya investasi asing) lain ke tempat lain. Kita sendiri juga harus introspeksi, apa yang salah. Kita ndak boleh juga malu-malu. Kalau kita ada salah ya kita perbaiki,” katanya.
Dia mengakui pendekatan pemerintah terhadap masyarakat Rempang mungkin kurang tepat. Karena itu, pemerintah akan mulai menurunkan tensi ketegangan di Rempang.
Luhut menambahkan tim dari Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi telah dikirim ke Rempang untuk memberitahu masyarakat lokasi relokasi yang akan dilengkapi berbagai fasilitas umum.
Xinyi adalah perusahaan kaca terbesar sejagat yang menguasai 20 persen pasar kaca di dunia. Perusahaan ini telah berkomitmen membangun pabrik kaca terbesar di dunia setelah China.
Xinyi Group berencana membangun ekosistem hilirisasi pasir kuarsa atau silika di Rempang senilai 11,6 miliar dollar AS. Ini merupakan investasi kedua Xinyi di Indonesia setelah membangun tahap pertama untuk basis manufaktur kaca komprehensif berskala besar di Gresik tahun lalu senilai 700 juta dollar AS.
Menurut Luhut, realisasi investasi Xinyi akan membuka lapangan pekerjaan, alih teknologi, mendorong peningkatan tingkat komponen dalam negeri (TKDN) dalam produksi photovoltaic (PV), panel surya, dan semikonduktor. Luhut menolak tuntutan untuk mencabut status proyek strategis nasional di Rempang. [fw/ft]
[ad_2]